Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Respons Berbeda Novel Baswedan dan Puspom TNI soal Kasus Suap Kepala Basarnas

Novel Baswedan dan Puspom TNI memberi respons berbeda soal kasus suap Kepala Basarnas.

28 Juli 2023 | 20.18 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menangkap Arif Budi Cahyanto bersama Direktur Utama PT Inter Tekno Grafika Sejati, Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil. Ketiganya ditangkap saat proses penyerahan uang suap yang ditujukan kepada Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsdya Henri Alfiandi di sebuah tempat di Bekasi, Jawa Barat, pada Selasa, 25 Juli 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam penangkapan itu, KPK juga menyita uang tunai sekitar Rp 5 miliar. Sebanyak Rp 999,7 juta berasal dari PT Inter Tekno Grafika Sejati sementara sisanya berasal dari PT Kindah Abadi Utama. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menyatakan bahwa uang suap tersebut diberikan sebagai bentuk commitment fee karena perusahaan mereka ditetapkan sebagai pemenang proyek dalam lelang pengadaan barang di Basarnas.

Terima suap 10 persen dari nilai kontrak sebesar Rp 89,9 miliar

PT Inter Tekno Grafika Sejati memenangkan proyek pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan dengan nilai tender Rp 9,99 miliar. Sementara PT Kindah Abadi Utama memenangkan proyek pengadaan peralatan selam atau public safety diving equipment dengan nilai Rp 17,4 miliar dan pengadaan kapal selam nirawak atau Remotely Operated Vehichle (ROV) untuk Kapal Negara SAR Ganesha dengan nilai kontraknya mencapai Rp 89,9 miliar.

"Dalam pertemuan ini, diduga terjadi ‘deal’ pemberian sejumlah uang berupa fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak,” ujar Alexander dalam konferensi pers Rabu, 26 Juli 2023.

Kepala Basarnas ikut terseret

Setelah penangkapan dan penetapan tersangka kepada tiga orang itu, KPK juga menetapkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan sebagai tersangka. Henri disebut sebagai pihak yang akan menerima uang tersebut sementara Mulsunadi merupakan atasan dari Marilya.

Selain itu, KPK juga menyebut Henri menerima suap dari berbagai pihak lainnya dalam pengadaan proyek barang dan jasa di lingkungan Basarnas tahun anggaran 2021-2023. Total nilai suapnya, menurut KPK, hingga Rp 88,3 miliar.

Pasal yang dikenakan KPK

Dalam kasus ini, KPK menjerat para pemberi suap dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Adapun untuk Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan anak buahnya, KPK  menyerahkannya kepada Puspom TNI karena keduanya masih merupakan perwira aktif.

Novel Baswedan: OTT harus digunakan agar orang takut korupsi

Mantan penyidik KPK Novel Baswedan mengomentari keberhasilan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dalam dugaan tindakan suap di Basarnas. Novel Baswedan mengatakan bahwa operasi tersebut memang harus diterapkan.

“Itu bagus. Memang OTT harus digunakan sebagai upaya penindakan sekaligus membuat orang lain takut berbuat korupsi (deterrence effect),” kata Novel saat dihubungi, Kamis, 27 Juli 2023.

Menurut Novel, KPK jika ingin memberantas korupsi secara efektif harus dilakukan aktivitas penindakan, pencegahan, dan pendidikan secara bersamaan. Novel menyebutkan negara-negara dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di atas 5, tentu akan lebih mengedepankan pencegahan.

Sayangnya, IPK Indonesia masih rendah yakni 3,4 sehingga tidak bisa pendekatan utamanya dengan pencegahan. "Pencegahan juga tidak akan efektif bila penindakannya lemah. Dan penindakan yang paling efektif adalah dengan OTT,” ujar Novel.

Puspom TNI: KPK melebihi kewenangan

Di sisi lain, Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI memprotes langkah KPK dalam operasi tangkap tangan kasus suap terhadap Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi. Komandan Puspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko menyebut KPK telah melebihi kewenangannya dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. 

Agung memprotes penangkapan dan penahanan terhadap Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto. Menurut dia, KPK tak bisa melakukan penangkapan dan penahanan tersebut karena Arif masih berstatus sebagai anggota TNI aktif.

"Menurut kami apa yang dilakukan oleh KPK untuk menahan personel militer menyalahi aturan," kata Agung dalam konferensi pers di Mabes TNI, Cilangkap, Jumat 28 Juli 2023. 

Demikian juga dengan penetapan tersangka terhadap Henri. Menurut Agung, hal itu tak bisa dilakukan karena alasan yang sama.

Tindak pidana TNI harus dibuktikan oleh internal TNI

Agung mengatakan, segala tindak pidana yang dilakukan oleh personel TNI harus dibuktikan oleh internal TNI baik dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga proses penuntutannya melalui peradilan militer dan itu telah diatur dalam UU. 

"Mekanisme penetapan tersangka ini adalah kewenangan TNI sesuai dengan UU yang berlaku, jadi kita saling menghormati, kita punya aturan masing-masing," kata Agung. 

Puspom TNI tak akui penetapan tersangka personelnya oleh KPK

Dengan begitu, lanjut Agung, pihaknya tak akan mengakui penetapan tersangka oleh KPK terhadap Henri Alfiandi maupun Arif Budi Cahyanto. Dia menyatakan Puspom TNI baru memulai penyelidikan pada hari ini setelah mereka menerima laporan. 

"Kami belum melaksanakan proses hukum sama sekali, karena dasar kami melaksanakan proses hukum ada laporan polisi, siang ini baru kami terima laporan itu dan baru kami mulai proses penyelidikannya," kata Agung. 

ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | AKHMAD RIYADH

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Š 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus