Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Demokrat dan 'Jeb akan' Yudhoyono

27 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hanta Yuda A.R.*

Partai Demokrat, masih kuat dalam ingatan kita, berhasil meraih kemenangan spektakuler pada Pemilihan Umum 2009—memperoleh 20,8 persen suara dan 148 kursi Dewan Perwakilan Rakyat—sekaligus meraih prestasi gemilang memenangi pemilihan presiden dalam satu putaran.

Lonjakan suara amat drastis itu menjadi berita gembira sekaligus kabar buruk bagi Demokrat. Pasalnya, postur elektoral—dukungan suara di pemilu—yang bongsor itu menyebabkan Demokrat mengidap "politik gigantisme", situasi dengan bobot elektoral partai sangat besar (meraksasa) dalam rentang usia yang relatif pendek (belum genap delapan tahun). Sedangkan postur kelembagaan—sistem kaderisasi, ideologisasi, dan sumber daya organisasi—belum siap dan tak sanggup mengimbanginya. Ini menyebabkan partai terlihat "gagah" dari luar tapi "keropos" di dalam.

Terbukti, belum genap berusia sebelas tahun, partai yang dideklarasikan pada 9 September 2001 ini mulai kelimpungan. Sejak tahun lalu, partai berlambang bintang Mercy ini digempur habis-habisan dengan nyanyian sumbang mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin seputar dugaan keterlibatan para petinggi partai itu dalam kasus proyek Wisma Atlet Palembang dan Hambalang serta dugaan politik uang di kongres 2010. Tahun ini serangan itu kian tegas, target sasaran langsung tertuju pada Ketua Umum Anas Urbaningrum. Demokrat pun terbelah, antara tetap mempertahankan dan melengserkan Ketua Umum.

Jika mempertahankan posisi Anas—meskipun secara hukum statusnya belum tersangka, secara politik telah dianggap cacat—jelas akan merusak citra partai, sekaligus menjadi cadangan amunisi amat strategis bagi lawan politik untuk menyerang Demokrat. Taruhannya adalah masa depan partai pada Pemilu 2014. Namun melengserkan Anas juga bukan pilihan aman, karena potensi terjadinya gesekan internal akan menguat. Seandainya konsolidasi tak bisa tercapai, keberlangsungan partai pun terancam.

Demokrat versus Demokrat

Meski elite-elite Demokrat kerap membantah adanya pertarungan di kalangan internal, sulit untuk tidak mengatakan bahwa sedang terjadi "perang saudara" di dalam partai ini. Hanya, pertarungan faksi di Demokrat selama ini tak terbuka alias samar-samar. Berbeda dengan tradisi di kalangan internal Partai Golkar yang lebih terbuka dan tiap faksi relatif independen karena masing-masing memiliki patronnya sendiri. Di Demokrat, faksi-faksi tak ada yang mandiri karena masih bergantung pada patron tunggal, yaitu menjadikan Yudhoyono sebagai "cantelan" politik.

Perang dingin di Demokrat ini tak lepas dari kelanjutan pertarungan Kongres 2010 di Bandung dan naiknya Anas menggantikan Hadi Utomo "tanpa restu" Yudhoyono. Ketidakpuasan terselubung atas terpilihnya Anas itu seolah-olah menemukan momentumnya ketika Anas kian kuat diduga terlibat dalam pusaran megaskandal korupsi politik belakangan ini.

Pada Kongres 2010, Demokrat terpecah menjadi tiga faksi, kini terbelah menjadi dua kelompok besar: satu barisan suara dengan gradasi yang berbeda mengirim sinyal kuat agar Anas mengundurkan diri demi penyelamatan partai. Di sisi lain, Anas dan para pendukungnya tetap bertahan, seolah-olah juga mengirim sinyal sedang membangun kekuatan perlawanan.

Gerbong politik pro-Anas bertahan dengan menghimpun basis kekuatan dari pengurus daerah yang diformat dalam bingkai "konsolidasi organisasi". Kelompok kontra-Anas menggunakan kombinasi instrumen penekan: penyebutan nama Anas oleh dua saksi dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terkait dengan proyek Wisma Atlet yang telah merugikan citra partai dan merosotnya elektabilitas partai berdasarkan hasil survei, dalam kemasan "penyelamatan partai". Nama-nama kandidat pengganti Anas bahkan sudah digulirkan.

Pertanyaannya, dalam posisi belum atau tidak menyandang status tersangka, adakah "ruang konstitusional" untuk melengserkan Anas dari posisi ketua umum? Berdasarkan aturan partai itu, setidaknya ada tiga celah. Pertama, ketua umum dapat digusur melalui kongres luar biasa (KLB) atas permintaan Majelis Tinggi. Pintu ini sangat bergantung pada Yudhoyono sebagai Ketua Majelis sekaligus orang terkuat di partai. Jika melihat karakter Yudhoyono yang amat hati-hati, sangat kecil kemungkinannya, kecuali jika Anas telah menyandang status tersangka.

Kedua, menggelar KLB atas usulan sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah dewan pimpinan daerah (DPD) dan separuh jumlah dewan pimpinan cabang (DPC). Jalur ini pun tampaknya sulit ditempuh karena Anas masih memegang kendali mayoritas DPD/DPC. Ketiga, ketua umum memutuskan mengundurkan diri. Tampaknya celah terakhir inilah yang sedang diupayakan kelompok kontra-Anas dengan menekan Ketua Umum agar mengundurkan diri demi penyelamatan partai.

Tekanan terhadap Anas memang semakin kuat, tapi dia tetap bertahan dan dengan gagah mengatakan, "Ketua Umum Partai Demokrat itu hanya satu, ya, Anas Urbaningrum." Pertanyaan selanjutnya, mengapa Anas terlihat tetap tenang dan terus bertahan dari gempuran itu? Ada tiga kemungkinan yang sama kuatnya: Anas sangat yakin tak akan menjadi tersangka; Anas memanfaatkan sikap Yudhoyono yang mengambang dan cenderung kurang tegas menyikapi kekisruhan di kalangan internal, sehingga Anas paham betul cara "berlindung" di balik sikap mengambang dan normatif itu; atau Anas sebenarnya memegang "kartu truf" yang kapan saja bisa dibuka untuk menyerang balik orang terkuat (putranya) di Demokrat.

Ibarat permainan "catur politik": Anas menggunakan strategi bertahan—karena menguasai titik kelemahan lawan—sambil melihat peluang untuk melakukan serangan balik. Adapun kelompok Marzuki Alie sedang menjalankan strategi "maju-mundur" sembari memantau perkembangan, siapa sangka bisa mengambil kesempatan. Sedangkan Yudhoyono tetap konsisten menerapkan strategi "bermain cantik" dengan menggunakan "tangan-tangan" lain dalam melakukan serangan, sembari secara perlahan tapi pasti "mematahkan" satu per satu kaki politik lawannya. Karena itu, keliru kalau elite Demokrat mengatakan pemicu kekisruhan di kalangan internal berasal dari luar. Demokrat sejatinya sedang melawan dirinya sendiri: Demokrat versus Demokrat.

'Jebakan' Yudhoyono

Fenomena ini menunjukkan bahwa Demokrat terkena "jebakan Yudhoyono", kondisi yang menggambarkan partai selama ini amat bergantung pada figur Yudhoyono dalam menyelesaikan problem internal. Di sisi lain, Yudhoyono justru selalu memilih cara aman, mengambang dan tidak terang, agar tetap terlihat sebagai "sang demokrat". Bahkan tak sedikit problem internal seolah-olah dibiarkan membesar dan berlarut-larut.

"Kebesaran" Yudhoyono memang terbukti menjadi "berkah politik", tapi sekaligus menjadi "bencana politik". Menjadi berkah karena magnet elektoral Yudhoyono amat berkontribusi "meraksasakan" Demokrat pada dua pemilu silam. Menjadi bencana, secara kelembagaan partai menjadi sangat bergantung pada sosok Yudhoyono dalam menyelesaikan segala problem internal seperti sekarang ini.

Posisi Yudhoyono sebagai sang penentu dan menjadi "Bapak" bagi semua faksi politik di kalangan internal Demokrat menyebabkan elite partai tak terbiasa menyelesaikan persoalan internal secara mandiri dan terlembaga. Dampaknya, sumber konflik itu tak pernah tuntas. Kondisi ini menjadi bom waktu bagi Demokrat: ketika karisma Yudhoyono mulai memudar ditelan waktu, muncul sosok seperti Anas, yang terus membangun kekuatan politik yang secara perlahan mengancam pengaruh Yudhoyono.

Karena itu, Demokrat tak hanya sedang "tersandera" keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dengan status Anas, tapi juga "terjebak" ketergantungan pada Yudhoyono. Pilihan tak begitu banyak, waktu tak terlalu panjang, semua berpulang kepada Yudhoyono dan elite Demokrat untuk membereskan partai itu. Bak pisau bermata dua, ujian faksionalisme ini dapat menjadi energi positif bagi perkembangan Demokrat. Sebaliknya, bila gagal, bisa mengancam masa depan partai itu. "Kapal" bernama Demokrat tak hanya terbelah, tapi juga berpotensi akan pecah dan tenggelam.

*) Analis Politik The Indonesian Institute

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus