Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) akan mengirimkan surat audiensi kepada Komisi III DPR dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) ihwal penghentian penyelidikan kasus kematian Afif Maulana. Langkah ini diambil sebagai bentuk keberatan atas keputusan Polda Sumatera Barat yang menghentikan penyelidikan kasus tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami siapkan surat audiensi ke Komisi III dan Menkopolhukam," ujar Komisioner KPAI Diyah Puspitarini kepada Tempo saat dihubungi pada Senin, 6 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat tersebut rencananya akan dikirimkan hari ini untuk meminta audiensi. Sebab, KPAI menilai proses gelar perkara khusus yang dilakukan oleh Polda Sumatera Barat pada 31 Desember 2024 terkesan terburu-buru dan minim transparansi. Menurut dia, KPAI sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam perlindungan anak seharusnya dilibatkan dalam proses tersebut. Namun, mereka tidak menerima undangan untuk hadir.
“Ini menimbulkan pertanyaan besar terkait transparansi dan keseriusan dalam mengungkap kebenaran,” katanya.
Afif Maulana, 13 tahun, ditemukan tewas di bawah Jembatan Kuranji, Sumatera Barat, pada Juni 2024. Dugaan awal menyebutkan bahwa kematian Afif disebabkan oleh tindak penganiayaan yang melibatkan polisi saat menangani tawuran. Namun, polisi membantahnya dan menyatakan bahwa Afif tewas akibat terjatuh dari jembatan.
Keputusan penghentian penyelidikan diumumkan oleh Kapolda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Suharyono pada 31 Desember 2024 setelah gelar perkara kasus yang berlangsung lebih dari enam bulan itu berlangsung. Kuasa hukum korban menyebut gelar perkara tersebut tidak transparan dan tidak melibatkan pihak keluarga secara penuh.
Diyah mengatakan, keputusan penghentian penyelidikan kasus yang melibatkan anak sebagai korban tidak boleh diambil secara gegabah. “Korban adalah anak yang masih dalam tanggung jawab keluarga dan negara, sehingga tidak boleh diperlakukan dengan semena-mena atau distigma negatif,” ujarnya.
Menurut KPAI, proses investigasi semestinya tidak hanya bertumpu pada pernyataan dokter forensik, tetapi juga melibatkan psikolog forensik. Namun, masukan tersebut diabaikan oleh Polda Sumbar. Diyah juga mengungkapkan bahwa permintaan KPAI untuk mendapatkan hasil visum dan ekshumasi tidak dipenuhi. “Hal ini masuk dalam kategori pengabaian terhadap lembaga negara yang memiliki kewenangan terkait perlindungan hak asasi manusia,” kata Diyah.
Polda Sumatera Barat sebelumnya menegaskan bahwa prosedur gelar perkara sudah sesuai aturan. Kabid Humas Polda Sumbar Komisaris Besar Dwi Sulistyawan menyatakan bahwa pelapor hanya dilibatkan pada termin pertama untuk memberikan informasi, sementara proses di termin kedua bersifat internal.
Kuasa hukum keluarga korban menyatakan akan menempuh langkah hukum setelah menerima Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP2 Lidik). “Sebuah gelar perkara khusus seharusnya membuka fakta dan alat bukti secara transparan,” kata Alfi Syukri, kuasa hukum Afif.
KPAI bersama Lembaga Negara Hak Asasi Manusia lainnya berencana mendorong pengawasan lebih ketat atas proses penegakan hukum yang melibatkan anak sebagai korban. "Kami akan terus mengawal kasus ini demi keadilan untuk Afif," ujar Diyah.