Kasus unjuk rasa buruh di Medan sungguh dahsyat. Di samping mengakibatkan seorang pengusaha tewas dan beberapa orang luka- luka, juga sekitar 150 bangunan, baik pabrik maupun perkantoran di sekitar kawasan industri Medan, hancur. Barangkali, baru kali inilah gelombang unjuk rasa paling gemuruh yang pernah terjadi dalam sejarah pekerja (buruh) pada masa Orde Baru. Bila kita perhatikan, kehidupan mayoritas buruh di Tanah Air memang cukup memprihatinkan. Dalam kondisi hidup yang amat minim, mereka dipacu mengikuti irama mesin pabrik dari suatu perusahaan demi memberi laba yang besar bagi pengusaha. Kehidupan mereka secara ekonomis terpojok dan merasa tertindas, sehingga dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, hidup mereka tak lebih dari sekadar bertahan untuk hidup (survived), tanpa adanya suatu jaminan akan masa depan mereka. Sementara itu, pada upaya untuk memperbaiki nasib, mereka selalu berada pada posisi yang lemah. SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), wadah yang diharapkan dapat menampung dan memperjuangkan kesejahteraan mereka, dalam kenyataannya, tak mampu berbuat banyak. Bahkan, lebih cenderung melindungi pengusaha. Maka, wajarlah bila mereka berpaling kepada SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), sebuah organisasi baru yang secara yuridis belum diakui Pemerintah. Kasus unjuk rasa buruh di Medan dapat dikatakan merupakan refleksi puncak ketidakpuasan para buruh terhadap pengusaha di Indonesia, setelah kasus Marsinah. Muchtar Pakpahan, selaku Ketua Umum SBSI, secara jentelmen menyatakan bahwa dia dan organisasinya bertanggung jawab atas unjuk rasa hari pertama. Tapi, unjuk rasa pada hari kedua, dengan segala ekses yang ditimbulkannya, adalah di luar pengetahuan dan kendalinya. Walau demikian, dia tetap menyatakan siap menerima segala risiko yang mungkin timbul. Sementara itu, pejabat yang berkompeten menyatakan, kerusuhan itu telah menjurus ke isu SARA dan cara-cara yang diterapkan oleh PKI. Sebagai akibatnya, semua pihak, baik SBSI sendiri maupun Pemerintah dan aparat keamanan, menyimpulkan bahwa unjuk rasa buruh tersebut sudah tak murni lagi aspirasi buruh. Artinya, mereka telah ditunggangi oleh pihak ketiga. Bahkan, para pengamat sosial ataupun politik berkomentar bahwa unjuk rasa tersebut merupakan gambaran dinamika elite politik di pusat (Jakarta). Terlepas dari segala komentar atas peristiwa tersebut, ada satu hal yang patut dicatat dan diperhatikan semua pihak yang berkompeten. Yakni yang dituntut oleh para buruh tersebut adalah sangat wajar dan prinsipiil. Mereka minta agar semua pengusaha memenuhi ketentuan UMR (upah minimum regional) secara konsekuen. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja, agar sungguh-sungguh mengawasi pelaksanaan ketentuan hak-hak normatif buruh, sebagai salah satu upaya mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Dan secara tegas menindak pengusaha yang membandel, bahkan jika perlu menyeret mereka ke pengadilan.CHARLES PASARIBU, S.H. Jalan Letjen Suprapto No. L 54 D Jakarta Pusat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini