MENJELANG tengah malam, Ketut Tjarem, 35, membangunkan istrinya - minta diambilkan sepiring nasi. Ternyata, lelaki berambut gondrong yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi itu bukannya merasa lapar. Ia hanya ingin "mengusir" istrinya, Ni Made Oka, dari samping ketiga anak mereka yang sedang tidur nyenyak. Tjarem lalu mengambil ulik - tempat minyak mesin jahit - yang sudah diisi racun serangga merk Basudin. Dengan alat itu ia mengucurkan racun ke mulut anak-anaknya: I Putu Sukanada, 2 I Ketut Suparta, 9 dan Ni Made Suwardi, 13. Beberapa saat kemudian, ketika Ni Made Oka kembali dari dapur heran karena suaminya tak ada lagi. Yang dijumpai justru ketiga anaknya yang terbatuk-batuk kecil sambil meringis. "Pahit," kata Ni Made Suwardi. Ketiga bocah itu pingsan. Para tetangga segera dibangunkan dan ketiga anak itu dilarikan ke rumah sakit. Untunglah, Suparta dan Suwardi selamat. Tapi adik mereka, Sukanada, tak tertolong. Minggu-minggu ini, Ketut Tjarem diadili di Pengadilan Negeri Denpasar. Ia dituduh melakukan pembunuhan berencana terhadap anak kandungnya, pada tengah malam 16 Agustus 1983 lalu. Tragedi ini terjadi di Desa Gulingan, Kecamatan Mengwi, Badung, Yang mengejutkan: Tjarem mengaku kepada polisi bahwa sekitar empat tahun lalu ia telah meracun dua anaknya yang lain. Wayan, anak pertama, dan Nyoman, anak ketiga. "Mereka saya suntik di bagian paha dengan formalin," begitu pengakuannya. Menurut Ni Made Oka, empat tahun lalu kedua anaknya itu memang meninggal, dan segera dikuburkan karena dianggap mati secara wajar. Suwardi, yang kini duduk di kelas I SMP Penarungan, mengaku pula pernah hendak dibunuh oleh ayahnya dengan racun formalin. "Ini, bekasnya masih ada," katanya pekan lalu kepada TEMPO sembari menunjukkan bekas operasi dipahanya. Tjarem sendiri mengaku meracun anak-anaknya untuk "memenuhi janji" yang diucapkannya sekitar 12 tahun lalu. Ketika itu katanya seperti tertera dalam tuduhan jaksa, ia mengancam akan membunuh semua anaknya - karena istrinya tak mau mengaku telah berbuat serong dengan lelaki lain. Dan sejak itu, ia terkadang seperti mendapat dorongan gaib untuk melaksanakan "sumpah"-nya. Kebetulan, ia teringat pernah menyimpan Basudin, cairan berwarna cokelat yang berbau busuk, yang mengandung racun Diazinon. Racun itu sempat ia gunakan membasmi hama di sawah yang luasnya 70 are. Akan halnya cairan formalin adalah sisa yang digunakan untuk mengawetkan mayat, ketika beberapa tahun lalu kakeknya meninggal. Formalin memang biasa digunakan untuk mengawetkan mayat atau jaringan tubuh. Racun yang berbau tajam ini, menurut Dokter Handoko Tjondroputranto dari LKUI (Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia), Jakarta, bisa menyebabkan kematian bila masuk ke dalam tubuh dalam dosis sekitar 50 cc. Tapi, katanya, untuk seorang anak, dosisnya cukup separuhnya. Jenis racun ini bisa mengakibatkan kematian karena mengganggu semua fungsi sel dalam tubuh. Dan mengganggu peredaran darah. Sedangkan Diazinon, menurut Sontan Simandjuntak, apoteker yang bertugas di LKUI, bisa mematikan dalam dosis lebih kecil: 100 miligram sampai 150 miligram untuk tiap kilo berat badan. Dengan kata lain, untuk membunuh seorang anak kecil seperti Sukanada yang mempunyai berat badan sekitar 10 kilo, cukup dengan dosis 2 cc - 3 cc. Racun ini mematikan karena peredaran darah korban terhambat, sementara pernapasannya diperlambat. Ni Made Oka, yang sudah menikah selama 18 tahun dengan Tjarem, tak habis pikir mengapa suamimya tega meracun anak mereka. Ia menilai suaminya, "baik dan tak pernah marah." Bila hendak pergi bekerja, katanya, Tjarem memberi uang kepada anak-anaknya. Dan pulangnya, Tjarem sering membeli oleh-oleh serta menclumi anaknya. Made Oka menyangkal suaminya pernah mengangkat "sumpah" untuk membunuh semua anaknya. Sebab, katanya, "saya tak pernah menyeleweng dan suami saya juga tidak pernah curiga atau cemburu. Meski bukti cukup kuat dan saksi-saksi cukup memberatkan, terdakwa menyangkal semua tuduhan Jaksa Bambang Pudji Raharjo. "Masak saya sampai hati membunuh anak sendiri," begitu katanya selalu. Terdakwa terkadang kelihatan seperti linglung. Sebab itu pembelanya, Mandra, menilai bahwa mungkin kliennya kurang waras. "Saudaranya juga ada yang gila," katanya. Sebab itu ia memohon kepada majelis hakim untuk menghadapkan saksi ahli, seorang dokter ahli penyakit jiwa. Tjarem mungkin tidak gila, tapi bisa jadi dia mengalami tekanan batin yang berkepanjangan. Entah karena apa, kata Mandra lagi, kliennya itu sering diejek tetangganya seolah-olah saklt kanker. Selain itu, ia tampaknya merasa berdosa karena beberapa waktu lalu melakukan tabrak lari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini