Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Surat kaleng, surat drum

Surat kaleng kiriman nur yang sakti ke jaksa agung, menteri dalam negeri dan petinggi negara yang lain menyebutkan bahwa walikota padang, drs. hasan basri adalah pki & terlibat kebakaran besar pasar jawa.

21 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Padang, tuduhan "PKI" yang menakutkan itu, bahkan dialamatkan pada orang pertama toko itu, bahkan dialamatkan pada orang pertama kota itu. Yang menuding seorang laki-laki warga kota biasa. Namanya lumayan: Nur Yang Sakti, terakhir Li Cu Yang, yang sehari-hari adalah pedagang. Bukan itu saja. Sang walikota Drs. Hasan Basri, oleh Nur Yang Sakti didakwa sebagai berada di belakang asap kebakaran besar Pasar Jawa, 4 Mei tahun silam -- yang meninmbulkan kerugian sampai Rp 4 milyar itu. Tuduhan-tuduhan dalam bentuk surat itu dialamatkan kepada banyak fihak, antaranya Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, Pangkopkamtib dan sejumlah petinggi negara lainnya. Tuduhan "PKI" ternyata hanya didasarkan perkiraan saja, sementara dakwaan keterlibatan Walikota dalam kebakaran kota Padang, menurut surat tersebut, adalah karena si pejabat kelihatan tertawa pada waktu api sedang mengganas. Tak dilampirkannya foto yang melukiskan suasana demikian, atau si pengirim punya saksi? Pada kolom nama dan alamat si pengirim, lebih gila lagi, dicantumkan nama dua pengacara di kota itu. Masing-masing Abdul Kadir Usman SH dan Syofyan Muchtar SH,(keduanya anggota DPR) Propinsi Sumatera Barat dari fraksi Persatuan Pembangunan. Tentu saja kedua pemuka daerah ini terkejut bukan main melihat nama mereka dibawa-bawa dalam surat yang diduga dikirimkan dari Jakarta itu. Merasa tak berbuat apa-apa dalam urusan ini, kedua pengacara itu mendesak agar misteri surat kaleng itu dibongkar. Maka setelah pandang jauh dilayangkan, pandang dekat ditukikkan, ketahuanlah kemudian bahwa penulis surat itu adalah Nur Yang Sakti. Orang ini sebenarnya tak terlalu pintar, tapi kabarnya ada yang ikut main di belakangnya, entah siapa dan entah dengan maksud apa. Sementara pengusulan terus berjalan, motif surat aneh itu pelan-pelan bocor ke luar. Berawal dari persoalan tanah untuk gudang Dolog di Mata Air Padang. Adalah seorang laki-laki bernama Yunizar. Orang ini punya tanah yang dalam sertifikatnya tertera seluas 60 ribu meter persegi. Yunizar pada suatu hari terdesak. Tanah yang menurutnya diperoleh dari pembelian itu digadaikan kepada Nur sebesar Rp 2 juta. Tahu-tahu datang Siti Ajir dkk, yang mengklaim tanah tersebut sebagai milik mereka turun temurun. Gugatanpun dilakukan dengan tandas, apalagi terbetik berita bahwa tanah tersebut bakal dijual kepada Dolog. Timbul kericuhan. Di sinilah Walikota turun tangan, sebab ada kepentingan peme- rintah di dalamnya. Petugas-petugas segera angkat alat-alat: mengukur dan meneliti. Ternyata dari luas tanah yang disebutkan 60 ribu meter itu, yang benar tak lebih dari 12 ribu meter saja. Jadi sertifikat itu tidak benar atau mungkin pejabat agraria yang salah menuliskan bilangan meter itu. Bekas Kepala Sub Direktorat Agraria setempat Sutan Aziz dipanggil. Ia mengakui keteledoran- nya. Katanya ia ketika menangani urusan tersebut mereka dibohongi oleh bawahannya. Pengukuran sebenarnya tak pernah dilakukan. Jadi luas yang 60 ribu itu hanya kira-kiraan saja. Yang main katanya adalah bawahannya. Sementara itu keadaan makin mendesak. Gedung Dolog harus segera dibangun. Sebagai Walikota, drs Hasan Basri mengambil kebijak- sanaan memanggil semua pihak. Di situ Nur Yang Sakti tak mau tahu siapa Siti Ajir. Ajir pun tak pula tahu siapa yang kini memegang sertifikat tanah sengketa itu. Bergelemak peaklah. Keduanya diminta berdamai. Walaupun susah, tapi setelah sedikit mengulur waktu, titik terang pun kelihatan. Titik itu, yang bisa dipegang untuk ujung penyelesaian datang dari Nur sendiri. Pada pokoknya ia hanya ingin uangnya yang Rp 2 juta kembali. Lainnya terserah pada pak Wali saja, begitu sikap Nur seperti diungkapkan seorang staf di Balaikota pada pembantu TEMPO. Jika hanya itu permintaan Nur, urusan sebetulnya tak jadi kemelut. Siti Ajir dan kawan-kawan pada pihak lain juga minta kebijaksanaan Walikota buat penyelesaian ini, dalam pengertian bahwa bagian terbesar dari hasil jual beli tanah itu mesti masuk pada kocek mereka. Begitulah, keduanya lalu sering bikin pernyataan menyerahkan penyelesaian termasuk menjualkan tanah tersebut dan membagi-bagi uangnya. Sampai di sini tak disebut ada tidaknya intervensi dari Yunizar. Urusan penyelesaian berjalan terus secara terbuka. Beberapa patokan diambil, misalnya tanah akan dijual dengan Rp 1000 per meter persegi kepada Dolog. Rp 850 dari hasil penjualan akan diserahkan kepada pihak Ajir. Yang Kp 150 diuntukkan buat Nur. Dengan begitu dari seluruh penjualan, pihak pertama dapat Rp 1O,2 juta -- tapi celakanya sisanya tak sampai Rp 2 juta, yakni jumlah yang dituntut Nur di atas. Terpaksalah diambil kebijak- sanaan baru. Dengan persetujuan Dolog setempat, Rp 200 ribu diambil dari anggaran pengosongan, yang semuanya ada Rp 5 juta (banyak juga rumah penduduk yang harus dipindahkan). Dengan demikian Nur menerima klop dan pihak Ajir juga puas. Habis perkara dan pembangunan gedung Dolog berjalan lancar pula. Air Keruh Tapi, entah bagaimana, Nur tahu-tahu merasa ia dibohongi Walikota. Tapi alasan menuntut sudah tiada, sebab toh ia sudah terlibat dalam perjanjian yang disetujui bersama antara dua pihak. Barangkali, dari sinilah timbulnya pikiran yang tidak-tidak untuk menelorkan surat kaleng di atas Nur sendiri saat ini sedang dalam tahanan Laksus. Kopkamtib Sumatera Barat. Sementara itu kedua pengacara yang namanya terbawa dalam keributan ini menyatakan tegas di Balai Kota: "Saya akan menuntut si Cu". Nur alias Cu punya saudara juga yang jadi anggota DPRD Padang. Tiba-tiba si saudara inipun dicurigai sebagai turut di belakang layar dari peristiwa unik itu. Ia ditangkap, namun belakangan sudah pula dilepaskan. Gubernur Harun Zain sendiri tidak tinggal diam atas aib yang dituduhkanl kepada bawahannya ini. Katanya melaksanakan pembangunan tidak mudah, ada saja yang mengacau dan ingin menangguk di air keruh. "Jangankan surat kaleng, surat drum pun boleh, jika cuma mtuk memfitnah", kata Gubernur bulan lalu dalam kesempatan meresmikan pasar bertingkat Padang, yang baru selesai direhabilitasi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus