Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JALANLAH ke mal. Di kota besar mana saja di Indonesia. Siapa percaya negeri ini masih berbalut krisis ekonomi? Lihatlah pertumbuhan pusat belanja, yang tidak cuma modern, tapi juga gemerlapan, terutama di Ibu Kota—yang kata orang ”jendela Indonesia”. Memang, tatkala krisis mengamuk, 1998-2000, pertumbuhan mal dengan sendirinya mandek.
Namun, hanya dalam kurun lima tahun terakhir, luas mal di Jakarta memboyot lebih dari dua kali lipat ketimbang periode panjang hampir satu dasawarsa sebelumnya, sejak mal pertama, Ratu Plaza, dibangun pada 1986. Total hampir 100 mal bakal bertebaran di Ibu Kota.
Sejak liberalisasi sektor retail pada 1998, nama besar seperti Carrefour berduyun menyerbu masuk, bahkan menjadikan Indonesia salah satu pasar utamanya di dunia.
Sayangnya, Indonesia masih tergolong negeri miskin dengan pendapatan per kapita US$ 1.300. Menurut hasil studi lembaga keuangan internasional UBS yang dilansir pada Agustus lalu pun, daya beli masyarakat kita paling buncit dari 70 negara yang disurvei. Kalau begitu, apa yang membuat mal bertumbuhan bak cendawan di musim hujan?
Bisa jadi jawabannya terletak pada gaya hidup sebagian besar masyarakat kita, yang memang konsumtif—untuk menghindari kata ”boros”. Dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia, pasar di sini tentu menggairahkan. Faktor lain adalah ketimpangan pendapatan yang mencolok.
Menurut survei lembaga keuangan Merrill Lynch, sepertiga orang kaya Singapura berasal dari Indonesia! Pusat belanja seperti di Orchard Road di Negeri Singa itu pun dibanjiri pembelanja asal Indonesia. Para pengecer raksasa lalu berpikir: mengapa tak dibuka saja mal-mal mewah di Jakarta untuk menampung ”syahwat” berbelanja para orang kaya itu?
Yang amat penting diperhatikan adalah bagaimana perkembangan pusat belanja modern tidak memusnahkan peretail kecil dan pasar tradisional. Sebab, jumlah peretail modern sekarang tiga kali lebih banyak dari peretail tradisional—berbalik dari angka tahun 1985.
Sejumlah aturan sebetulnya sudah dibuat oleh Menteri Perdagangan pada 1997. Kini juga sedang disiapkan peraturan presiden. Salah satu klausulnya menyebutkan, peretail besar tidak boleh berlokasi di permukiman, dan hanya boleh didirikan di luar radius 2,5 kilometer dari pasar tradisional. Hipermarket juga wajib menjual 70 persen produk dalam negeri dan bermitra dengan pemasok kecil. Namun, dalam kenyataannya, berbagai aturan ini kerap dilanggar.
Karena itu, pemerintah perlu lebih bersungguh-sungguh. Dengan hampir 13 juta pedagang menggantungkan hidupnya di lebih dari 13 ribu pasar tradisional, penanganan yang buruk bisa mendatangkan kekisruhan sosial. Salah satu solusinya, pengusaha pasar modern diwajibkan membangun sinergi (kemitraan) yang saling menguntungkan dengan pedagang kecil-menengah, koperasi, serta pasar tradisional.
Usul agar setiap pendirian pasar, atau toko modern baru, harus menyisihkan 20 persen dari total investasinya untuk renovasi pasar tradisional juga patut dipertimbangkan. Meski begitu, agar penataan pasar tradisional bisa berjalan optimal, sebaiknya pemerintah daerah menyerahkan pengelolaan pasar tradisional ke swasta. Sejumlah contoh telah membuktikan keberhasilan pola ini, seperti pasar tradisional yang nyaman di Bumi Serpong Damai, Puri Indah, dan Kelapa Gading, yang dikelola pihak pengembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo