Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sebab Tersangka Tak Mesti Bersalah

Pasal pemberhentian sementara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi digugat ke Mahkamah Konstitusi. Dianggap diskriminatif dan jadi celah pelemahan komisi antirasuah.

23 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketukan palu tiga kali kembali bergema di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Rabu pekan lalu. Tak sampai sepuluh menit memimpin sidang, hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna menyatakan uji materi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dilanjutkan. Agenda sidang berikutnya mendengarkan tanggapan pemerintah dan Komisi Pemberantasan Korupsi. "Kami berharap uji materi ini segera selesai agar memberi kepastian hukum bagi KPK," kata Kurniawan, anggota Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta, satu dari empat pemohon judicial review, kepada Tempo.

Kurniawan dan kawan-kawan mengajukan permintaan uji materi Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur pemberhentian pimpinan KPK. Pasal itu menyebutkan pimpinan KPK diberhentikan sementara jika menjadi tersangka tindak pidana. Pasal inilah yang menjadi dasar Presiden Joko Widodo memberhentikan sementara dua pemimpin KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, pada 18 Februari lalu.

Abraham dan Bambang diberhentikan sementara setelah dijadikan tersangka dalam dua perkara oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bambang dituding mengatur pemberian keterangan palsu dalam persidangan sengketa pemilihan kepala daerah Kotawaringin Barat pada 2010, ketika dia menjadi pengacara di Mahkamah Konstitusi. Adapun Abraham dituding memalsukan dokumen kependudukan karena memasukkan nama Feriyani Lim yang bukan anggota keluarga ke kartu keluarga.

Pemberhentian sementara kedua pemimpin KPK ini menjadi sorotan karena dianggap kental dengan aroma kriminalisasi. Abraham dan Bambang dijadikan tersangka tak lama setelah KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka kasus suap dan pencucian uang. "Kami melihat itu sebagai serangan ke KPK lewat celah hukum yang memang ada," ucap Ketua Forum Kajian Hukum dan Konstitusi Victor Santosa Tandiasa, yang juga rekan Kurniawan dalam mengajukan uji materi.

Sebelum membawa perkara ini ke Mahkamah Konstitusi, Victor dan kawan-kawan menggalang dukungan untuk memprotes pemberhentian sementara Abraham dan Bambang. Mereka mengajak kalangan aktivis mahasiswa dan dosen untuk bergabung dalam Koalisi Masyarakat Hukum Peduli Pemberantasan Korupsi. Tak berhenti pada unjuk rasa, mereka akhirnya sepakat menutup celah hukum dalam Undang-Undang KPK itu dengan mengajukan permintaan uji materi. Beberapa hari setelah pemberhentian Abraham dan Bambang, Victor dan rekan-rekan mendaftarkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Ide untuk meminta uji materi pun rupanya menghinggapi benak tim pengacara Bambang Widjojanto. Mereka mematangkan rencana dalam serangkaian diskusi di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta. Hanya selisih sepekan dengan gugatan Victor dan kawan-kawan, tim pengacara Bambang mengajukan berkas permohonan uji materi. "Awalnya kami tak pernah berkomunikasi dengan mereka," ujar anggota tim pengacara Bambang, Alvon Kurnia Palma.

Kendati kedua kelompok ini tak sempat "bertegur sapa", gugatan mereka memiliki sejumlah kesamaan. Mereka sama-sama mempertentangkan Pasal 32 Undang-Undang KPK dengan batu uji Pasal 27 dan 28 Undang-Undang Dasar 1945 tentang persamaan hak warga negara di depan hukum.

Dalam permohonan uji materinya, kedua kelompok juga memandang pasal pemberhentian sementara itu sebagai diskriminasi terhadap pimpinan KPK. Alasan mereka pun sebangun: ketentuan serupa tak berlaku bagi pimpinan lembaga penegak hukum lain, seperti kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial.

Menurut kedua kelompok ini, kata "tersangka" dalam Pasal 32 Undang-Undang KPK pun tidak lantas menjadikan seseorang mutlak bersalah. Karena itu, pemberhentian sementara bisa melanggar asas praduga tak bersalah dalam proses hukum.

Tim pengacara Bambang Widjojanto memberi catatan khusus soal lemahnya perlindungan atas pimpinan KPK ketika dipidanakan oleh polisi. Mereka membandingkan pimpinan KPK dengan kepala daerah. Pasal 83 Undang-Undang Pemerintahan Daerah menyebutkan kepala daerah dan wakilnya baru diberhentikan sementara jika didakwa melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya minimal lima tahun penjara; terlibat pidana korupsi, terorisme, atau makar; mengancam keamanan negara; atau memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, pemberhentian sementara kepala daerah harus berdasarkan pada register nomor perkara di pengadilan.

Perlindungan atas upaya kriminalisasi pejabat negara juga diatur Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Pasal itu menyatakan hakim konstitusi hanya bisa dikenai pemidanaan oleh polisi atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan presiden. "Dibanding pimpinan lembaga negara lain, pimpinan KPK paling lemah posisinya," ujar Alvon.

Victor dan kawan-kawan juga menyoroti prosedur penetapan tersangka pimpinan KPK oleh kepolisian. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, syarat penetapan seseorang sebagai tersangka adalah adanya bukti permulaan yang cukup. Namun seperti apa bukti permulaan yang cukup itu tak jelas diatur dalam KUHAP. Pengaturan soal bukti permulaan ada dalam Peraturan Kepala Polri Nomor Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana. Peraturan itu menyebutkan bukti permulaan yang cukup minimal berupa satu laporan polisi plus satu alat bukti yang sah. "Pimpinan KPK begitu mudah dijerat sebagai tersangka, lalu dipaksa berhenti sementara," kata Kurniawan.

Kurniawan dan kawan-kawan meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang KPK tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Mereka pun meminta perlakuan hukum atas pimpinan KPK disamakan dengan pimpinan lembaga negara lain, yakni baru diberhentikan ketika menjadi terdakwa.

Soal pemberhentian sementara pimpinan KPK, tim pengacara Bambang tak menolak bulat-bulat. Menurut mereka, mekanisme pemberhentian sementara masih diperlukan untuk menunjukkan bahwa pimpinan KPK memang harus memiliki standar moral yang tinggi. Namun perlu dijelaskan dalam tindak pidana seperti apa seorang pemimpin KPK bisa diberhentikan sementara. "Misalnya, ketika pimpinan KPK menjadi tersangka kejahatan berat, seperti korupsi, terorisme, dan perdagangan manusia," ujar Moch Ainul Yaqin, anggota tim pengacara Bambang lainnya.

Di samping itu, menurut Ainul, tindak pidana berat itu harus dilakukan ketika pimpinan KPK sedang menjabat. Alasannya agar tak ada upaya untuk menjatuhkan KPK dengan mengorek kesalahan masa lalu pimpinannya. "Penetapan tersangka pimpinan KPK juga seharusnya dengan izin presiden seperti pimpinan lembaga negara lain," ucap Ainul.

Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Benny K. Harman menanggapi dingin uji materi ini. Menurut dia, Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang KPK tak mendiskriminasikan pimpinan komisi antirasuah. Ketentuan serupa terdapat dalam undang-undang lain, seperti Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. "Kami saja kalau jadi tersangka kan langsung diberhentikan sementara," ujar Benny.

Febriyan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus