Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Meiliana, warga Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara, divonis satu tahun enam bulan penjara atas kasus penistaan agama. Majelis hakim Pengadilan Negeri Medan menilai Meiliana terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana atas perbuatannya memprotes volume suara azan yang berkumandang di lingkungannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu kuasa hukum Meiliana, Ranto Sibarani, mengatakan akan mengajukan banding terhadap putusan yang menjerat kliennya. "Iya, harapan kami bandinglah, karena enggak ada bukti. Bagaimana tindak pidana enggak ada bukti," kata Ranto pada Selasa, 22 Agustus 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polemik keluhan terhadap pengeras suara di tempat ibadah bukan sekali ini terjadi. Menurut catatan Tempo, setidaknya ada dua perkara lain soal protes terhadap pengeras suara tempat ibadah. Ada yang berujung kerusuhan, ada pula yang berakhir damai. Berikut ini dua kasus tersebut.
- Seorang warga Banda Aceh bernama Sayed Hasan, 75 tahun, menggugat Kepala Kantor Kementerian Agama dan sejumlah pihak karena merasa terganggu oleh 10 pelantang suara di masjid sekitar rumahnya yang kerap memperdengarkan suara rekaman orang membaca Al Quran. Kasus yang terjadi pada 2013 ini berakhir damai.
- Warga non-Muslim di Tolikara, Papua, keberatan dengan penggunaan pengeras suara saat warga muslim di sana menggelar salat Idul Fitri di markas Komando Rayon Militer Karubaga. Protes ini berujung penyerbuan terhadap warga Muslim yang sedang melakukan salat Idul Fitri dan pembakaran sejumlah bangunan, termasuk musala.
Aturan ihwal pengeras suara tempat ibadah sebenarnya telah diatur sejak 1978 melalui instruksi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala.
Dalam aturan tersebut tertulis, orang yang menggunakan pengeras suara di tempat ibadah haruslah yang bersuara fasih, merdu, enak didengar, tidak cempreng atau sumbang dan tidak terlalu kecil. Perawatan terhadap penggunaan pengeras suara juga harus dilakukan seorang yang terampil demi menghindari suara bising dan dengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar atau musala.
MAJALAH TEMPO