RATUSAN penonton yang berjubel di ruang sidang Pengadilan Negeri Palembang serentak bertepuk tangan, ketika hakim Ridwan Nasution mengetukkan palu. Ganjaran vonis mati yang ditimpakan kepada Suryadi itu, Kamis dua pekan lalu, memuaskan pengunjung. Ini klop dengan tuntutan jaksa. Lelaki berusia 26 tahun yang duduk di kursi pesakitan itu menerima vonis mati dengan tenang. Berpenampilan rapi, dengan baju putih lengan panjang dan berkopiah, ia berjalan meraih pengeras suara. Ia mengetuk-ngetuk, dan lantas, "Saya naik banding, Pak Hakim," katanya. Suryadi, bujangan yang pernah kuliah di sebuah universitas swasta Palembang itu, menurut majelis hakim, pelaku tunggal pembunuhan keluarga secara berencana. Yang memberatkan, ia memberikan keterangan berbelit-belit dan tak memperlihatkan penyesalan. Dan ia tega memutuskan garis keturunan keluarga. Korban pembantaian Suryadi adalah anggota keluarga Thomas Soeripto, karyawan PT Pusri, Palembang. Selain Soeripto, 54 tahun, korban lain: istrinya, Nyonya Genova Suyatmi (48 tahun), putra tunggalnya, Bambang Wiryanto (22 tahun), dan Nuraini (31 tahun), pembantu di rumahnya. Perbuatan Suryadi yang menggemparkan Palembang itu terjadi 9 April 1991. Bermula dari Jakarta, Suryadi mengajak dua orang temannya, Topan dan Alex, pergi ke Palembang. Setibanya di kota empekempek itu, ia mengatakan menginap di rumah saudaranya. Sedangkan dua temannya menginap di hotel. Kedatangan Suryadi tak menimbulkan kecurigaan pada Soeripto. Apalagi Suryadi bekas anak kosnya dan pernah menjadi teman akrab putranya. Belakangan, Suryadi hendak meminjam uang Rp 400.000, tapi tak dikabulkan. Penolakan itu membuat Suryadi mata gelap, sehingga semua anggota keluarga itu -- dan pembantunya -- dibantai habis (TEMPO, 20 Juli 1991). Bagaimana dengan vonis hukuman mati? "Ya, tentu berat. Karena saya merasa tak membunuh. Kalau hukuman itu di bawah lima tahun mungkin masih bisa saya terima," kata Suryadi kepada TEMPO. Vonis terhadap pembunuh keluarga juga dijatuhkan di Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah, Selasa pekan lalu. Sardi, 18 tahun, dan Kusmanto, 21 tahun, oleh majelis hakim masing-masing diganjar hukuman seumur hidup -- pas seperti tuntutan jaksa. Mereka berdua, kata hakim, terbukti melakukan pencurian dengan kekerasan, yang mengakibatkan kematian Kuswadi (28 tahun), istrinya, Darsinah (27 tahun), dan anak tunggal mereka, Eva Kurniati, 2 1/2 tahun. Selain itu, menurut hakim, mereka juga menganiaya Lasini, 18 tahun, adik kandung Darsinah. "Saya tak gentar menghadapi hukuman seumur hidup. Ini biasa, karena memang saya bersalah," ujar Sardi kepada TEMPO, seusai sidang. Sebaliknya Kusmanto tampak tegang. "Saya terpaksa menandatangani surat permintaan cerai istri saya," kata ayah satu anak itu. Pembantaian sekeluarga di Cilacap itu terjadi 26 Agustus tahun lalu. Pelakunya tiga orang. Selain Sardi dan Kusmanto, juga Setiawan Purwoko, 17 tahun. Peristiwa berdarah itu bermula ketika Sardi kesulitan uang. Ia kemudian mengajak karibnya sesama pengangguran, Kusmanto, untuk membuka usaha di Palembang. Tapi rencana itu kandas karena soal modal. Belakangan mereka berniat merampok Koperasi Veteran Republik Indonesia (Koveri). Sasaran itu mengarah ke rumah Kuswadi, yang merangkap kantor Koveri. Mereka mengetahui kantung Kuswadi sedang gemuk karena baru menerima uang tagihan. Kemudian mereka mendatangi rumah Kuswadi, dan seluruh keluarga dibantainya (TEMPO, 7 September 1991). Tinggal Setiawan Purwoko yang menunggu divonis. "Sepantasnya mereka semua dihukum seumur hidup," kata Hakim Dorris A.A. Taulo. Gatot Triyanto, Hasan Syukur, dan R. Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini