Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Rintangan Berat Menggapai Kursi

DPR akan memilih dua calon hakim agung dari enam nama yang disodorkan Komisi Yudisial. Status Achmad Ali akan menjadi perdebatan.

13 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEENAM orang itu kini nasibnya di tangan DPR. Setelah mereka diperas dan digojlok di Komisi Yudisial selama sekitar tujuh bulan, kini DPR akan menjadi penentu terakhir: siapa di antara mereka yang layak jadi hakim agung?antara lain dengan menggelar uji kelayakan.

Sebelumnya, Komisi Yudisial sudah melakukan seleksi ketat. Mereka disaring dari 150 pelamar lewat berbagai tes, mulai dari tes kesehatan hingga tes kepribadian. Hasilnya, Senin pekan lalu, Komisi memutuskan enam nama layak dikirim ke Dewan. Mereka adalah Abdul Gani Abdullah, Achmad Ali, Ahmad Mukhsin Asyrof, Aminuddin Sale, Bagus Sugiri, dan Komariah Sapardjaja. ?Saya mengharap DPR nanti jujur dalam menilai kami,? kata Komariah, guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Lumayan mengejutkan bahwa Achmad Ali, 54 tahun, ikut lulus. Menjelang tes akhir di Komisi Yudisial, guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang juga anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia itu tersandung kasus. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan menetapkannya sebagai tersangka korupsi dana program pascasarjana Fakultas Hukum, dan menilap uang perjalanan Rp 250 juta. ?Kami punya buktinya,? ujar Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Masyhudi Ridwan.

Dalam tes wawancara, Komisi Yudisial juga mencerca Achmad perihal SMS-nya yang dikirim ke seorang pensiunan jenderal. Dalam pesan ringkas itu, kata Ketua Komisi, Busyro Muqoddas, Achmad minta dukungan sang jenderal. Sebagai imbalan, ia akan memberikan kompensasi atas pelanggaran hak asasi yang menyangkut jenderal itu. Achmad mengaku mengirim SMS itu, tapi soal kompensasi ia menyangkal. ?Isi SMS itu ditambah-tambahi, ada yang ingin menjatuhkan saya,? katanya kepada Tempo.

Menurut sumber Tempo, Komisi Yudisial memberikan perhatian khusus kepada ahli hukum pidana ini. Karena itu, pada tahap pemeriksaan ke lapangan, Oktober lalu, Komisi mengirim ketua panitia seleksi hakim agung, Mustafa Abdullah, untuk menyelidiki Achmad di Makassar. Di sana Mustafa menemui para petinggi Universitas Hasanuddin, termasuk dekan dan ketua program pascasarjana Fakultas Hukum.

?Kesimpulannya, Achmad tidak terlibat kasus korupsi,? kata sumber itu. Dihubungi Tempo pada Rabu pekan lalu, Mustafa tak menampik ia ?menyelidiki? Achmad. Tapi, ?Hasilnya tidak mungkin saya ungkapkan. Itu bagian dari investigasi kami,? ujarnya.

Achmad?juga lima calon hakim agung lainnya?akan menjalani uji kelayakan pada akhir bulan ini. Sebelumnya, Dewan akan meminta masukan masyarakat atas nama-nama itu. Setelah itu, satu per satu mereka ?diadili? oleh anggota Komisi Hukum yang terdiri dari 46 orang. ?Baru kemudian digelar rapat pleno untuk memutuskan siapa yang dipilih,? kata Gayus Lumbuun, anggota Komisi Hukum dari Fraksi PDI Perjuangan.

Menurut Gayus, karena UU Komisi Yudisial menyatakan DPR akan memilih satu dari tiga nama yang disodorkan Komisi, pihaknya maksimal memilih dua nama. Fraksi PDIP, yang memiliki 10 suara di Komisi Hukum, cenderung tidak mempermasalahkan status tersangka Achmad. Menurut Gayus, selama belum ada putusan tetap dari pengadilan, Achmad berhak menjadi hakim agung. Hanya, Gayus menolak isu yang kini santer: Fraksi PDIP memplot Achmad jadi hakim agung. ?Tidak ada, dia juga bukan anggota,? ujarnya.

Berbeda dengan Gayus, tokoh Golkar di Komisi Hukum, Akil Mochtar, menyatakan Achmad tak pantas jadi hakim agung. Menurut Akil, fraksinya akan menolak jika ada tersangka jadi hakim agung. Alasan Akil, hakim agung tidak boleh cacat hukum. ?Lebih baik dia mundur secara sukarela,? kata mantan Wakil Ketua Komisi Hukum itu.

Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Nursjahbani Katjasungkana, sependapat dengan Akil. ?Saya heran, apa yang mendasari Komisi Yudisial meloloskan dia,? ujarnya. Saat uji kelayakan, kata Nursjahbani, partainya akan mempersoalkan status Achmad.

Rintangan berat agaknya harus dihadapi Achmad Ali untuk menggapai kursi hakim agung. Kepada Tempo, ia menyatakan ada sejumlah pihak yang takut ia jadi hakim agung. Siapa? Ia tak sudi buka mulut. ?Dia juga yang merekayasa sehingga seolah-olah saya korupsi,? ujarnya.

Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan kini memang ngebut menuntaskan kasus korupsi Achmad. Sampai pekan lalu, kejaksaan sudah memeriksa 37 saksi. Jumat pekan lalu, Kejaksaan Tinggi memeriksa Achmad Ali untuk kedua kalinya. ?Walau dia lolos jadi hakim agung, proses penyidikan tidak akan berhenti,? kata Masyhudi Ridwan.

L.R. Baskoro, Rinny Srihartini (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus