TIDAK hanya di zaman perang perlu jenderal. Agaknya, jenderal juga diminta berperan di zaman damai. Lihat, para jenderal di beberapa markas Kepolisian Daerah dan Komando Daerah Militer di Indonesia kini menyatakan perang terhadap kejahatan dan bandit. Kemudian mereka ramai-ramai mengatur barisan untuk melaksanakan operasi. Operasi gabungan ini dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstanasda). Mereka berjanji akan menghabisi para bandit. Mereka bukan bermaksud merampas tugas yang selama ini diemban polisi. Sementara itu, Pangdam Jaya Mayor Jenderal A.M. Hendropriyono mengatakan, bandit di Ibu Kota harus sudah habis November mendatang. Bandit-bandit itu memang makin nekat. Mereka menodong tidak lagi sebagai menakuti-nakuti calon korbannya, tapi tidak sedikit yang menghabisi mangsanya. Bahkan ada yang berperilaku sadistis. Itulah yang membuat petugas keamanan bertambah geram. Dalam pada itu, minuman keras dituding sebagai biang kenekatan bagi penjahat. Untuk ini barangkali ada baiknya dikutip sebuah cerita dari seorang da'i. Begini: Ada seseorang yang disuruh menentukan, mana yang disukai, membunuh, memperkosa, atau mereguk minuman keras. Dalam benak orang ini, membunuh dan memperkosa adalah dosa besar. Lalu ia memilih menenggak minuman keras. Apa yang terjadi? Orang itu, selain menjadikan dirinya sebagai jin botol, malah akhirnya berani membunuh dan memperkosa. Jadi, berapa jenis dosa yang ditanggungnya? Dan itu baru disesalkannya setelah ia ditangkap serta dijebloskan dalam bui. Barangkali, akibat dari minuman beralkohol itu juga satu alasan kenapa operasi terhadap minuman keras kini giat dilakukan. Ternyata sudah ribuan botol minuman keras -- bersama senjata tajam dan senjata api -- disita selama operasi gabungan itu dilaksanakan. Lalu jalur mana yang dipilih dalam memberantas kejahatan dan bandit: penembakan misterius yang tempo hari populer sebagai petrus, atau diganti dengan penembakan terang-terangan alias petrang? Beberapa Kepala Kepolisian Daerah kini bahkan terang-terangan menyerukan pada anak buahnya: "Tembak saja. Daripada didahului, lebih baik kalian mendahului." Ini memang formula dalam suatu peperangan. Apalagi hukuman yang berat bagi pembunuh polisi selama ini sudah sering membuat tidak kapok penjahat. Sikap polisi sebagai ujung tombak dalam Operasi Bersih juga seragam dan jelas: ya, tembak saja. Dan hasilnya kini dapat dilihat di beberapa Kepolisian Daerah yang berbicara tentang mayat yang ditembak di tempat. Jadi, penembakan itu dilakukan terang-terangan, dengan alasan si penjahat kabur atau berusaha melawan polisi. Bagi yang setuju, yang selama ini merasa dirinya tidak aman, kini berubah lega. Rasa takut sekonyong hilang dalam diri mereka. Sedangkan yang tidak setuju -- terutama jika ada mayat hasil penembakan petrang -- bergegas mengambil perisai yang mengibarkan hak asasi. Bertolak dari kejadian dan evaluasi yang sudah disebut tadi, pekan ini TEMPO menurunkan Laporan Utama perang para jenderal itu terhadap bandit. Adakah Operasi Bersih yang sudah dilaksanakan di Jakarta dianggap efektif? Kemudian, kejadian serupa akan terulang lagi nanti, sebagai pertanda operasi ini hanya musim-musiman saja -- seperti pernah terjadi setelah petrus lenyap. Setelah suasananya dingin, kemudian si penjahat muncul lagi beroperasi? Laporan Utama ini dibagi dalam tiga bagian, dan ditambah beberapa boks. Kami mencoba merekam pengalaman masa lalu dari mereka yang pernah bergaul dengan dunia kekerasan. Mungkin suara mereka perlu juga disimak dalam mencari solusi terbaik untuk memerangi kejahatan. Di samping itu, juga direkam pendapat beberapa ahli di bidangnya. Dan sebagai warna, kami juga menyajikan sebuah cerita di balik berita, bagaimana para "duta" dari Kayuagung, Sumatera Selatan, berkelana ke luar negeri untuk menjadi bandit. Ternyata hasil yang diperoleh di negeri orang itu mereka kirim ke kampung halamannnya sebagai sumbangan untuk biaya membangun.Zakaria M. Passe
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini