Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah plaza mewah, seorang artis kelas dua mendapat pengalaman paling mengesankan sebagai selebriti. Pipinya bengap ditampar beberapa kali, plus makian dari beberapa pengunjung plaza. Pasal? Artis yang terkenal dengan peran antagonis itu kerap diberitakan berhubungan gelap dengan artis lain yang sudah berkeluarga.
Kisah lain? Sekumpulan ibu bertemu, berserikat, tukar telepon, sampai arisan dan haha hihi, dengan alasan simpati pada seorang aktor yang hidup rumah tangganya merana. Lalu seorang bayi dilarikan ke rumah sakit, perkara hampir mati kehabisan napas. Pasalnya, sang ibu begitu terisap oleh berita aktris pujaannya sehingga dia menekan kepala bayinya yang ber-ASI terlalu keras ke dadanya. Di mana semua ini berhulu? Dari satu istilah baru, istilah dari kotak bercahaya itu: infotainmentsatu genre dalam dunia televisi. Beberapa di antara saluran televisi kita bahkan menyiarkan secara stripping, seminggu penuh.
Maka, rumah kita pun kian pengap oleh sadisme kriminalitas, sinetron-sinetron "marah dan air mata" dan infotainment yang menyiarkan lika-liku hidup para selebriti lokal. Sebagian publik mulai terganggu. Timbul kritik, protes, bahkan ada yang menuntut jam tayang program itu dikurangi. Namun, siapa peduli? Selama ia irit dan untung banyak, hal degil jalan terus.
Kontroversi infotainment akan berlarut-larut tanpa pendewasaan. Di musim "bebas" ini, semua pihak memiliki hak memeluk kebenarannya sendiri. Tak ada lagi acuan yang dapat digenggam bersama. Acuan baru belum dapat berakting selayaknya karena identitasnya masih kabur.
Secara terminologis saja, istilah infotainmentgabungan dari information (info/kabar) dan entertainment (hiburan)masih terasa salah kaprah penerapannya. Dalam pemahaman saya, gabungan itu dipahami di negeri asalnya sebagai acara berita yang disampaikan secara menarik, atraktif, atau menghibur, sehingga acara serius 60 Minutes di NBC Amerika masuk ke dalam genre ini.
Di negeri kita, istilah tersebut diartikan sebagai "acara berita dari dunia hiburan". Maka, dunia sempit yang bernama showbiz atau selebriti itu pun seperti botol cokelat cair yang terus dikorek walau sudah kering isinya. Tak mengherankan jika ada infotainment yang hanya melakukan duplikasi dalam seminggu masa tayangnya. Bahkan warna kuku seorang artis pun dapat menjadi "berita".
Di balik itu semua, kita pun dapat menengarai hal lain yang bisa mengungkap kenyataan sosial kita, bahwa bias pemahaman dan penerapan istilah di atas tidak hanya merepresentasi tradisi salah kaprah kita dalam mengadopsi simbol-simbol asing, tapi juga menunjukkan kecenderungan umum kita yang lebih mengapresiasi hal-hal artifisial dan superfisial ketimbang yang esensial dan substansial.
Maka, jika musik jazz dan blues dihayati variasi melodi dan cengkok vokalnya dan bukan riwayat kekerasan dan pemberontakan di baliknya, wajar saja. Seperti halnya punk dan hippy yang lebih diapresiasi dengan "celana jins belel dan sobek" atau "anting-anting besi di hidung atau ujung alis". Atau, hiburan lebih dihayati sebagai kata benda daripada kata kerja.
Semua kata kerja, konsepsi, bahkan visi, dengan alasan komunikasi, menjadi kata benda bernama "hiburan". Belakangan, masyarakat pun cenderung melihat hiburannya (artifisialisasi) ketimbang isinya (substansi). Lantaran itu, panggung-panggung publik pun sarat oleh hiburan. Hal itu terjadi pula saat kita menjelaskan ideologi, misi pemerintah, syiar agama. Dalam kampanye politik, misalnya, benarkah publik lebih mendengar pidato dan jargon politik ketimbang suara seksi artis dangdut di panggung kampanye?
Jadilah infotainment di televisi kita lebih mengedepankan pecahan kata kedua dibanding pertama. Pemahaman yang tak cuma bias, tapi juga kontradiktif dengan makna aslinya. Beritakah sebuah hiburan?
BISA jadi, satu peristiwa dalam dunia hiburan masuk dalam kategori berita. Tapi bila sekadar gosip atau isapan jempol menjadi materi layak tayang atau layak cetak, bahkan kadang menempati kepala berita, sekurangnya ia telah terjerumus dalam jurang media kuning yang penuh sensasi. Masalahnya, mungkin saja bagi sebagian pengamat hal ini tak terlalu serius. Hanya dipandang sebagai peningkatan frekuensi dan kapasitas publik dalam mencereweti sensasi. Atau kita yang meninggikan kedangkalan dan enggan bahkan ciut pada kedalaman? Atau, benak kita yang kian pepat oleh kesulitan, tinggal membutuhkan pelipur, klangenan, kesenangan dan sedikit "hedon"?
Boleh jadi pula, peradaban material belakangan telah begitu kental sehingga bungkus dianggap isi, dan isi tinggal jadi sensasi. Retorika menjadi makna, sedang makna sendiri berkelana entah ke mana. Hingga berita pun dikunyah sebagai hiburan. Belasan SMP dan SMA kelulusannya nol persen. Wabah lumpuh layuh. Ribuan anak busung. Lepra muncul. Krisis BBM. Rupiah anjlok. Dan triliunan uang kita dikangkangi di luar negeriseolah dunia menjadi panggung infotainment semata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo