Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Plus minus perang melawan bandit

Kejahatan itu mirip wabah penyakit. lalu dilakukan operasi bersih. angka kejahatan menurun, kendati tidak diberlakukan penembakan misterius seperti tempo hari. tapi tindakan petugas yang main dor pada penjahat yang bergerak di kelas permukaan disesalkan.

21 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA sebagai gerbang republik ini terus dibenahi. Kali ini menyangkut ketenteraman masyarakat dari aneka tindak kriminal. Apalagi November nanti di sini akan berlangsung konferensi ekonomi Asia Pasifik (APEC). "Itu yang kami targetkan dalam Operasi Bersih," kata Panglima Daerah Militer Jakarta Raya, Mayor Jenderal A.M. Hendropriyono, kepada TEMPO (lihat: Jakarta Jantung Wibawa). Masyarakat ramai memang amat mendukung langkah Operasi Bersih ini, yang dilancarkan sejak April yang lewat, karena pada tahun-tahun belakangan ini tingkat kekejaman penjahat sudah keterlaluan. Simaklah kisah pemuda asal Gunungkidul ini, misalnya. Suatu hari menjelang subuh, awal April silam, Suprianto turun dari bus di depan Universitas Kristen Indonesia di Cawang, Jakarta Timur. Ia menenteng tas hitam. Lampu jalan masih nyala, dan jalan raya mulai ramai. Suprianto menawar ojek untuk mengantarnya ke kawasan Halim. "Seribu," kata si penarik ojek. Tawar-menawar tidak mencapai kata sepakat, Suprianto berjalan kaki melewati jembatan penyeberangan. Seorang lelaki dengan mulut bau alkohol mengikutinya. Ia dipaksa menyerahkan tasnya. Suprianto menolak. Penolakannya itu ternyata mengundang maut. Lima tusukan bersarang di punggung, dada, leher, dan ketiak Suprianto. Ia tewas. Si penusuk kabur. Tas hitam tergeletak utuh di sisinya. Isinya: tiga potong kue dari ketan, dan dua potong pakaian. Di dompetnya tersisa Rp 500, jumlah tawarannya buat ongkos ojek tadi. Betapa bobrok sudah laku para penodong di Jakarta, bahkan ketika Operasi Bersih dicanangkan, mereka masih mencoba unjuk gigi. Cuma dalam membasmi pelaku kejahatan ini, cara yang ditempuh mungkin ada yang luput dengan kelengkapan prosedur hukum. Contohnya, satu keluarga yang kehilangan anak lelaki -- sebut saja ia bernama Maman. Anak itu tewas ditembak. "Kami rakyat kecil, cuma bisa pasrah. Kalau protes, nanti diciduk pula," kata ayah Maman. Ia tinggal di rumah petak kawasan kumuh dan sering kebanjiran, Cipinang Baru, Jakarta Timur. Penjaga parkir beranak satu itu diciduk dari rumah orang tuanya, dini hari akhir April lalu. "Mereka main gedor dan tidak membawa surat perintah. Jempol anak saya diikat tali plastik, lalu dibawa keluar dengan todongan pistol," kata ayah Maman, yang mengaku tidak tahu apa dosa anaknya. Dan sekitar 100 meter dari rumahnya ia mendengar suara dor tiga kali. "Aduh, anakku mati," katanya. Setelah itu, Maman muncul kembali ditemani seorang reserse. Kakinya pincang. Pahanya ditembus pelor. Seorang reserse yang mengawalnya mengambil televisi milik Maman. Alasannya, itu barang curian. "Padahal, saya tahu teve itu belum lama dibelinya. Harganya Rp 380.000. Suratnya hilang," kata ayah Maman. Kemudian Maman digiring ke kantor polisi. "Besoknya saya dapat kabar anak saya jadi mayat di RSCM. Ada luka tembak di punggung dan dada kanan. Katanya, dia ditembak karena lari saat diminta menunjukkan persembunyian temannya di kawasan Cipinang," kata si ayah. Menurut sumber TEMPO di kepolisian, Maman penodong sekaligus pencuri yang beroperasi di Cipinang. Malam itu ia diminta menunjukkan persembunyian kelompoknya, tapi mencoba kabur. Peringatan tak dihiraukannya, ya, didor betulan. Operasi Bersih hingga akhir April lalu, menurut Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Mayor Jenderal Moch. Hindarto, telah menangkap 95 penjahat dan menyita 35 senjata tajam serta memusnahkan 43.000 lebih botol minuman keras. Sedangkan operasi membasmi pencurian dengan kekerasan, Maret-April, membuahkan 160 penjahat ditangkap dan 150 senjata tajam disita. Pada bulan-bulan sebelum operasi, kematian akibat penusukan penjahat rata-rata 25 orang per hari, tapi selama April lalu 16 yang tewas. Sedangkan hingga pertengahan Mei ini korban penusukan nihil. Ini berbanding terbalik dengan penjahat yang tewas di ujung pelor. Selama April, 9 penjahat tewas ditembak, meningkat tiga kali lipat dari bulan sebelumnya. Tapi sampai 13 Mei lalu belum ada bandit tewas tertembak. Boleh jadi, mereka kini bersembunyi ke Jawa Barat. Tapi, di sana, anak buah Mayor Jenderal Rukman Saminuddin, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, siap menyongsong. "Tembak penjahat yang melawan petugas, asal sesuai dengan prosedur. Jangan ragu- ragu," kata Rukman. Perintah tersebut sangat beralasan. Sebab, menurut catatan tahun 1993-1994, delapan polisi di Polda Jawa Barat tewas di tangan penjahat, dua luka berat, dan 22 luka ringan. Sedangkan di pihak penjahat, yang tewas didor 10 orang, 12 luka berat, dan 7 luka ringan. Kini di Polda Jawa Barat muncul istilah populer: bakat -- penjahat yang membahayakan polisi wajib disikat. Tapi, Rukman tetap mengingatkan agar anak buahnya tidak ringan tangan melepas pelor. "Tiap peluru yang ditembakkan harus bisa dipertanggungjawabkan," katanya. Lima tahun terakhir ini di Jawa Barat terjadi kejahatan rata- rata 16.000 kasus per tahun. Dan pada tahun 1993-1994 tinggal 14.800 kasus. Namun kualitasnya meningkat. "Kadang dibarengi pemerkosaan," kata Letnan Kolonel Istanto, Kepala Dinas Penerangan Polda Jawa Barat. Sabtu dua pekan lalu, misalnya, Supriyatna -- pensiunan kolonel -- tangan kirinya putus ditebas penjahat di depan rumahnya. Ketika itu ia mempertahankan uang Rp 13,5 juta yang baru diambil dari Bank BNI Bogor. Si bandit kemudian kabur. Untuk membuktikan bandit diburu tidak otomatis didor, contohnya Waryam. Ia penjahat kelas teri, tapi dijuluki si raja tega, karena berdarah dingin. Penarik ojek pun dia embat sampai tewas. Beberapa kali tertangkap, dia kabur dari sel polisi. Lalu, ia mengorganisasikan temannya untuk merampok. Petualangan Waryam berakhir di Ciparage Jaya, Karawang, pertengahan April lalu. Polisi mengepungnya di sarang pelacuran. Waryam melawan dengan celuritnya hingga melukai seorang polisi. Apa boleh buat, ia didor. Akan halnya bandit kakap, contohnya Johny Ceking alias Johny Kiting alias Dosen. Biang maling kendaraan bermotor ini belakangan juga merampok. Kasusnya ada 100 di Jawa Barat. Ia beraksi sejak 1987, ia juga diburu polisi Metro Jaya, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara, Bali, dan Sumatera Bagian Selatan. Awal Mei lalu ia tertangkap di rumah istri mudanya di Selabintana, Sukabumi. Karena melawan pakai samurai, Johny disudahi tim buru sergap Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung. Kini angka kejahatan di Kota Bandung, menurut Kapolwiltabes Bandung, Kolonel Waliran, menurun sampai 20 persen. "Penjahat kayaknya lagi mengendap atau cuti besar," katanya. Penjambret atau pemeras kelas teri di terminal juga susut. Di tengah suasana perang dengan bandit, selama April lalu, Kota Bandung kecipratan enam mayat dalam karung. Belum jelas apakah itu hasil kerja petugas keamanan atau kelompok lain, karena datangnya dari daerah lain. "Ada yang dari Garut atau Kabupaten Bandung. Dari luar wilayah kami," kata Letnan Kolonel Erwin M.A.P., Wakapolwiltabes Bandung. Di kalangan dunia bandit, kabarnya, ada anggapan makin sadistis tindakannya maka dia kian dihargai. "Mereka juga cenderung meniru apa yang dilihat di teve atau dalam film-film, seperti tingkah para mafia," kata Kolonel Didi Widayadi, Kapoltabes Semarang, kepada Arief A. Kuswardono dari TEMPO. Jadi, mereka pun bernyali melawan polisi. Sampai bulan Mei ini, menurut Didi, polisi di wilayahnya sudah menembak 14 penjahat, seorang di antaranya tewas. Korban diklasifikasi sebagai penjahat tradisional: jenis bajing loncat atau perampok. Tapi, kejahatannya dianggap sudah kelewat batas. "Sore tadi baru saja kami tembak dua lagi," kata Kapten Tugas Dwi Arianto, Kepala Kepolisian Sektor Kota Semarang Utara, awal Mei lalu. Di Yogya, selama April empat penjahat didor polisi sebagai buruan Operasi Kecoa 94. Tak sampai mati memang. "Siapa pun yang berbuat onar di Yogya, akan disikat," kata Kolonel Anwari, Kapolwil Yogyakarta, kepada R. Fadjri dari TEMPO. Semua pihak membenarkan bahwa pemicu kejahatan, antara lain, minuman keras. Sehingga Operasi Bersih yang dilakukan di Jawa Tengah menggaruk ratusan ribu botol minuman keras berkadar alkohol di atas 5% yang dijual di toko-toko tanpa izin. Dalam operasi itu, petugas juga menyita puluhan ribu botol minuman keras buatan "kampung" yang lebih memabukkan. Dan yang menduduki tempat teratas urusan minuman keras adalah Purwokerto, yaitu 106.000 botol. Disusul Semarang, 40.500 botol. Penggeledahan di Semarang juga dilakukan ke kampung- kampung. "Minuman keras sudah seperti penyakit masyarakat," kata Didi Widayadi. Kota-kota seperti Klaten, Sragen, Sukoharjo, Kebumen, Blora, dan Demak juga menyita minuman sekitar 5.000 botol. "Hanya Kabupaten Gunungkidul yang tidak berhasil menyita minuman keras," kata Letnan Kolonel Bardja, Kepala Dinas Penerangan Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Jawa Timur pun tidak diam melawan bandit. Di Surabaya, misalnya, polisi menggelar Operasi Sikat Ofensif 1994. Hasilnya, 360 orang diamankan. Antara lain, pemabuk berat, calo tiket, penjudi, penjual korek api porno, buron, dan pembawa senjata tajam, serta penjahat kambuhan. Minuman keras juga ditindak. Tapi, ada 6.750 botol yang dikembalikan ke Suparto, pemiliknya. "Waktu digerebek dulu, pemiliknya hanya bisa menunjukkan fotokopi surat izin. Tapi, setelah ia tunjukkan aslinya, barang-barang itu kami kembalikan," kata Mayor D.B. Made Suharya, Wakasatserse Polwiltabes Surabaya. Ujungpandang juga mengikis minuman keras. "Kami akan terus melanjutkan operasi guna tertibnya peredaran minuman keras di kota ini," kata Kolonel Da'i Bachtiar, Kepala Kepolisian Kota Besar Ujungpandang, kepada Sukriansyah S. Latief dari TEMPO. Berkat operasi ini, angka kejahatan bulan April 1994 turun 30% dibanding pada April 1993. Sedangkan di Sumatera Utara gebrakan membasmi bandit tidak semeriah di Jakarta. Operasi Kumandahan -- artinya berpindah- pindah tempat -- diawaki anggota Brigade Mobil bergerak menurut kebutuhan, yang dilancarkan sejak Oktober 1993. Mereka menggelar tenda, siang hari memberi penyuluhan pada masyarakat, malamnya menangkapi pelaku kejahatan. Di lingkungan Kepolisian Kota Besar Medan, sebulan ini hanya ada satu penjahat yang luka terkena tembakan. "Kejahatan di Sumatera Utara biasa-biasa saja. Jadi, pola penanganannya, ya, rutin saja," kata Letkol Leo Sukardi, Kepala Dinas Penerangan Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Tapi Medan beken dengan premannya. Kasus terbaru, sebuah minibus angkutan kota dibakar Nanda di Simpang Limun, suatu pagi awal Mei lalu. Sebab, si sopir, Dedi Sarfa, 37 tahun, kabarnya, lalai bayar upeti Rp 500 sehari. "Mau kau mati di sini," Nanda mengancam sopir itu dengan sebilah pisau. Dedi ngeri, apalagi mulut Nanda bau alkohol. Preman itu menyuruh mobil dikosongkan. Kemudian ia membakarnya. Dalam sekejap mobil dilalap api. Polisi datang, dan Nanda sudah raib. Kehadiran preman tukang pangur alias pemeras ala Medan itu lumayan meresahkan. Chairil Siregar, Sekretaris Organda Sumatera Utara, mengungkapkan bahwa di Medan terdapat 4.600 unit oplet nonbus, dan semua tidak luput dari pungli. Gara-gara pungli ini pula ratusan sopir angkutan kota di Binjai, dekat Medan, mogok tiga hari sejak 1 April lalu. Mereka unjuk rasa ke DPRD Kota Madya Binjai, karena bosan melapor ke polisi yang dianggapnya kurang tanggap. Uang keamanan Rp 3.000 per hari yang dicukai preman bisa bikin oleng periuk nasi mereka. Trayek Binjai-Stabat 20 km paling sedikit dihadang 10 pos keamanan liar. Leo mengaku sulit menghilangkan preman Medan. Sebab, katanya, tidak ada pengaduan dari warga yang jadi korban. "Kalau tak ada yang mengadu, polisi tidak bisa bertindak," katanya. Sebab, ini delik aduan. Leo menyerukan agar masyarakat punya keberanian mengadu. "Jika sekali saja kejahatan itu ditolerir, lama-lama jadi kebiasaan," katanya. Mungkin Leo benar. Cuma mengapa korban enggan mengadu? Kejahatan mirip wabah penyakit. Jika terlambat diobati, bisa meruyak dan menelan biaya besar. Apa pun penyebabnya, gebrakan membasmi kejahatan di masyarakat luas diharapkan bukan hanya semusim.Widi Yarmanto, Taufik Alwie, Ahmad Taufik, dan Bambang Sujatmoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum