Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREBAKNYA sengketa pertambangan dalam beberapa tahun terakhir semakin memperjelas ketidakberesan tata kelola kekayaan alam ini. Banyak bupati memahami otonomi daerah dengan cara seenaknya menerbitkan izin usaha pertambangan, sebagian lagi membatalkan izin yang dikeluarkan pendahulunya. Kondisinya tambah parah setiap kali pemilihan kepala daerah yang memerlukan biaya tinggi itu digelar. Tak jarang para pengusaha rela menyokong calon yang punya peluang menang dengan harapan mendapatkan lisensi begitu jagoannya duduk di kursi bupati.
Akibatnya sungguh runyam. Dari catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada awal tahun ini saja terdapat setidaknya 10 ribu izin tambang yang sudah dikeluarkan para bupati. Lima ribu lebih di antaranya bermasalah. Ada yang tumpang-tindih kepemilikan konsesinya, bertumpukan dengan izin perkebunan atau pengelolaan hutan, tak sedikit pula yang menimbulkan konflik dengan masyarakat, seperti yang belum lama ini terjadi di Bima, Nusa Tenggara Barat. Dampak ikutannya adalah rusaknya reputasi kita sebagai negeri tujuan investasi. Tak ada institusi yang bisa dipercaya memberi jaminan bagi mereka yang mempertaruhkan modalnya. Kepastian hukum amat langka. Kalaupun ada, prosesnya ruwet dan sangat mahal.
Inilah gambaran yang kini dihadapi Churchill Mining Plc, yang membeli empat area konsesi milik PT Ridlatama di Kutai Timur. Pada pertengahan 2008, perusahaan Inggris ini dengan bangga mengumumkan temuannya atas deposit batu bara yang mencapai 2,8 miliar ton di lahan itu. Dengan cadangan begitu berlimpah, mereka segera merancang operasi penambangan hingga 50 tahun ke depan, dengan bayangan pemasukan tak kurang dari US$ 2 miliar per tahun.
Tapi, tiba-tiba, beberapa bulan kemudian Bupati Kutai Timur Isran Noor memberikan perpanjangan izin pertambangan kepada Nusantara Group milik Prabowo Subianto. Lokasinya sama persis di lahan yang diambil alih Churchill dari Ridlatama. Sejak itulah sengketa dimulai.
Puncaknya terjadi pada Mei 2010. Bupati Isran Noor mencabut izin usaha pertambangan Ridlatama, yang diperoleh dari bupati sebelumnya, yakni Awang Faroek Ishak, yang kini menjabat Gubernur Kalimantan Timur. Alasannya, selain tumpang-tindih area konsesi dengan Nusantara, Isran menuding Ridlatama memalsukan tanda tangan Awang Faroek dan merusak hutan. Bupati bertahan pada posisinya, meskipun kepolisian setempat menyatakan tudingan pidana itu tak terbukti.
Churchill, yang sebagian sahamnya dikuasai pengusaha Rahmat Gobel, menggugat sang Bupati ke pengadilan tata usaha negara. Tapi mereka dikalahkan di pengadilan tingkat pertama serta banding, dan kini menempuh kasasi. Kalau kalah lagi, mereka berancang-ancang membawa urusan itu ke arbitrase internasional.
Sengketa serupa tampaknya masih akan terjadi di masa mendatang. Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara terbukti tak manjur mengatasi situasi ini. Sebaliknya, banyak bupati yang ngawur dalam memanfaatkan kewenangan yang mereka peroleh dari ketentuan tersebut, dan menganggap kekayaan alam di wilayahnya sebagai milik daerah.
Ini jelas tak sesuai dengan amanat konstitusi, yang menyatakan bahwa "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Prinsip ini mesti ditegaskan lagi, bila perlu dengan mengembalikan kewenangan penerbitan izin tambang ke tangan pemerintah pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo