KERICUHAN di pabrik tekstil Damaitex, Semarang, sebenarnya bukan
urusan besar. Hanya soal utang-piutang biasa saja. Hanya
cara-cara penyelesaiannya, yang kemudian jadi perkara
berlarut-larut, dapat menambah pengetahuan orang tentang
seluk-beluk perdagangan di kalangan keturunan Cina dari Hokcia
-- dari Propinsi Hokkian (KRC) di sini.
Damaitex, milik PT Damai Ltd, merupakan pabrik tekstil besar
pertama di Semarang yang lahir dalam rangka fasilitas PMDN.
Letaknya, tak jauh dari Kelenteng Gedung Batu Sam Po Kong, di
Jalan Simongan 100. Direkturnya antara lain Mr. Pri
Sastroatmodjo -bekas penasehat hukum almarhum Menteri Chairul
Saleh. Presiden Komisarisnya Sutanto Djaja dari famili Tan.
Ketika pabrik dipimpin oleh anak ke II Sutanto, bernama
Indrajaya, Damaitex mulai surut (1975). Yaitu ketika Indrajaya
tiba-tiba kabur dengan meninggalkan hutang dari sekitar 69
kreditur. Berapa hutang Damaitex yang dibuat oleh Indra? Itu tak
mudah ditentukan. Para kreditur mengklaim sekitar Rp 1,3 milyar.
Sedangkan menurut surat Indra, yang ditinggalkan sebelum kabur
ke Jakarta, cuma sekitar Rp 800 juta. Kedua pihak tak dapat
menunjukkan bukti utang-piutang suatu apa--kecuali pengakuan
masing-masing saja. Yang pasti bunga setiap pinjaman 3,6%. Itu
pasaran bunga dalam bank gelap.
Bahwa banyak uang yang beredar dengan bunga lebih tinggi dari
bank resmi di kalangan pedagang non-pri bukan suatu keanehan.
Juga bukan suatu keanehan jika hutang-piutang dilakukan tanpa
sepucuk surat utangpun. Cukup dengan mengangkat telepon, seorang
pedagang akan memperoleh utang dari kreditur, tanpa
menandatangani sebuah kwitansipun. Semuanya berdasarkan saling
percaya saja. Besar-kecil jumlah pinjaman tergantung berapa
besar kreditur mempercayai kliennya.
Jika terjadi sengketa mengenai utangpiutang memang repot. Tapi
pada dasarnya kalangan ini enggan urusannya sampai tersiar
keluar. Apalagi melalui urusan pengadilan yang kurang mereka
mengerti, meski sengketa dilakukan secara tertutup. Salah
seorang dari kalangan Hokcia, yang dapat mereka sebut sebagai
bapak angkat, biasanya mencampuri dengan keputusannya yang
mengikat kedua belah pihak. Bagi sebelah pihak yang tak puas
dengan keputusan itu, ke manapun mencari keadilan, jangan harap
dapat memperoleh. Jangan-jangan malah bisa berarti membenturkan
kepala sendiri ke tembok.
Contohnya dalam kasus Damaitex di atas. Walaupun keluarga Kwa
dan Pri Sasroatmodjo menganggap semua hutang, sebenarnya,
tanggungjawab Indra pribadi, mau tak mau jadi urusan Damaitex.
Nama baik di muka kalangan Hokcia dipertaruhkan.
"Sebenarnya, jika suasana tenang dan diberi kesempatan, kami
pasti dapat menyelesaikan semua hutang," ujar Sutanto. Tapi,
begitu Indrajaya kabur, para kreditur mulai mendesak.
Berbondong-bondonglah yang merasa punya piutang membanjiri
Damaitex. Mereka akhirnya membentuk Panitia. Salah seorang dari
mereka ada tokoh Hokcia Semarang yang disegani Hoo Liong Tiauw.
Tokoh ini selalu muncul dalam segala urusan di kalangannya.
Sebab ia juga yang tampil, di depan para pejabat daerah, jika
kelompok Hokcia mendapat kesulitan dengan orang luar.
Tak Berkutik
Panitia membuat suatu Surat Keputusan Panitia Penyelesaian
Hutang Yang Bersifat Memutuskan Dan Mengikat (26 Agustus 1975).
