Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mandeknya pembangunan kawasan bisnis terintegrasi di Tanjung Uma, Batam, harus segera dibereskan. Sudah satu dekade Otorita Batam mencoba mengubah kawasan tersebut menjadi salah satu sentra pertumbuhan ekonomi di Batam. Kenyataannya, Tanjung Uma hampir tetap seperti 10 tahun silam. Banyak investor yang urung masuk. Yang sudah masuk pun kecewa karena yang dijanjikan tak sesuai dengan kenyataan.
Jika dibiarkan berlarut-larut, kasus Tanjung Uma bakal mengganggu Batam secara keseluruhan. Apalagi Batam bersama Bintan dan Karimun kini sudah ditetapkan menjadi zona ekonomi khusus. Status istimewa ini akan membuat Batam menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang.
Sayangnya, harapan itu tidak tercapai di Tanjung Uma. Persoalan ini bermula dari rencana Otorita Batam menjadikan daerah itu sebagai kawasan bisnis terintegrasi. Tanjung Uma memang strategis, pantainya langsung berhadapan dengan Singapura. Pada 1988, Otorita menunjuk developer untuk mengembangkan kawasan tersebut, tapi gagal.
Delapan tahun kemudian, Otorita menghidupkan kembali proyek tersebut. Meskipun melalui tender, aroma perkoncoan sangat kental. Yang menang tender adalah Repindo Trisakti Mas. Salah satu komisaris perusahaan ini adalah Harry Soedarsono, yang tak lain adalah anak Soedarsono Darmosoewito (almarhum), yang ketika itu menjadi Ketua Dewan Penasihat Otorita Batam.
Jalinan kekerabatan dalam proyek ini makin kuat karena Soedarsono adalah juga adik ipar Habibie, yang kala itu Ketua Otorita Batam. Habibie jugalah yang menandatangani kerja sama tersebut. Memang, bukan Harry sendiri yang menggarap Tanjung Uma, melainkan Eddy Hussy, bos Repindo. Namun, setelah Repindo gagal, Harry yang akhirnya tampil ke muka mengambil alih proyek ini melalui Ekamas Mandiri Perkasa pada 2003.
Otorita Batam pun memberikan kesempatan kepada Ekamas selama tiga tahun, sampai September 2006, untuk menyelesaikan proyek Tanjung Uma. Ekamas ternyata juga gagal. Perusahaan yang dibentuk khusus untuk menggarap Tanjung Uma ini hanya mampu menyelesaikan 40 persen dari proyek yang ditargetkan.
Masih ada masalah lain yang tak kalah peliknya. Berlarut-larutnya pembangunan Tanjung Uma membuat sejumlah investor batal masuk ke Tanjung Uma. Investor yang lain merasa terganggu oleh ketidakmampuan Ekamas memenuhi janjinya. Kualitas infrastruktur yang dibangunnya dianggap tak layak dan membuat investor harus mengeluarkan uang lebih besar.
Pelajaran yang bisa dipetik: bisnis harus dijauhkan dari unsur perkoncoan atau kekeluargaan. Syarat utama dalam memilih rekanan tetap harus berdasarkan kemampuan, baik dalam pendanaan maupun dalam pelaksanaannya. Tender yang transparan menjadi alat yang tak bisa ditawar-tawar.
Itu sebabnya Otorita Batam harus berani menghentikan kerja sama yang telah terbukti gagal itu. Kini sudah bukan zamannya lagi memberikan toleransi kepada segala hal yang berbau nepotisme. Gubernur Kepulauan Riau yang ditunjuk memimpin zona ekonomi khusus Batam pun harus ikut mendorong pemutusan kerja sama tersebut.
Mumpung masih belum terlalu jauh, Tanjung Uma harus dibereskan. Ini sekaligus menjadi batu ujian terhadap kemampuan Otorita untuk berpikir dan bertindak mandiri. Otorita Batam tidak bisa terus-menerus bergantung pada nama-nama besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo