Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kepribadian, disemprot pakai...

Suhali melarang ajaran "kepribadian" karena pengikut ajaran itu mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan islam. diadakan peringatan maulud di dekat rumah pemimpin ajaran tersebut.(ag)

18 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI awal Pebruari 1978, ada lebih 30 orang yang menganut ajaran 'Kepribadian' di Kuningan, Jawa Barat. Tak banyak - dan itu pun meliputi beberapa desa Cipari, Cigugur, Awilarangan dan Cijoho. Meski begitu Kepala Desa Cijoho, Suhali, merasa perlu untuk "melarang ajaran itu dikembangkan," seperti dikatakannya sendiri kepada Aris Amiris dari TEMPO Bahkan "sekarang tidak seorang pun saya perkenankan mendatangi rumah Sarju (pemimpinnya) untuk berguru." Alasannya tentu saja mengganggu ketenteraman masyarakat. Sarju, yang disebutnya itu, bukan pemimpin puncak. Ia kelahiran Desa Windusengkahan, mulanya bekerja sebagai kenek satu perusahaan bis dengan trayek Kuningan-Merak. Di Banten demikian cerita bermula, Sarju bertemu dengan orang bernama Raden Moh. Sjamsoe Usman yang tinggal di Bandungi lelak ini bukan orang sembarangam dia seorang tokoh yang rupanya sedang berikhtiar mengembangkan ajarannya yang diberi nama 'Kepribadian'. Terpengaruh oleh fatwa-fatwa sang guru, Sarju memutuskan berhenti jadi kenek--lantas kembali ke desanya, Cijho. Di sini, mulai Oktober 1977, ia berda'wah dan berhasil memperoleh seorang murid penting yang juga tangan kanannya, bernama Karta Narkib umur sebaya dengan dia 40 tahun. Di bulan itu juga ia mempermandikan Karta di sebuah tebat ikan entah bagaimana, pada tengah malam menjelang dinihari itu, selesai upacara permandian, penduduk Cijoho dikejutkan dengan teriakanteriakan mereka berdua agar orang-orang pada beriman kepada Tuhan. Penduduk desa itu sendiri umumnya orang-orang yang sembahyang. Karena itu mungkin juga mereka heran: ini sebenarnya agama apa? Padahal agama biasa saja. Pada.tahun 1969, Moh. Sjamsoe yang dari Bandung itu, menyebarkan surat edaran yang isinya juga biasa. Entah situasi arau keinginan apa yang mendorongnya, ia membagikan pokok-pokok 'Azas, tujuan Kepribadian', semacam campuran antara nasehat dan anggaran dasar. Isinya semuanya bagus, dan dengan bahasa yang agak lucu, mengingatkan ajaran agama yang bersih, misalnya Islam (ada larangan "meminta-minta kepada sifat benda-benda berwujud" seperti keris, batu, kuburan, jimat pohon). Entah bagaimana, jatuhnya ajaran itu kepada Sarju agak lain -- kecuali kalau yang dimuat dalam selebaran itu belum semua isi ajaran itu. Menurut Sarju, tiap orang yang akan beriman harus "dibuka" lebih dulu. Caranya: dua telapak tangan dirapatkan dengan laku menyembah.M ata dipejamkan, lalu memhaca: 'Allah, Rasulullah, Wallahi, Allahu Akbar'. Kemudian 'Ya Allah' tiga kali. Lalu dalam peribadatan di rumah Sarju, mereka bahkan menjadi tidak sadar -- dan tentu saja bicara semaunya. Peribadatan itu selalu diselenggarakan dengan pintu tertutup. Sampai suatu hari, di tengah ketidaksadaran, seorang pengikut mengucapkan kata-kata "Orang yang sembahyang adalah setan" dan "Qur'an akan dirobah menjadi 20 juz'." Barangkali karena orang kampung suka pada ngintip atau bagaimana (ini memang tidak diterangkan), kata-kata itu didengar Suhali, kepaladesa tadi. Tentu saja ucapan itu "membuat saya emosi. Kemudian saya larang." Suhali berkata. Sarju sendiri, entah masih asli berpegang pada gurunya yang Bandung itu atau tidak, menamakan ajarannya 'Nurullah'. Sebagian pemeluknya bahkan memandangnya sebagai agama, dan mempopulerkan Sarju sebagai imam. "Tidak, Nurullah bukan agama. Barangkali juga bukan kepercayaan," komentar Suhali. "Ini seperti praktek perdukunan, karena menurut orang-orang itu Sarju bisa mengobati orang sakit," sambung si kepala desa. Teringat ADS Orang lantas teringat Agama (D) Jawa Sunda (ADS), yang dulu berkembang dari Kuningan dan dibubarkan tahun 1964. Disebut juga Agama Madrais,berdasar nama pemimpinnya. Madrais dulu sempat punya murid puiuhan ribu di Jawa dan Sumatera, dan di Kuningan sendiri tercatat sekitar 4.000 orang. Setiap tahun dilakukan upacara di Desa Cigugur. Dari pelosok kota dan desa para penganut membawa semacam upeti, dan sebagai imbalan pemimpin ADS memberi mereka bibit tanaman . . . Tapi teringat atau tidak teringat ADS, belum ada niat pihak Kejaksaan untuk mengambil tindakan atau apa. "Nurullah masih dalam penelitian, akan diklasifikasikan ke mana," kata sumber TEMPO di sana. Tapi, sepanjang tidak melanggar ketentuan hukum, pihak Kejaksaan tidak mengadakan penahanan sebab Sarju dkk sampai sekarang tidak terlibat tindak penipuan. Meski begitu kami sedang meneliti kemungkinan penipuan itu." Akan hal Suhali, Kepala Desa Cijoho itu, ia sudah mengadakan penanggulangan dengan caranya sendiri. Agar orang-orang pada insaf, "hari Minggu 12 Pebruari saya adakan peringatan Maulud Nabi - di langgar di dekat rumah Sarju," tuturnya. Lalu ke mana Sarju sekarang ini? Ia, bersama muridnya, Narkib, pergi meninggalkan Kuningan entah ke mana. Barangkali juga karena disemprot suara mikrofon dari langgar itu . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus