DI Padang, tuduhan "PKI" yang menakutkan itu, bahkan dialamatkan
pada orang pertama toko itu, bahkan dialamatkan pada orang
pertama kota itu. Yang menuding seorang laki-laki warga kota
biasa. Namanya lumayan: Nur Yang Sakti, terakhir Li Cu Yang,
yang sehari-hari adalah pedagang. Bukan itu saja. Sang walikota
Drs. Hasan Basri, oleh Nur Yang Sakti didakwa sebagai berada di
belakang asap kebakaran besar Pasar Jawa, 4 Mei tahun silam --
yang meninmbulkan kerugian sampai Rp 4 milyar itu.
Tuduhan-tuduhan dalam bentuk surat itu dialamatkan kepada banyak
fihak, antaranya Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri,
Pangkopkamtib dan sejumlah petinggi negara lainnya.
Tuduhan "PKI" ternyata hanya didasarkan perkiraan saja,
sementara dakwaan keterlibatan Walikota dalam kebakaran kota
Padang, menurut surat tersebut, adalah karena si pejabat
kelihatan tertawa pada waktu api sedang mengganas. Tak
dilampirkannya foto yang melukiskan suasana demikian, atau si
pengirim punya saksi? Pada kolom nama dan alamat si pengirim,
lebih gila lagi, dicantumkan nama dua pengacara di kota itu.
Masing-masing Abdul Kadir Usman SH dan Syofyan Muchtar
SH,(keduanya anggota DPR) Propinsi Sumatera Barat dari fraksi
Persatuan Pembangunan. Tentu saja kedua pemuka daerah ini
terkejut bukan main melihat nama mereka dibawa-bawa dalam surat
yang diduga dikirimkan dari Jakarta itu. Merasa tak berbuat
apa-apa dalam urusan ini, kedua pengacara itu mendesak agar
misteri surat kaleng itu dibongkar. Maka setelah pandang jauh
dilayangkan, pandang dekat ditukikkan, ketahuanlah kemudian
bahwa penulis surat itu adalah Nur Yang Sakti. Orang ini
sebenarnya tak terlalu pintar, tapi kabarnya ada yang ikut main
di belakangnya, entah siapa dan entah dengan maksud apa.
Sementara pengusulan terus berjalan, motif surat aneh itu
pelan-pelan bocor ke luar. Berawal dari persoalan tanah untuk
gudang Dolog di Mata Air Padang. Adalah seorang laki-laki
bernama Yunizar. Orang ini punya tanah yang dalam sertifikatnya
tertera seluas 60 ribu meter persegi. Yunizar pada suatu hari
terdesak. Tanah yang menurutnya diperoleh dari pembelian itu
digadaikan kepada Nur sebesar Rp 2 juta. Tahu-tahu datang
Siti Ajir dkk, yang mengklaim tanah tersebut sebagai milik
mereka turun temurun. Gugatanpun dilakukan dengan tandas,
apalagi terbetik berita bahwa tanah tersebut bakal dijual
kepada Dolog. Timbul kericuhan.
Di sinilah Walikota turun tangan, sebab ada kepentingan peme-
rintah di dalamnya. Petugas-petugas segera angkat alat-alat:
mengukur dan meneliti. Ternyata dari luas tanah yang disebutkan
60 ribu meter itu, yang benar tak lebih dari 12 ribu meter
saja. Jadi sertifikat itu tidak benar atau mungkin pejabat
agraria yang salah menuliskan bilangan meter itu. Bekas Kepala
Sub Direktorat Agraria setempat Sutan Aziz dipanggil. Ia
mengakui keteledoran- nya. Katanya ia ketika menangani urusan
tersebut mereka dibohongi oleh bawahannya. Pengukuran sebenarnya
tak pernah dilakukan. Jadi luas yang 60 ribu itu hanya
kira-kiraan saja. Yang main katanya adalah bawahannya.
Sementara itu keadaan makin mendesak. Gedung Dolog harus segera
dibangun. Sebagai Walikota, drs Hasan Basri mengambil kebijak-
sanaan memanggil semua pihak. Di situ Nur Yang Sakti tak mau
tahu siapa Siti Ajir. Ajir pun tak pula tahu siapa yang kini
memegang sertifikat tanah sengketa itu. Bergelemak peaklah.
Keduanya diminta berdamai. Walaupun susah, tapi setelah
sedikit mengulur waktu, titik terang pun kelihatan. Titik itu,
yang bisa dipegang untuk ujung penyelesaian datang dari Nur
sendiri. Pada pokoknya ia hanya ingin uangnya yang Rp 2 juta
kembali. Lainnya terserah pada pak Wali saja, begitu sikap Nur
seperti diungkapkan seorang staf di Balaikota pada pembantu
TEMPO. Jika hanya itu permintaan Nur, urusan sebetulnya tak
jadi kemelut. Siti Ajir dan kawan-kawan pada pihak lain juga
minta kebijaksanaan Walikota buat penyelesaian ini, dalam
pengertian bahwa bagian terbesar dari hasil jual beli tanah itu
mesti masuk pada kocek mereka. Begitulah, keduanya lalu sering
bikin pernyataan menyerahkan penyelesaian termasuk menjualkan
tanah tersebut dan membagi-bagi uangnya. Sampai di sini tak
disebut ada tidaknya intervensi dari Yunizar.
Urusan penyelesaian berjalan terus secara terbuka. Beberapa
patokan diambil, misalnya tanah akan dijual dengan Rp 1000 per
meter persegi kepada Dolog. Rp 850 dari hasil penjualan akan
diserahkan kepada pihak Ajir. Yang Kp 150 diuntukkan buat Nur.
Dengan begitu dari seluruh penjualan, pihak pertama dapat Rp
1O,2 juta -- tapi celakanya sisanya tak sampai Rp 2 juta, yakni
jumlah yang dituntut Nur di atas. Terpaksalah diambil kebijak-
sanaan baru. Dengan persetujuan Dolog setempat, Rp 200 ribu
diambil dari anggaran pengosongan, yang semuanya ada Rp 5 juta
(banyak juga rumah penduduk yang harus dipindahkan). Dengan
demikian Nur menerima klop dan pihak Ajir juga puas. Habis
perkara dan pembangunan gedung Dolog berjalan lancar pula.
Air Keruh
Tapi, entah bagaimana, Nur tahu-tahu merasa ia dibohongi
Walikota. Tapi alasan menuntut sudah tiada, sebab toh ia sudah
terlibat dalam perjanjian yang disetujui bersama antara dua
pihak. Barangkali, dari sinilah timbulnya pikiran yang
tidak-tidak untuk menelorkan surat kaleng di atas Nur sendiri
saat ini sedang dalam tahanan Laksus. Kopkamtib Sumatera Barat.
Sementara itu kedua pengacara yang namanya terbawa dalam
keributan ini menyatakan tegas di Balai Kota: "Saya akan
menuntut si Cu". Nur alias Cu punya saudara juga yang jadi
anggota DPRD Padang. Tiba-tiba si saudara inipun dicurigai
sebagai turut di belakang layar dari peristiwa unik itu. Ia
ditangkap, namun belakangan sudah pula dilepaskan.
Gubernur Harun Zain sendiri tidak tinggal diam atas aib yang
dituduhkanl kepada bawahannya ini. Katanya melaksanakan
pembangunan tidak mudah, ada saja yang mengacau dan ingin
menangguk di air keruh. "Jangankan surat kaleng, surat drum pun
boleh, jika cuma mtuk memfitnah", kata Gubernur bulan lalu
dalam kesempatan meresmikan pasar bertingkat Padang, yang baru
selesai direhabilitasi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini