SAMPAI awal Pebruari 1978, ada lebih 30 orang yang menganut
ajaran 'Kepribadian' di Kuningan, Jawa Barat. Tak banyak - dan
itu pun meliputi beberapa desa Cipari, Cigugur, Awilarangan dan
Cijoho. Meski begitu Kepala Desa Cijoho, Suhali, merasa perlu
untuk "melarang ajaran itu dikembangkan," seperti dikatakannya
sendiri kepada Aris Amiris dari TEMPO Bahkan "sekarang tidak
seorang pun saya perkenankan mendatangi rumah Sarju
(pemimpinnya) untuk berguru." Alasannya tentu saja mengganggu
ketenteraman masyarakat.
Sarju, yang disebutnya itu, bukan pemimpin puncak. Ia kelahiran
Desa Windusengkahan, mulanya bekerja sebagai kenek satu
perusahaan bis dengan trayek Kuningan-Merak. Di Banten demikian
cerita bermula, Sarju bertemu dengan orang bernama Raden Moh.
Sjamsoe Usman yang tinggal di Bandungi lelak ini bukan orang
sembarangam dia seorang tokoh yang rupanya sedang berikhtiar
mengembangkan ajarannya yang diberi nama 'Kepribadian'.
Terpengaruh oleh fatwa-fatwa sang guru, Sarju memutuskan
berhenti jadi kenek--lantas kembali ke desanya, Cijho. Di sini,
mulai Oktober 1977, ia berda'wah dan berhasil memperoleh
seorang murid penting yang juga tangan kanannya, bernama
Karta Narkib umur sebaya dengan dia 40 tahun. Di bulan itu
juga ia mempermandikan Karta di sebuah tebat ikan entah
bagaimana, pada tengah malam menjelang dinihari itu, selesai
upacara permandian, penduduk Cijoho dikejutkan dengan
teriakanteriakan mereka berdua agar orang-orang pada beriman
kepada Tuhan. Penduduk desa itu sendiri umumnya orang-orang yang
sembahyang. Karena itu mungkin juga mereka heran: ini sebenarnya
agama apa?
Padahal agama biasa saja. Pada.tahun 1969, Moh. Sjamsoe yang
dari Bandung itu, menyebarkan surat edaran yang isinya juga
biasa. Entah situasi arau keinginan apa yang mendorongnya, ia
membagikan pokok-pokok 'Azas, tujuan Kepribadian', semacam
campuran antara nasehat dan anggaran dasar. Isinya semuanya
bagus, dan dengan bahasa yang agak lucu, mengingatkan ajaran
agama yang bersih, misalnya Islam (ada larangan "meminta-minta
kepada sifat benda-benda berwujud" seperti keris, batu, kuburan,
jimat pohon).
Entah bagaimana, jatuhnya ajaran itu kepada Sarju agak lain --
kecuali kalau yang dimuat dalam selebaran itu belum semua isi
ajaran itu. Menurut Sarju, tiap orang yang akan beriman harus
"dibuka" lebih dulu. Caranya: dua telapak tangan dirapatkan
dengan laku menyembah.M ata dipejamkan, lalu memhaca: 'Allah,
Rasulullah, Wallahi, Allahu Akbar'. Kemudian 'Ya Allah' tiga
kali. Lalu dalam peribadatan di rumah Sarju, mereka bahkan
menjadi tidak sadar -- dan tentu saja bicara semaunya.
Peribadatan itu selalu diselenggarakan dengan pintu tertutup.
Sampai suatu hari, di tengah ketidaksadaran, seorang pengikut
mengucapkan kata-kata "Orang yang sembahyang adalah setan" dan
"Qur'an akan dirobah menjadi 20 juz'." Barangkali karena orang
kampung suka pada ngintip atau bagaimana (ini memang tidak
diterangkan), kata-kata itu didengar Suhali, kepaladesa tadi.
Tentu saja ucapan itu "membuat saya emosi. Kemudian saya
larang." Suhali berkata. Sarju sendiri, entah masih asli
berpegang pada gurunya yang Bandung itu atau tidak, menamakan
ajarannya 'Nurullah'. Sebagian pemeluknya bahkan memandangnya
sebagai agama, dan mempopulerkan Sarju sebagai imam. "Tidak,
Nurullah bukan agama. Barangkali juga bukan kepercayaan,"
komentar Suhali. "Ini seperti praktek perdukunan, karena menurut
orang-orang itu Sarju bisa mengobati orang sakit," sambung si
kepala desa.
Teringat ADS
Orang lantas teringat Agama (D) Jawa Sunda (ADS), yang dulu
berkembang dari Kuningan dan dibubarkan tahun 1964. Disebut juga
Agama Madrais,berdasar nama pemimpinnya. Madrais dulu sempat
punya murid puiuhan ribu di Jawa dan Sumatera, dan di Kuningan
sendiri tercatat sekitar 4.000 orang. Setiap tahun dilakukan
upacara di Desa Cigugur. Dari pelosok kota dan desa para
penganut membawa semacam upeti, dan sebagai imbalan pemimpin ADS
memberi mereka bibit tanaman . . .
Tapi teringat atau tidak teringat ADS, belum ada niat pihak
Kejaksaan untuk mengambil tindakan atau apa. "Nurullah masih
dalam penelitian, akan diklasifikasikan ke mana," kata sumber
TEMPO di sana. Tapi, sepanjang tidak melanggar ketentuan hukum,
pihak Kejaksaan tidak mengadakan penahanan sebab Sarju dkk
sampai sekarang tidak terlibat tindak penipuan. Meski begitu
kami sedang meneliti kemungkinan penipuan itu."
Akan hal Suhali, Kepala Desa Cijoho itu, ia sudah mengadakan
penanggulangan dengan caranya sendiri. Agar orang-orang pada
insaf, "hari Minggu 12 Pebruari saya adakan peringatan Maulud
Nabi - di langgar di dekat rumah Sarju," tuturnya. Lalu ke mana
Sarju sekarang ini? Ia, bersama muridnya, Narkib, pergi
meninggalkan Kuningan entah ke mana. Barangkali juga karena
disemprot suara mikrofon dari langgar itu . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini