Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tembakan gas air mata secara membabi buta yang dilakukan polisi dalam tragedi Kanjuruhan diduga menjadi penyebab kematian ratusan orang. Dugaan ini bisa dibenarkan lantaran sejarah penemuan gas air mata awalnya dikembangkan untuk senjata kimia militer mematikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengutip Science History, sejarah penemuan gas air mata dimulai ketika ilmuwan Jerman pertama kali menciptakan bahan kimia chloroacetophenone pada akhir abad ke-19. Terlepas dari namanya, bahan kimia ini berupa bubuk mikro yang ketika tersebar di udara menyebabkan peningkatan air mata yang tidak terkendali, gangguan pernapasan, dan rasa sakit yang meningkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada awal abad ke-20, ahli kimia Perancis melakukan eksperimen terhadap gas air mata. Tujuannya, menemukan metode baru untuk diaplikasikan sebagai senjata pengendali kerusuhan massa. Temuannya ini sekaligus menghilangkan proyektil gas beracun, yang sebelumnya teridentifikasi di senjata kimia berbahaya lainnya oleh Konvensi Den Haag 1899.
Melansir Britannica, gas air mata pertama kali digunakan dalam Perang Dunia I. Pada momen itu, senjata kimia ini ampuh mengurai gelombang musuh, menyengat mata lawan, hingga membuat tentara kehabisan tenaga. Namun karena dianggap kurang mematikan pada jangka waktu singkat, gas air mata mulai tidak dilirik sebagai senjata militer.
Berdasarkan hasil keputusan Chemical Weapons Convention (CWC), gas air mata diklasifikasikan sebagai Riot Control Agent (RCA). Kemudian pada 1997, Pasal I Ayat 5 CWC secara tegas melarang senjata kimia ini digunakan dalam peperangan internasional. Tetapi, penggunaannya dimodifikasi sedemikian rupa oleh polisi Amerika Serikat sebagai senjata pengendali huru-hara.
Menurut seorang profesor Universitas Bournemouth di Inggris, Anna Feigenbaum, penggunaan gas air mata terbilang sangat efektif untuk membubarkan kerumunan massa. Ini dianggap sebagai senjata kurang mematikan, yang berarti tidak menimbulkan akibat fatal. “Karena biasanya tidak meninggalkan darah, tidak ada jejak,” kata dia seperti dikutip dari Vox.
Meski demikian, realitas di lapangan menunjukkan gas air mata untuk menghalau demonstran sering kali terbukti berakibat kematian. Organisasi hak asasi manusia Amnesty International telah mendaftarkan gas air mata sebagai bagian dari perdagangan internasional alat-alat penyiksaan. Sejumlah negara juga telah mengutuk penyalahgunaan gas air mata, salah satunya asosiasi medis Turki.
HARIS SETYAWAN