Isinya PT Damai harus menyerahkan pabrik tekstil Damaitex
berikut semua perlengkapan dan surat izinnya. Dengan begitu,
menurut Panitia, semua hutang menjadi impas. Berikutnya para
kreditur boleh berurusan dengan panitia.
Sutanto dan Pri tak berkutik. Mereka memberi kuasa, 29 Agustus
berikutnya, kepada panitia untuk beberapa hal. Misalnya agar
panitia menginventarisir semua isi pabrik. Lalu merencanakan
cara pembayaran hutang kepada para kreditur. "Jadi itikad baik
kami untuk membayar semua hutang telah ada," kata Sutanto. Tapi
dua hari setelah Pri dan Sutanto membuat surat kuasa untuk
penyelesaian, 10 kreditur yang dipimpin oleh Hoo Liong Tiauw
sendiri menggerebeg pabrik Damaitex. Hendrajaya anak Sutanto ke
III Kepala Pabrik, dipaksa menyerahkan pabrik. Kalau tak mau,
begitu cerita Hendra, "para kreditur mengancam akan membuat
keonaran." Suasana amat menekan. Menurut Hendra, "mereka
menelpon ke sana ke mari, seolah-olah berhubungan dengan polisi
atau CPM " Segalanya tampak sudah dipersiapkan. Begitu Hendra
terpojok, Hoo Liong Tiauw menyodorkan Surat Perjanjian Dan
Persetujuan Bersama. Isinya Pabrik Damaitex harus diserahkan.
Hendra dan tiga karyawan staf--yang sama sekali tak berhak
membuat penyerahan apa-apa--dipaksa meneken surat penyerahan
pabrik. Yaitu tanah seluas 14.000 mÿFD, bangunan pabrik di
atasnya, 250 unit mesin tenun, pemintalan, printing dan unit
finishing sampai ke unit-unit listrik.
Larangan Total
~
Baru berikutnya, 6 September, Sutanto dan Pri digiring ke kantor
notaris. Di sana sudah dipersiapkan dua akte yang harus diteken.
"Kalau kami tak mau meneken," kata Sutanto, "diancam tak dapat
keluar dari sana dengan selamat--mungkin akan dibunuh di tengah
jalan." Akte pertama menyebutkan, Sutanto dan Pri harus
mengundurkan diri dari abatannya selaku direksi PT Damai. Dan
yang kedua, semua saham PT Damaitex harus diserahkan kepada para
kreditur. Padahal 25% saham PT Damai yang diwakili oleh Sutanto,
"milik suatu yayasan TNI Angkatan Darat."
Dari mulai pabrik, badan hukum, surat izin sampai ke
saham-sahamnya digulung oleh Hoo Liong Tiauw dkk. "Padahal nilai
semuanya itu," kata Sutanto, "jauh lebih banyak dari yang mereka
anggap sebagai hutang kami." Paling tidak, ditambah dengan
good-will--yaitu merek Cap Kucing Berlian untuk mori biru
keluaran Damaitex yang beken-tak kurang berharga Rp 2,5 milyar.
Tanggal 15 September, Sutanto dan Pri benar-benar angkat kaki
dari Damaitex. Pabrik, hingga sekarang, dikuasai direksi baru di
bawah Hoo Gwan Kang. Apa kata direksi baru? Tan A Tong, salah
seorang direktur, bilang: "Penyerahan pabrik ini," begitu
katanya kepada TEMPO di ruang tamu pabriknya, "dilakukan senang
sama senang." Dan semuanya, katanya lagi, dilakukan di bawah
surat-surat yang sah. Dengan lidahnya yang masih celat, Gwan
Kang mencoba menjelaskan duduk soal Damaitex.
Tak Ada Duanya
Dia mengaku sebagai salah seorang kreditur Damaitex. Berapa
banyak jumlah piutangnya, ia enggan menjelaskan. "Tapi tak
begitu banyak," katanya. Yang bikin urusan jadi seruwet
sekarang, katanya, "karena Sutanto, yang masih famili saya dan
sama-sama datang dari Tiongkok waktu kecil, tak mau membayar
hutang-hutangnya." Dalam kelompok llokcia, "cara Sutanto begitu
tak ada duanya--bahkan mungkin di dunia ini." Rupanya, begitu
pendapat Gwan Kang, "Sutanto sengaja hutang banyak-banyak, tak
mau bayar dan itu dipakainya untuk mendirikan Fabrik Sinar
Pantja Djaja (SPI)." Pabrik tekstil SPD memang milik Sutanto
yang letaknya di Simongan itu juga. Jadi, "Sutanto memang
sengaja mengorbankan Damaitex untuk mendirikan SPD."
Hendrajaya membantah. "Kalau kita sengaja mengorbankan Damaitex,
tentu segalanya kami persiapkan lebih dulu. Tidak seperti
sekarang. Paling tidak, apa-apa yang perlu dari pabrik dapat
kami jual atau pindahtangankan."
Selesai menggulung Damaitex, agaknya para kreditur--setidaknya
yang sekarang berkuasa atas PT Damai--masih belum puas. Sebuah
gudang, yang berisi peralatan pabrik dan digunakan oleh SPD,
sekarang giliran diincar. Sutanto, Pri dan Hendrajaya dituduh
dalam perkara kriminil: menggelapkan gudang yang mustinya ikut
diserahkan bersama penyerahan Damaitex.
Perkara hingga kini masih berproses di Pengadilan Negeri
Semarang. Pembela 'eks' direksi lama, Woerjanto SH, Dan Sulaiman
SH dan Mutiyar SH, mengajukan sanggahan atas tuduhan jaksa.
Dalam eksepsinya mereka minta agar pemeriksaan perkara pidana
ditangguhkan saja dulu. Yaitu menunggu perkara lain beres.
Rupanya, begitu direksi baru menuntut gudang yang dipakai SPD,
Sutanto tak tinggal diam. Mula-mula ia membuat pengaduan: Hoo
Liong Tiauw dan Hoo Gwan Kang dituduhnya telah melakukan
kekerasan dan pemaksaan dalam penyerahan pabrik Damaitex. Di
samping itu perkara perdata yang menyangkut kepemilikan pabrik
berikut perseroannya.
Orang Kuat
Tuntutan pidana Sutanto agaknya mengecewakan. Sutan Pasaribu SH,
jaksa penuntut umum, hanya membawa kedua tertuduh ke pengadilan
dengan sebuah pasal (368 KUHP) --tanpa alternatif. Pun,
ternyata, pada akhirnya jaksa sendiri yang menuntut agar semua
tertuduh dibebaskan dari segala tuduhan yang dituduhkannya
sendiri. Hakim Soemadi Aloei SH menyatakan kedua Hoo dibebaskan
dari tuduhan seperti permintaan jaksa penuntut umum (25 Januari
1978).
Harapan Sutanto dkk kini bergantung pada perkara perdata yang
tengah berproses. Namun, yang jelas, perkara perdata yang
diharapkan akan menentukan siapa pemilik PT Damai--sehingga
ketahuan siapa yang berhak atas harta kekayaannya -- tak dapat
menangguhkan perkara penggelapan gudang. Hakim Ny. T.A. Soedjadi
SH menolak eksepsi. Bahkan menolak memberikan turunan putusan
eksepsinya yang diminta oleh para pembela untuk dimintakan
banding ke Pengadilan Tinggi.
"Wah kalau begini kami bisa repot," kata Hendrajaya. Ia
khawatir, setelah mengutik gudang, direksi baru PT Damai tentu
akan mengusik seluruh kekayaan Sutanto dan keluarga yang masih
berbau Damai. Baik yang ada di Semarang, Yogya maupun di
Jakarta. Artinya, "dengan penyerahan PT secara tak sah itu, bila
itu dikuatkan oleh keputusan hakim, maka seluruh kekayan kami
harus diserahkan walaupun itu sudah jauh melampaui jumlah
hutang," kata Hendra.
Padahal, "melihat suasananya," perkara perdatanya--satu-satunya
harapan --bakal payah juga. "Hoo Liong Tiauw memang orang kuat
di Semarang ini," kata orang sana. Tapi Sutanto bersama Pri
Sastroatmodjo belum putus asa. Mereka mengharapkan tangan
Operasi Tertib akan membersihkan perkaranya. "Setidaknya perkara
akan berjalan sebagaimana mustinya," kata Hendra. Dan mereka
telah mendapat undangan dari Opstib untuk dimintai keterangan.
Kita lihat saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini