Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sengketa Hokcia Di Semarang

Hutang piutang asal mula kericuhan pabrik tekstil damaitex. penyelesaian yang berlarut membuat orang tahu seluk beluk keturunan cina dari hokcia. obstib diundang untuk menyelesaikan masalah ini.(hk)

18 Maret 1978 | 00.00 WIB

Sengketa Hokcia Di Semarang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KERICUHAN di pabrik tekstil Damaitex, Semarang, sebenarnya bukan urusan besar. Hanya soal utang-piutang biasa saja. Hanya cara-cara penyelesaiannya, yang kemudian jadi perkara berlarut-larut, dapat menambah pengetahuan orang tentang seluk-beluk perdagangan di kalangan keturunan Cina dari Hokcia -- dari Propinsi Hokkian (KRC) di sini. Damaitex, milik PT Damai Ltd, merupakan pabrik tekstil besar pertama di Semarang yang lahir dalam rangka fasilitas PMDN. Letaknya, tak jauh dari Kelenteng Gedung Batu Sam Po Kong, di Jalan Simongan 100. Direkturnya antara lain Mr. Pri Sastroatmodjo -bekas penasehat hukum almarhum Menteri Chairul Saleh. Presiden Komisarisnya Sutanto Djaja dari famili Tan. Ketika pabrik dipimpin oleh anak ke II Sutanto, bernama Indrajaya, Damaitex mulai surut (1975). Yaitu ketika Indrajaya tiba-tiba kabur dengan meninggalkan hutang dari sekitar 69 kreditur. Berapa hutang Damaitex yang dibuat oleh Indra? Itu tak mudah ditentukan. Para kreditur mengklaim sekitar Rp 1,3 milyar. Sedangkan menurut surat Indra, yang ditinggalkan sebelum kabur ke Jakarta, cuma sekitar Rp 800 juta. Kedua pihak tak dapat menunjukkan bukti utang-piutang suatu apa--kecuali pengakuan masing-masing saja. Yang pasti bunga setiap pinjaman 3,6%. Itu pasaran bunga dalam bank gelap. Bahwa banyak uang yang beredar dengan bunga lebih tinggi dari bank resmi di kalangan pedagang non-pri bukan suatu keanehan. Juga bukan suatu keanehan jika hutang-piutang dilakukan tanpa sepucuk surat utangpun. Cukup dengan mengangkat telepon, seorang pedagang akan memperoleh utang dari kreditur, tanpa menandatangani sebuah kwitansipun. Semuanya berdasarkan saling percaya saja. Besar-kecil jumlah pinjaman tergantung berapa besar kreditur mempercayai kliennya. Jika terjadi sengketa mengenai utangpiutang memang repot. Tapi pada dasarnya kalangan ini enggan urusannya sampai tersiar keluar. Apalagi melalui urusan pengadilan yang kurang mereka mengerti, meski sengketa dilakukan secara tertutup. Salah seorang dari kalangan Hokcia, yang dapat mereka sebut sebagai bapak angkat, biasanya mencampuri dengan keputusannya yang mengikat kedua belah pihak. Bagi sebelah pihak yang tak puas dengan keputusan itu, ke manapun mencari keadilan, jangan harap dapat memperoleh. Jangan-jangan malah bisa berarti membenturkan kepala sendiri ke tembok. Contohnya dalam kasus Damaitex di atas. Walaupun keluarga Kwa dan Pri Sasroatmodjo menganggap semua hutang, sebenarnya, tanggungjawab Indra pribadi, mau tak mau jadi urusan Damaitex. Nama baik di muka kalangan Hokcia dipertaruhkan. "Sebenarnya, jika suasana tenang dan diberi kesempatan, kami pasti dapat menyelesaikan semua hutang," ujar Sutanto. Tapi, begitu Indrajaya kabur, para kreditur mulai mendesak. Berbondong-bondonglah yang merasa punya piutang membanjiri Damaitex. Mereka akhirnya membentuk Panitia. Salah seorang dari mereka ada tokoh Hokcia Semarang yang disegani Hoo Liong Tiauw. Tokoh ini selalu muncul dalam segala urusan di kalangannya. Sebab ia juga yang tampil, di depan para pejabat daerah, jika kelompok Hokcia mendapat kesulitan dengan orang luar. Tak Berkutik Panitia membuat suatu Surat Keputusan Panitia Penyelesaian Hutang Yang Bersifat Memutuskan Dan Mengikat (26 Agustus 1975). Isinya PT Damai harus menyerahkan pabrik tekstil Damaitex berikut semua perlengkapan dan surat izinnya. Dengan begitu, menurut Panitia, semua hutang menjadi impas. Berikutnya para kreditur boleh berurusan dengan panitia. Sutanto dan Pri tak berkutik. Mereka memberi kuasa, 29 Agustus berikutnya, kepada panitia untuk beberapa hal. Misalnya agar panitia menginventarisir semua isi pabrik. Lalu merencanakan cara pembayaran hutang kepada para kreditur. "Jadi itikad baik kami untuk membayar semua hutang telah ada," kata Sutanto. Tapi dua hari setelah Pri dan Sutanto membuat surat kuasa untuk penyelesaian, 10 kreditur yang dipimpin oleh Hoo Liong Tiauw sendiri menggerebeg pabrik Damaitex. Hendrajaya anak Sutanto ke III Kepala Pabrik, dipaksa menyerahkan pabrik. Kalau tak mau, begitu cerita Hendra, "para kreditur mengancam akan membuat keonaran." Suasana amat menekan. Menurut Hendra, "mereka menelpon ke sana ke mari, seolah-olah berhubungan dengan polisi atau CPM " Segalanya tampak sudah dipersiapkan. Begitu Hendra terpojok, Hoo Liong Tiauw menyodorkan Surat Perjanjian Dan Persetujuan Bersama. Isinya Pabrik Damaitex harus diserahkan. Hendra dan tiga karyawan staf--yang sama sekali tak berhak membuat penyerahan apa-apa--dipaksa meneken surat penyerahan pabrik. Yaitu tanah seluas 14.000 mÿFD, bangunan pabrik di atasnya, 250 unit mesin tenun, pemintalan, printing dan unit finishing sampai ke unit-unit listrik. Larangan Total ~ Baru berikutnya, 6 September, Sutanto dan Pri digiring ke kantor notaris. Di sana sudah dipersiapkan dua akte yang harus diteken. "Kalau kami tak mau meneken," kata Sutanto, "diancam tak dapat keluar dari sana dengan selamat--mungkin akan dibunuh di tengah jalan." Akte pertama menyebutkan, Sutanto dan Pri harus mengundurkan diri dari abatannya selaku direksi PT Damai. Dan yang kedua, semua saham PT Damaitex harus diserahkan kepada para kreditur. Padahal 25% saham PT Damai yang diwakili oleh Sutanto, "milik suatu yayasan TNI Angkatan Darat." Dari mulai pabrik, badan hukum, surat izin sampai ke saham-sahamnya digulung oleh Hoo Liong Tiauw dkk. "Padahal nilai semuanya itu," kata Sutanto, "jauh lebih banyak dari yang mereka anggap sebagai hutang kami." Paling tidak, ditambah dengan good-will--yaitu merek Cap Kucing Berlian untuk mori biru keluaran Damaitex yang beken-tak kurang berharga Rp 2,5 milyar. Tanggal 15 September, Sutanto dan Pri benar-benar angkat kaki dari Damaitex. Pabrik, hingga sekarang, dikuasai direksi baru di bawah Hoo Gwan Kang. Apa kata direksi baru? Tan A Tong, salah seorang direktur, bilang: "Penyerahan pabrik ini," begitu katanya kepada TEMPO di ruang tamu pabriknya, "dilakukan senang sama senang." Dan semuanya, katanya lagi, dilakukan di bawah surat-surat yang sah. Dengan lidahnya yang masih celat, Gwan Kang mencoba menjelaskan duduk soal Damaitex. Tak Ada Duanya Dia mengaku sebagai salah seorang kreditur Damaitex. Berapa banyak jumlah piutangnya, ia enggan menjelaskan. "Tapi tak begitu banyak," katanya. Yang bikin urusan jadi seruwet sekarang, katanya, "karena Sutanto, yang masih famili saya dan sama-sama datang dari Tiongkok waktu kecil, tak mau membayar hutang-hutangnya." Dalam kelompok llokcia, "cara Sutanto begitu tak ada duanya--bahkan mungkin di dunia ini." Rupanya, begitu pendapat Gwan Kang, "Sutanto sengaja hutang banyak-banyak, tak mau bayar dan itu dipakainya untuk mendirikan Fabrik Sinar Pantja Djaja (SPI)." Pabrik tekstil SPD memang milik Sutanto yang letaknya di Simongan itu juga. Jadi, "Sutanto memang sengaja mengorbankan Damaitex untuk mendirikan SPD." Hendrajaya membantah. "Kalau kita sengaja mengorbankan Damaitex, tentu segalanya kami persiapkan lebih dulu. Tidak seperti sekarang. Paling tidak, apa-apa yang perlu dari pabrik dapat kami jual atau pindahtangankan." Selesai menggulung Damaitex, agaknya para kreditur--setidaknya yang sekarang berkuasa atas PT Damai--masih belum puas. Sebuah gudang, yang berisi peralatan pabrik dan digunakan oleh SPD, sekarang giliran diincar. Sutanto, Pri dan Hendrajaya dituduh dalam perkara kriminil: menggelapkan gudang yang mustinya ikut diserahkan bersama penyerahan Damaitex. Perkara hingga kini masih berproses di Pengadilan Negeri Semarang. Pembela 'eks' direksi lama, Woerjanto SH, Dan Sulaiman SH dan Mutiyar SH, mengajukan sanggahan atas tuduhan jaksa. Dalam eksepsinya mereka minta agar pemeriksaan perkara pidana ditangguhkan saja dulu. Yaitu menunggu perkara lain beres. Rupanya, begitu direksi baru menuntut gudang yang dipakai SPD, Sutanto tak tinggal diam. Mula-mula ia membuat pengaduan: Hoo Liong Tiauw dan Hoo Gwan Kang dituduhnya telah melakukan kekerasan dan pemaksaan dalam penyerahan pabrik Damaitex. Di samping itu perkara perdata yang menyangkut kepemilikan pabrik berikut perseroannya. Orang Kuat Tuntutan pidana Sutanto agaknya mengecewakan. Sutan Pasaribu SH, jaksa penuntut umum, hanya membawa kedua tertuduh ke pengadilan dengan sebuah pasal (368 KUHP) --tanpa alternatif. Pun, ternyata, pada akhirnya jaksa sendiri yang menuntut agar semua tertuduh dibebaskan dari segala tuduhan yang dituduhkannya sendiri. Hakim Soemadi Aloei SH menyatakan kedua Hoo dibebaskan dari tuduhan seperti permintaan jaksa penuntut umum (25 Januari 1978). Harapan Sutanto dkk kini bergantung pada perkara perdata yang tengah berproses. Namun, yang jelas, perkara perdata yang diharapkan akan menentukan siapa pemilik PT Damai--sehingga ketahuan siapa yang berhak atas harta kekayaannya -- tak dapat menangguhkan perkara penggelapan gudang. Hakim Ny. T.A. Soedjadi SH menolak eksepsi. Bahkan menolak memberikan turunan putusan eksepsinya yang diminta oleh para pembela untuk dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi. "Wah kalau begini kami bisa repot," kata Hendrajaya. Ia khawatir, setelah mengutik gudang, direksi baru PT Damai tentu akan mengusik seluruh kekayaan Sutanto dan keluarga yang masih berbau Damai. Baik yang ada di Semarang, Yogya maupun di Jakarta. Artinya, "dengan penyerahan PT secara tak sah itu, bila itu dikuatkan oleh keputusan hakim, maka seluruh kekayan kami harus diserahkan walaupun itu sudah jauh melampaui jumlah hutang," kata Hendra. Padahal, "melihat suasananya," perkara perdatanya--satu-satunya harapan --bakal payah juga. "Hoo Liong Tiauw memang orang kuat di Semarang ini," kata orang sana. Tapi Sutanto bersama Pri Sastroatmodjo belum putus asa. Mereka mengharapkan tangan Operasi Tertib akan membersihkan perkaranya. "Setidaknya perkara akan berjalan sebagaimana mustinya," kata Hendra. Dan mereka telah mendapat undangan dari Opstib untuk dimintai keterangan. Kita lihat saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus