BERSAKIT-SAKIT dahulu bersenang-senang belakangan. Itulah agaknya sasaran yang hendak dijangkau Widodo Sukarno. Dirut PT Mahkota Real Estate yang dituduh korupsi itu, dengan dalih sakit, selama persidangan pernah tidak hadir, keluar masuk ruang sidang, dan bahkan meninggalkan sidang. Alasan inilah yang membuat majelis hakim repot. Tapi, Kamis pekan lalu, semuanya sudah terjawab. Hasil pemeriksaan tim dokter RSPAD menunjukkan bahwa terdakwa tidak menderita kelainan dan bisa mengikuti sidang. Atas dasar itulah, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Oemar Sanoesi, tidak sudi lagi dipermainkan. Tampaknya, "alasan sakit" seperti dalam kasus Nur Usman dan A.M. Fatwa sungguh menjadi pelajaran berharga. Widodo Sukarno, 53, bersama Rudy Pamaputera dituduh memanipulasikan uang pembangunan dan pengelolaan gedung Arthaloka sekitar Rp 11,5 milyar. Urusannya sejak semula memang tidak mulus. Diberitakan sebelumnya bahwa mereka diusut Opstib dengan tuduhan menggelapkan uang PT Taspen (Persero) yang memiliki Arthaloka. Sebagai pengelola, begitu dituduhkan, mereka banyak menggunakan uang untuk keperluan pribadi dan pengeluaran lain yang dianggap tidak wajar. Semula, terkesan, Widodo Sukarno "kebal hukum". Betapa tidak: konon, persoalannya sudah lama dilaporkan, tapi baru tujuh tahun kemudian -- setelah Opstib turun tangan -- akhir tahun lalu pemerintah dapat menurunkan tim manajemen mengambil alih gedung. Ia kemudian dijebloskan ke rumah tahanan di Salemba. Sejak sidang pertama, Mei lalu, Widodo Sukarno memang tampil lebih kurus, tua stlah tiga bulan menghuni Rutan Salemba. Ia mengaku sakit, belum punya pembela, dan minta sidang ditunda . . . tiga bulan. Tentu saja ditolak hakim. Pada sidang pekan lalu, penampilannya sekilas lebih gawat: tidak waras, lunglai, dan perlu dipapah segala. Tapi, anehnya, ia tak hanya pintar bercanda, melainkan juga lancar saja menjawab keterangan para saksi. Inilah yang -- semula -- menimbulkan tanda tanya. Apalagi, kepada majelis, ia tidak saja mengaduh sakit tekanan darah tinggi, tapi menuntut agar diperbolehkan rawat-tinggal di rumah sakit. Suatu kali, misalnya, sarjana administrasi bisnis itu menolak diperiksa oleh bagian psikiatri RSPAD Gatot Subroto, hanya karena tak beroleh izin opname. Beberapa hari kemudian ia tak hadir di sidang. Sikap dan tingkah laku ini, rupanya, membuat majelis hakim berang. Makanya Hakim Amarullah Salim sempat "mengancam", dengan memberi peringatan keras, mengutip pasal untuk tetap melangsungkan sidang sekalipun tanpa kehadiran terdakwa. Ia menemukan tanda-tanda bahwa terdakwa menghambat jalannya sidang. Dalam hal ini, kata Amarullah kepada TEMPO, tentu "ada tendensi untuk melambat-lambatkan sidang." Namun, pada sidang Kamis pekan lalu, dr. Lintong P. Napitupulu dari Rutan Salemba melayangkan surat kepada majelis tentang hasil pemeriksaan tim dokter RSPAD. Lima dokter spesialis itu menyampaikan hasil pemeriksaan penyakit dalam, kardiologi, neurologi, psikiatri, dan laboratorium yang -- ternyata -- normal. Terdakwa hanya terkena tekanan darah tinggi yang ringan. Kesimpulan Lintong, terdakwa bisa mengikuti sidang, dan tidak perlu diopname. "Widodo itu memang sakit, tapi bisa disidangkan, karena fisiknya kuat," katanya kepada TEMPO. Kisah sakit ini mengingatkan pada lika-liku sidang perkara Nur Usman yang juga digarap majelis yang dipimpin Oemar Sanoesi. Nur Usman, 55, yang ikut ternoda darah kematian Roy Bharya itu, dengan alasan sakit, sempat 13 kali tak hadir sidang. Alasan itu tak hanya menjadi senjata untuk membebaskannya demi hukum, tapi juga membuat dr. Wunardi, dokter Rutan Salemba, sebagai tumbal. Demikian juga ketika A.M. Fatwa -- tertuduh subversi "kasus Priok" -- sakit dan mencret-mencret, secara "paksa" dihadirkan ke persidangan. Belakangan, "surat dari rutan" itu menjadi bahan perbincangan antara organisasi para hakim dan dokter. Rupanya, alasan-alasan sakit itu kini menjadi pelajaran buat majelis hakim. Hal itu, seperti dinyatakan Hakim Amarullah Salim, bukan berarti para hakim mengabaikan surat keterangan dokter rumah tahanan. Tapi, memang, "Kasus Nur Usman itu dapat dijadikan pelajaran bagi semua pihak." Perkara Nur Usman itu mengandung hikmah, sela Oemar Sanoesi, "yang bisa untuk menentukan sikap dalam menghadapi kasus yang main-main." Maksudnya, menghadapi siapa-siapa saja yang berusaha mencari lubang agar bebas demi hukum. Dan itulah yang dikejar Widodo. "Saya percaya sepenuhnya akan bebas demi hukum," katanya. "Saya ini benar-benar sakit. Saya tidak normal, dipaksa sidang. Ini 'kan namanya disiksa," katanya lagi. Kalau hakim mau memaksakan sidang tanpa kehadirannya? "Itu bisa saja. Itu 'kan perintah atasan," sahutnya. Sedangkan bagi Oemar Sanoesi, memaksakan sidang tiga kali seminggu, "itu semata-mata untuk mengejar waktu." Untuk itu pembelanya, T.M. Abdullah sangat berkeberatan. "Seharusnya hakim jangan hanya mengejar target. Yang penting mencari kebenaran materiil," katanya. Sebab, kalau hakim tetap melangsungkan sidang tanpa kehadiran terdakwa, "Buat apa saya duduk di sidang kalau tidak ada yang didampingi?" Jawaban Amarullah Salim, "Yah, kita lihat saja nanti." Agus Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini