Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Matinya seorang tukang solder

Karena dicurigai sebagai dukun teluh, seorang tukang solder, haji masjkur, dari desa parung, kuningan, jawa barat, dibunuh. (krim)

25 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WADUK Darma di Desa Parung, Kuningan, Jawa Barat, Rabu pekan lalu, ramai dikunjungi orang. Kali ini yang berjejal di tepi telaga seluas 10 ha dan dikelilingi perbukitan itu bukan turis lokal, tapi penduduk. Mereka menyaksikan rekonstruksi pembunuhan Haji Masjkur, lelaki beranak lima bercucu enam. Haji Masjkur, 55, sehari-hari dikenal sebagai tukang solder. Tapi di Parung namanya cukup beken karena, konon, dia mempunyai ilmu hitam. "Di sini saja, korbannya sudah 10 orang lebih," kata Djumhana, kepala Desa Parung. Maka, ketika awal Februari lalu haji itu ditemukan jadi mayat di tengah telaga, tak banyak orang kaget. Juga tidak Sanukri, adik kandung korban. Padahal, keadaan mayat sungguh menyedihkan: kaki dan tangan terikat tali plastik, mata terbeliak dengan serban haji melilit di leher. Mayat dalam karung itu diganduli batu. Visum dokter memberi petunjuk, haji itu korban kejahatan. Bagian belakang kepala tampak memar oleh pukulan, sementara pada lehernya terdapat bekas cekikan. Maklum akan reputasi Masjkur di mata penduduk, polisi rupanya tak mau bersusahsusah. Hari itu juga kepala Desa Djumhana diciduk. Tindakan itu dianggap beralasan, karena Djumhana konon sering "mengurus perkara" Masjkur. Mei tahun lalu, misalnya, atas desakan sejumlah penduduk, Djumhana menyuruh Masjkur menandatangani surat pernyataan bersegel bahwa dia tukang teluh dan berjanji akan membuang ilmu teluhnya. Karena dianggap belum cukup, dua bulan kemudian, Masjkur disuruh lagi membubuhkan tanda tangannya di balai desa. Meski menyangkal turut membunuh, setelah mendekam di sel tiga hari Djumhana membuka mulut. Katanya, empat hari sebelum mayat ditemukan, ada orang datang kepadanya minta izin untuk menghabisi Masjkur. Djumhana tak menghalangi. "Saya tidak tanggung jawab. Nama saya jangan dibawa-bawa." Cuma itu jawab Djumhana, seperti yang diungkapkannya belakangan kepada Mara Oloan Siregar dari TEMPO. Djumhana pun segera dibebaskan. Tapi Nana Sukmana, 32, orang yang disebut minta izin membunuh itu, ditahan. Juga Sanukri, adik Almarhum, yang sejak semula meman dicurigai. Dari keterangan mereka, ditangkaplah 10 penduduk desa yang lain - termasuk Haji Cholil, 52, petani kaya, adik ipar korban. Malah, seperti terungkap kemudian, si adik ipar inilah yang kabarnya mengatur persekongkolan jahat itu. Alasannya, seperti diungkapkannya sendiri dari balik terali besi, "Masjkur ditakuti dan dibenci masyarakat karena ilmu sihirnya. Keluarga kami jadi malu." Selain itu, rupanya Cholil juga mendendam sang kakak, yang katanya pernah meneluh istrinya - beberapa hari setelah mereka berselisih soal pembagian panen sebatang pohon petai di kebun wansan. Kalau marah, katanya, Masjkur suka mengancam, "Awas kau!" Dan, biasanya, satu atau dua minggu kemudian, yang diancam jatuh sakit, atau mati, atau rumah tangganya berantakan. Misalnya pengalaman Samsu Ramli, 60, bekas kepala desa di sana. Masjkur, menurut cerita Sanukri, tak pilih-pilih. "Leher istri saya membengkak diteluhnya," kata Sanukri. Bulan lalu, Haji Cholil mengundang beberapa orang yang pernah diancam Almarhum. Selain Sanukri, dari luar keluarga hadir Affandi, 60 Marjo, 40 dan Ali Mulyanto, 37. Keputusan rapat, menurut pengakuan Cholil kepada polisi, "Masjkur mesti dibereskan." Dan iana Sukmana diputuskan untuk "membereskan" Masjkur dengan imbalan Rp 200.000, yang dijanjikan akan dibayar secara gotong-royong oleh para peserta pertemuan di rumah Haji Cholil itu. Empat hari berselang, rapat diadakan lagi di tempat yang sama, untuk mematangkan rencana. Itu sebabnya - selain peserta semula - diundang pula Nana Sukmana, yang akan melakukan "tugas". Seusai rapat, sekitar pukul 21.00 pada malam Minggu itu, desa yang belum dimasuki listrik itu sudah sepi. Saat itu, Masjkur berjalan sendiri, pulang dari menghadiri perhelatan tetangganya. Di pertigaan jalan desa (begitulah jalannya rekonstruksi), Nana Sukmana - yang dari tadi menunggu dengan sebilah bambu sebesar lengan - cepat beraksi. Tia pukulan bambu mendarat di belakang kepala dan punggung Masjkur. Ia tergeletak. Merasa belum cukup, Nana lantas menjerat leher korban dengan serban haji iu sendiri. Kemudian, Kusnadi, 35, dan Sabur, 45 - teman Nana yang sejak tadi mengawal dari jarak lima meter - segera melaporkan pelaksanaan tugas itu kepada Cholil, yang rumahnya sekitar 100 meter dari tempat kejadian. Cholil pun lantas memerintahkan Sabur, Kusnadi, dan Affandi yang datang kemudian untuk mengikat korban dan memasukkannya ke dalam karung. Tak lama kemudian, muncul Gozali, 40, Muhdi, 35, dan Ahmad, 55. Ketiga orang tadi secara bergantian menggotong karung berisi mayat itu ke telaga, yang letaknya 1 km dari situ. Dan menenggelamkannya di sana, setelah karung itu mereka berati dengan batu. Dua hari berselang, Cholil menagih uang yang dijanjikan teman-temannya untuk dibayarkan kepada Nana Sukmana, yang kemudian membagimya dengan ketiga temannya yang membantu pembunuhan itu. Sampai di sini komplotan itu rupanya sudah merasa aman. Dalam suratnya kepada salah seorang anggota komplotannya, misalnya, Choil menulis (dalam bahasa Sunda): "Pembicaraan itu sudah beres. Empat orang itu mendapat jatah Rp 50.000 per orang Kita tidak perlu tahu apa apa. Tahu beres, deh. 'Kan orang itu sudah mati." Surat itu kini disita polisi. Kini, Cholil dan 11 temannya ditahan di Kepolisian Resort Kuningan. Akan halnya Nana Sukmana, dengan upah yang diperolehnya, ia baru sempat membeli seekor kambing. Sisanya, Rp 145.000, kabarnya diserahkan kepada seorang anggota Koramil Kadugede, yang rupanya membaui kerja komplotan tadi. "Tampaknya, uang itu untuk menyuap agar oknum itu tidak mengungkit-ungkit soal pembunuhan," kata Letnan Kolonel Irhamsyah, kepala Kepolisian Resort Kuningan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus