Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pisau Tumpul Pak Jaksa

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUKUM di Indonesia seperti adonan martabak. Ia bisa dibolak-balik, ditarik, dijembreng, dibuat lonjong, bundar, atau dibentuk apa pun. Kalau Pak Jaksa mau, apa saja bisa terjadi dengan perkara di tangan mereka. Indonesia Corruption Watch mencatat ada enam trik patgulipat yang mereka temui di kejaksaan. Dari cara yang paling kasar, misalnya pemerasan, negosiasi, status hukuman dan perkara, pelepasan tersangka, penggelapan perkara, sampai tawar-menawar pengurangan tuntutan hukuman. Anda masih ingat Ang Kiem Soei? Dia si raja pil ekstasi pemilik pabrik "pil girang" di daerah Cipondoh, Tangerang. Ang Kiem Soei disergap polisi pada April 2002 lalu. Laboratorium dan mesin cetaknya bisa memproduksi 15 ribu butir "pil setan" sehari. Bahkan hasil karya Ang alias Kim Ho alias Anche itu diduga sudah mengembara sampai Amerika. Tak ada hukuman lain yang lebih pantas untuk Anche selain mati. Beberapa pasal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika jelas menuliskan ancaman gawat ini. Tapi, undang-undang berusaha, jaksa yang menentukan. Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Tangerang, M. Roeskanedi, kata sumber TEMPO rupanya akan memilih pisau tumpul untuk mengiris kasus gembong narkotik besar itu. Pisau tumpul itu adalah Pasal 59 Ayat 1, yang ancaman maksimalnya "hanya" 15 tahun ditambah denda Rp 750 juta. Benar? Jaksa Roeskanedi ketika ditemui di kantornya di Tangerang enggan memberikan komentar. "Sebagai jaksa penuntut umum, saya tidak berwenang memberikan pernyataan pers. Toh, kami belum mengajukan tuntutan," katanya. Kasus Hendrawan Harjono, dalam perkara BLBI yang melibatkan Bank Aspac, lain lagi. Oleh jaksa penuntut umum, Hendrawan yang didakwa telah merugikan negara Rp 500 miliar lebih itu dituntut hukuman penjara lima tahun. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2001 memvonis Wakil Presiden Direktur Bank Aspac itu satu tahun penjara. Kontan saja Jaksa Agung (waktu itu) Baharuddin Lopa meminta Kejaksaan Tinggi Jakarta mengajukan banding. Hukuman itu dianggap Lopa kelewat enteng. Di tingkat banding, Hendrawan kena vonis lima tahun penjara, plus: Hendrawan diperintahkan langsung masuk bui. Namun, ada saja akal untuk mengelakkan hukuman. Jaksa seperti memberi peluang kepada Hendrawan untuk menyingkir. Ketika eksekusi akan dijalankan, ia tidak di tempat. Anehnya, jaksa tidak ngotot mencari. "Eksekusi penetapan penahanan hakim tak segera dilaksanakan oleh jaksa," ujar mantan jaksa yang pertama kali membuka kasus itu dengan geram. Hendrawan bebas dari kerangkeng. Kok bisa? Asisten Khusus Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Tinggi Jakarta, Tarwo Hadi Sadjuri, beralasan bahwa pihaknya baru menerima putusan pengadilan tinggi beberapa hari sesudah vonis dijatuhkan. Akibatnya, ketika dijemput, terdakwa "sedang pergi keluar kota". Aneh juga, mengapa jaksa tidak minta bantuan polisi, misalnya. Mirip sinetron konyol, eh, dalam "pelariannya" Hendrawan diketahui mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Jaksa punya "celah" lagi. Ia bilang, jika hakim agung sudah ditunjuk, kewenangan menahan Hendrawan beralih ke tangan Mahkamah Agung. Jaksa yang harusnya memasukkan Hendrawan ke hotel prodeo itu seakan mau cuci tangan. Ia melempar bola panas di tangannya ke atas. "Seharusnya MA cepat-cepat memberi penetapan, toh kami sudah pernah berupaya mengeksekusinya," kata jaksa senior yang baru diangkat sebagai Wakil Kejaksaan Tinggi Papua ini. Kasus Sjamsul Nursalim serupa tapi tak sama. Bos Bank Dagang Negara yang punya utang BLBI sekitar Rp 7 triliun itu mendapat izin dari Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk berobat ke Jepang, April 2001. Kebijakan ini dituding telah menyebabkan Sjamsul nyaris tak terjamah. Dari Jepang, Sjamsul bukan memilih bui kejaksaan yang berdebu, melainkan rumah sakit resik di Singapura. Ketika wartawan TEMPO berkunjung, Sjamsul ternyata sedang "cuti" dari rumah sakit. Marzuki menekankan bahwa Jaksa Agung memiliki wewenang memberikan izin kepada orang sakit berat untuk berobat. "Seharusnya bukan pemberian izin itu yang dipermasalahkan, melainkan mengapa upaya paksa untuk menghadirkannya ke Indonesia tak dilakukan," katanya menunjuk Kejaksaan Agung. Sjamsul bisa dipulangkan, misalnya dengan melakukan upaya paksa kepada para penjamin, keluarga Sjamsul, dan pengacaranya. "Kalau itu dilakukan, Sjamsul pasti balik," katanya. Ia jelas tak mau disalahkan, seperti yang lain juga. Bahwa Sjamsul tetap di luar jangkauan, itu saja sudah menunjukkan hukum memang masih seperti adonan martabak tadi. Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus