Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aktor Rio Reifan kembali tersandung kasus narkoba.
Setiap bekas pecandu cenderung kembali menjadi pengguna narkoba.
Hukuman penjara tak efektif menekan angka pengguna narkoba.
AKTOR Rio Reifan kembali terjerat kasus narkotika, psikotropika, dan obat terlarang (narkoba). Untuk yang kelima kalinya pria 39 tahun itu harus berurusan dengan polisi. Terakhir, dia dibekuk di kediamannya di Jatinegara, Jakarta Timur, pada Jumat malam lalu. Polisi menyita tiga paket kecil sabu, setengah butir ekstasi, dan 12 butir alprazolam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penangkapan Rio Reifan itu terjadi hanya selisih dua bulan setelah dia bebas pada Februari 2024. Sebelumnya, dia divonis 3 tahun penjara pada 16 November 2021 atas kepemilikan narkotika. Rio sempat mengajukan permohonan banding dan kasasi, tapi upaya itu tidak mengubah hukuman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan seorang bekas pecandu narkotika berpeluang mengulangi perbuatannya, meski sudah keluar dari lembaga pemasyarakatan (lapas) dan menjalani rehabilitasi. “Begitu mereka melakukan hal bodoh (menggunakan narkotika) lagi, kembali ditangkap,” katanya, kemarin, 30 April 2024.
Setiap bekas pecandu memang memiliki kecenderungan kembali menggunakan narkoba. Jika kecenderungan itu meningkat, kata Reza, program rehabilitasi yang diselenggarakan pemerintah perlu dievaluasi. “Ini menunjukkan, program rehabilitasi masih jauh panggang dari api,” katanya.
Kegiatan terapi grup pascarehabilitasi di Klinik Pratama Marennu Deceng BNN Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, 15 Juli 2022. Bnn.go.id
Menurut dia, ada sejumlah penyebab yang membuat program rehabilitasi tidak berjalan sesuai dengan harapan. Misalnya, metode yang digunakan untuk merehabilitasi pecandu diterapkan secara merata kepada setiap orang. Padahal, untuk menghadapi pecandu, dibutuhkan pendekatan personal. Dengan demikian, metodenya pun perlu disesuaikan.
Kegagalan program rehabilitasi juga bisa disebabkan oleh masa perawatan yang terlalu singkat. Seorang pecandu mungkin bisa disembuhkan dari ketergantungan dalam beberapa bulan. Namun rentang waktu itu belum tentu bisa diterapkan kepada pecandu lain. “Sehingga, rehabilitasi belum tuntas, tapi sudah dilepas,” katanya.
Umumnya, seorang pecandu tidak memiliki pertahanan diri yang kuat. Perilaku mereka sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Karena itu, mereka akan mudah kembali menggunakan narkoba jika dikembalikan pada lingkungan sosial yang sama.
Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Barat Ajun Komisaris Besar Indrawienny Panjiyoga mengatakan, ketika ditangkap pada Jumat lalu, Rio Reifan mengaku khilaf kembali menggunakan narkoba. “Hampir semua pengguna yang kami tangkap pasti bilangnya khilaf,” ucap Panjiyoga.
Selain Rio Reifan, pesohor lain yang berulang kali terjerat kasus narkoba adalah Muhammad Ammar Akbar alias Ammar Zoni. Pertama, dia divonis 1 tahun penjara pada 2017 karena terbukti menggunakan ganja dan sabu. Enam tahun kemudian, dia divonis 7 bulan penjara atas kasus serupa. Kemudian baru beberapa bulan bebas, ia kembali berurusan dengan polisi atas kepemilikan sabu, ganja, dan obat hexymer.
Anggota Kelompok Ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) Bidang Psikologi Forensik Klinis, Adityana Kasandra Putranto, mengatakan seorang bekas pencandu narkotika cenderung kambuh karena gangguan adiksi yang melibatkan aspek neuropsikologis. Rasa ketergantungan itu dimulai dari gangguan pada otak yang berfungsi memberi rasa senang dipenuhi oleh dopamin.
Lonjakan dopamin secara tiba-tiba itu, kata Adityana, sangat mendorong individu untuk mendapat kesenangan. Dorongan inilah yang memunculkan kondisi kecanduan narkotika secara terus-menerus. Dari hasil sejumlah penelitian terlihat hubungan komorbiditas antara kecanduan dan depresi yang mempengaruhi fungsi kendali diri. “Sehingga makin sulit menahan keinginan mengkonsumsi narkotika di kesempatan selanjutnya,” katanya.
Dalam merehabilitasi pencandu narkoba terdapat beberapa model terapi yang umum digunakan. Di antaranya adalah cold turkey, yaitu menghentikan penggunaan narkoba secara langsung tanpa obat-obatan. Kemudian ada terapi medis atau detoksifikasi yang menggunakan obat-obatan di bawah pengawasan dokter berpengalaman. Selain itu, ada model terapi dalam bentuk substitusi, alternatif, psikoreligius, dan therapeutic community.
Pemutaran film penanganan pecandu narkoba di Unit Terapi dan Rehabilitasi BNN (Badan Narkotika Nasional), Lido, Sukabumi, Jawa Barat. Dok. TEMPO/Arif Fadillah
Untuk terapi rehabilitasi yang digunakan BNN, kata Kasandra, selalu mengikuti standar nasional tentang layanan rehabilitasi bagi pecandu. “Untuk memastikan proses rehabilitasi berjalan optimal,” katanya. Adapun pendekatan selama rehabilitasi bisa dilakukan secara individu ataupun kelompok. Waktu yang dibutuhkan untuk rehabilitasi pun disesuaikan dengan tingkat keparahan penderita. “Itu perlu asesmen lebih dulu,” katanya.
Selama masa pemulihan, individu yang menjalani rehabilitasi perlu mendapat dukungan dari keluarga, kerabat, dan masyarakat. Ahli psikologi juga perlu dilibatkan untuk memberikan layanan konseling.
Kasandra sepakat, hukuman penjara tidak efektif mengatasi masalah penggunaan narkoba. “Pendekatan yang lebih efektif adalah yang melibatkan rehabilitasi, dukungan sosial, dan pendidikan tentang bahaya narkotika,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Han Revanda Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini