Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi persekusi terhadap umat agama minoritas di Indonesia kembali menjadi sorotan setelah sebuah insiden berdarah mewarnai pelaksanaan peribadatan rosario mahasiswa Katolik Universitas Pamulang, Ahad malam, 5 Mei lalu, sekitar pukul 19.30 WIB. Ibadah doa rosario itu terhenti ketika rumah kontrakan di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Banten, tersebut digeruduk masyarakat sekitar yang membawa senjata tajam hingga melukai dua mahasiswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persekusi itu disebut terjadi karena masyarakat merasa terganggu oleh aktivitas para mahasiswa. Kegiatan ibadah di rumah kontrakan di Kelurahan Babakan, Kecamatan Setu, itu memicu adu mulut dan berujung penganiayaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Rabu, 8 Mei lalu, terjadi lagi tindakan persekusi terhadap umat minoritas. Pembubaran itu dialami jemaat Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Benowo. Puluhan anggota jemaat yang sedang berdoa di sebuah rumah di Perumahan Cerme Indah, Kecamatan Cerme, Gresik, Jawa Timur, tiba-tiba disuruh berhenti oleh warga yang juga tetangga mereka.
Peristiwa ini berakhir damai setelah dimediasi. Terungkap bahwa musabab persekusi adalah ada warga sekitar yang merasa terganggu oleh kendaraan yang diparkir di depan rumah itu dan menutupi akses jalan masuk ke rumahnya.
Persekusi yang terjadi di dua wilayah berbeda dengan waktu yang hampir berdekatan itu menambah panjang daftar peristiwa serupa dalam beberapa tahun belakangan. Setara Institute mencatat, pada 2007-2022 terdapat 573 kasus gangguan terhadap tempat ibadah dan peribadatan yang terjadi di Indonesia, dari pembubaran hingga persekusi.
Direktur Setara Institute Halili Hasan mengatakan dua peristiwa tersebut merupakan pelanggaran atas kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) sekaligus cerminan lemahnya ekosistem toleransi di tengah tata kebinekaan Indonesia.
"Dua kasus tersebut mempertegas bahwa situasi pelanggaran KBB stagnan serta gangguan atas tempat ibadah dan peribadatan masih terus terjadi," kata Halili kepada Tempo, Ahad, 12 Mei 2024.
Halili menyatakan berbagai kasus itu menunjukkan bahwa intoleransi dan kebencian terus menjadi ancaman terhadap hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan yang secara konstitusional harus dijamin oleh negara dan pemerintah. Menurut dia, ada dua faktor utama yang mendorong tindakan persekusi terhadap umat beragama minoritas, yaitu intoleransi di kalangan masyarakat dan kegagalan elemen negara untuk menjamin hak seluruh warga atas kebebasan beragama/berkeyakinan.
"Setara Institute mendesak pemerintah untuk melakukan beberapa tindakan yang dibutuhkan, seperti penanganan korban, penjaminan perlindungan hak atas KBB, dan penegakan hukum atas tindak kekerasan yang terjadi," kata Halili.
Halili menuturkan, agar kasus tidak terus berulang, ekosistem toleransi di tingkat masyarakat mesti dibangun dengan prakarsa kepemimpinan politik, misalnya wali kota dan seluruh kepemimpinan politik. Mereka perlu memberikan perhatian untuk agenda pemajuan toleransi.
"Di samping itu, diperlukan inisiatif dan kepemimpinan birokrasi, termasuk birokrasi di tingkat kecamatan dan RT/RW," katanya.
Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) juga turut menyoroti persekusi yang dialami umat beragama minoritas di Indonesia. Berdasarkan catatannya, dalam tiga bulan terakhir terjadi enam kasus persekusi yang terpublikasi.
Kasus itu di antaranya aksi sekelompok warga mendatangi salah satu rumah di Jalan Saga Bunar, Balaraja, Kabupaten Tangerang, pada 17 Maret lalu karena rumah itu kerap digunakan sebagai tempat ibadah umat kristiani. Ada pula aksi pencopotan plang Pos Pembinaan Umat Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Semboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, pada 21 Maret.
Selain itu, beredar sejumlah video persekusi terhadap beberapa anggota jemaat muda, anak-anak, dan perempuan di rumah doa POUK Tesalonika, Teluk Naga, Tangerang, yang sedang menyiapkan perayaan Paskah pada 30 Maret. Kasus lainnya, rumah warga di Karang Indah, Pandeglang, Banten, didatangi aparat karena dinarasikan sebagai gereja pada pertengahan April lalu.
Direktur Sejuk Ahmad Junaidi mengatakan kekerasan, pembubaran, ancaman, pembatasan, dan berbagai gangguan atau halangan lain yang dialami kelompok minoritas agama atau keyakinan dan kepercayaan untuk beribadah serta mendapat izin mendirikan rumah ibadah itu disebabkan oleh Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.
"PBM 2006 bersifat restriktif, sangat membatasi, dan kerap menjadi dasar bagi kelompok mayoritas yang dominan dan intoleran melarang kelompok minoritas yang berbeda agama atau keyakinan dan kepercayaan menjalankan ibadah di rumah atau tempat ibadah yang tidak mendapat dukungan warga (mayoritas)," kata Ahmad, Sabtu, 11 Mei lalu.
Padahal, Ahmad melanjutkan, hak beribadah sesuai dengan keyakinan tiap warga dijamin konstitusi dan negara wajib memfasilitasinya. "Persekusi dan tindakan brutal penyerangan serta upaya membubarkan dan menghalang-halangi orang beribadah adalah tindakan kriminal yang melanggar hukum," ujarnya.
Karena itu, Ahmad meminta aparat kepolisian bertindak tegas dengan menangkap serta mengadili para pelaku persekusi dan tindak pidana lain atas nama agama di Tangerang Selatan, Gresik, ataupun tempat lain.
Mediasi melibatkan pihak terkait yang dilaksanakan di Balai Desa Betiting, Kecamatan Cerme, Gresik, Jawa Timur, 9 Mei 2024. Dok. Polres Gresik
"Perdamaian tanpa efek jera hanya akan membiarkan praktik persekusi atas nama agama berulang dan meluas ke banyak tempat," ucapnya.
Kebijakan pemerintah yang diskriminatif juga disebut oleh Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah sebagai satu dari dua faktor penyebab berulangnya aksi persekusi terhadap kelompok agama minoritas. Faktor lain adalah paradigma masyarakat terhadap perbedaan agama dan keyakinan atau moderasi beragama.
"Di Indonesia, moderasi beragama belum berjalan secara optimal. Bagaimana satu kelompok agama menghargai kelompok agama lain, ini memang masih terus perlu didorong," kata Anis.
Anis pun mendorong pendekatan Standar Norma dan Pengaturan tentang Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang dikeluarkan Komnas HAM pada 2020. "Sehingga tidak mudah masyarakat melakukan aksi kriminal. Masyarakat juga didorong memiliki pemahaman yang lebih terbuka dan moderat dalam beragama serta berkeyakinan."
Dalam artikel yang diterbitkan dalam jurnal Journey-Liaison of Academia Society pada 30 April lalu, disebutkan bahwa dalam mengatasi pertentangan dan konflik agama, diperlukan komitmen dan kesadaran kolektif untuk menciptakan masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan, persaudaraan, dan toleransi. Moderasi beragama berperan penting dalam meredakan ketegangan dan menciptakan harmoni di tengah keberagaman agama yang ada.
Artikel yang ditulis Nesya Vania Nasution, lulusan Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, itu menyebutkan ada delapan faktor terjadinya konflik antarumat beragama, yakni klaim kebenaran, perbedaan keyakinan dan doktrin, persaingan politik dan ekonomi, etnisitas dan identitas, ekstremisme agama, ketegangan sosial dan budaya, peran media dan teknologi, serta sejarah konflik masa lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo