Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tak Maju karena Tangan-tangan Kuat

Kasus dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Kepulauan Sula Ahmad Hidayat terbengkalai. Disebut berkat kedekatannya dengan sejumlah petinggi kepolisian.

14 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Udara dingin Selasa malam, 5 Juni 2012, itu tak sanggup meredakan suasana panas di ruang penyidik Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) Kepolisian Daerah Maluku Utara. Tim penyidik kasus korupsi Masjid Raya Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula, terbelah dua. Kedua kubu bersitegang, beradu mulut. Tak ada yang bersedia mengalah.

Pemicu ketegangan malam itu adalah munculnya perintah mengubah berita acara pemeriksaan sejumlah saksi kasus pembangunan Masjid Raya Sanana yang melibatkan Bupati Kepulauan Sula Ahmad Hidayat Mus. Sang pemberi perintah: dua pengacara Hidayat Mus yang dipimpin Dumoli Siahaan. "Demikian panasnya suasana ketika itu, bahkan kedua kubu hampir adu jotos," ujar sumber Tempo yang mengikuti kejadian itu pekan lalu.

Sebagai pengacara, Dumoli dekat dengan seorang penyidik kasus tersebut, Ajun Komisaris Watimena. Melalui polisi itulah pengacara ini mengintervensi penyidikan perkara yang melibatkan Mus—demikian sang Bupati dikenal di kalangan dekatnya. Sebelum keributan sesama penyidik, menurut sumber Tempo ini, Watimena membagi-bagikan uang—dalam pecahan dolar—kepada sejumlah penyidik. Uang itu dari Dumoli. "Uangnya ditaruh dalam kardus mi instan. Jumlahnya sekitar Rp 5 miliar," katanya.

Pertengkaran mulut itu juga terekam dalam laporan Direktorat Intelijen Keamanan Polda Maluku Utara bernomor R/Infosus-10/VI/2012/Dit Intelkam. Dalam laporan yang ditandatangani Komisaris Polisi Ismail Umasugi itu, Watimena disebut sebelumnya telah mengambil uang di Hotel Corner, tempat Dumoli menginap. Ismail ketika itu juga memerintahkan Polda segera menggeledah kediaman Watimena dan memeriksanya. "Akhirnya Watimena sekarang dipindah dari Polda Maluku Utara," kata sumber yang sama.

Kepala Polda Maluku Utara saat itu, Brigjen Affan Richwanto, membenarkan adanya peristiwa penyuapan terhadap para penyidiknya. Kasus penyidikan korupsi ini awalnya memang ditangani sendiri oleh jajaran Polda Maluku Utara. Tapi belakangan, entah kenapa, Markas Besar Kepolisian RI turun tangan ikut memeriksa perkara ini. Kasus penyuapan terhadap para penyidik itu menjadi pembicaraan santer di kalangan polisi yang bertugas di Maluku Utara. "Saat itu datang juga enam penyidik Bareskrim Mabes untuk mengecek soal suap di Reskrimsus, yang beritanya memang sudah berkembang luas," kata Affan.

Dimintai konfirmasi tentang kedekatannya dengan Watimena, Dumoli Siahaan tak membantah. Tapi, ketika ditanya perihal perannya di balik penyuapan yang menggegerkan kalangan kepolisian Maluku Utara itu, Dumoli menggelengkan kepalanya dengan keras. "Mana ada penyuapan itu? Saya melihat uang Rp 5 miliar saja belum pernah," katanya kepada Tempo, akhir Juli lalu.

n n n

Perkara penyuapan itu memang diduga erat kaitannya dengan perkembangan penyidikan korupsi pembangunan Masjid Raya Sanana pada 2006. Masjid yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula itu dicanangkan sebagai masjid paling megah di seantero Provinsi Maluku Utara. Untuk membangun tempat ibadah yang terletak di Sanana, ibu kota Sula, itu, pemerintah daerah sudah mengucurkan duit dari kas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Rp 23,5 miliar. Duit sudah keluar deras, masjid tak kunjung jadi, maka pembangunan masjid ini pun berujung ke kepolisian. Polda Maluku Utara mencium bau korupsi dalam proyek ini. Masjid itu kini telantar.

Penyidikan kasus korupsi Masjid Raya dimulai pada awal 2012. Kepolisian Daerah Maluku Utara sudah menetapkan tiga tersangka: Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sula Mahmud Syafrudin, pejabat pembuat komitmen Saifudin Buamonabot, dan pemenang tender Munawar Tjiarso Menge. Munawar Tjiarso Menge dan Saifudin Buamonabot sempat kabur dan ditetapkan sebagai buron. Tapi, akhir Juli lalu, keduanya ditangkap tim buru sergap Polda Maluku Utara.

Menurut Kepala Bidang Humas Polda Maluku Utara Ajun Komisaris Besar Hendrik Badar, keduanya ditangkap di kediaman Soenadi di Dusun Karangsari, Desa Kawungaten, Cilacap, Jawa Tengah, pada 29 Juli 2013. Soenadi tak lain ayah Nurrohmah, istri pertama Ahmad Hidayat Mus. "Dengan menangkap dua tersangka itu, penyidik akan semakin mudah mengembangkan kasus korupsi tersebut," ujar Hendrik. Tapi dia menolak berkomentar ketika ditanya apakah itu berarti keterlibatan Ahmad Hidayat semakin jelas.

Sumber Tempo di kepolisian Maluku Utara mengatakan keterlibatan Ahmad Hidayat Mus dalam kasus ini memang terang-benderang. Berdasarkan keterangan sejumlah saksi dan alat bukti yang dimi­liki kepolisian, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Golkar Maluku Utara itu terlibat dalam penunjukan langsung perusahaan pemenang proyek pembangunan masjid, yakni perusahaan milik Munawar Menge. "Nah, Munawar Menge itu paman Ahmad Hidayat Mus," kata sumber ini.

Keterangan dan alat bukti itulah yang membuat Hidayat ketar-ketir. Menurut sumber Tempo ini, tak hanya melakukan penyuapan, Hidayat juga mengintimidasi sejumlah penyidik. Dia mengancam akan memindahkan mereka dari Polda Maluku jika menyangkutpautkan perkara korupsi masjid itu dengan dirinya.

Ancaman itu, menurut sumber Tempo ini, bukan sekadar bualan. Dia menunjuk nasib yang menimpa Kepala Polda Maluku Utara Brigjen Affan Richwanto. Affan memang getol menyelidiki perkara korupsi di Maluku Utara, termasuk di Kabupaten Kepulauan Sula. Dalam perkara dugaan korupsi Masjid Raya Sanana, dia sudah mengeluarkan perintah pemeriksaan terhadap Ahmad Hidayat pada 18 Maret lalu. Saat itu bahkan Affan menyatakan akan memanggil paksa jika sang Bupati tak memenuhi panggilan polisi.

Pada 18 Maret itu, Ahmad tak datang ke penyidik Polda. Ia menyatakan sedang ke Jakarta, memenuhi panggilan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Affan kemudian melayangkan panggilan kedua. Tapi, sehari setelah membuat panggilan kedua itu, Affan ditarik dari jabatannya sebagai Kepala Polda. Posisinya diisi Brigadir Jenderal Machfud Arifin.

Pemanggilan Polda dan Bareskrim secara bersamaan serta penggantian Affan, menurut Koordinator Gamalama Corruption Watch M. Muhidin, jelas merupakan bentuk intervensi terhadap penanganan kasus korupsi Ahmad Hidayat. Ahmad Hidayat, ujar Muhidin, memang memiliki kedekatan dengan sejumlah jenderal. Salah satunya mantan Inspektur Pengawasan Umum Komisaris Jenderal Fajar Pri­hantoro. Fajar, menurut Muhidin, dekat dengan Ahmad karena dia pernah menjabat Kepala Polda Maluku Utara pada 2008. "Pergantian Kapolda Maluku Utara itu juga karena peran Inspektur Pengawasan Umum," kata Muhidin.

Fajar tak membantah kedekatannya dengan Ahmad Hidayat Mus. Dia juga tak menampik saat diminta konfirmasi telah merekomendasi penggantian Kepala Polda Maluku Utara dari Affan ke Machfud. Hanya, dia menekankan rekomendasi itu dibahas oleh Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi Polri. "Ada 13 perwira tinggi yang membahas, semuanya memberikan rekomendasi. Saya tidak ada urusan Hidayat Mus mau masuk penjara atau tidak," katanya kepada Tempo.

Tak hanya dengan Fajar, Ahmad Hidayat juga disebut dekat dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Sutarman. Kedekatan inilah, menurut sumber Tempo, yang membuat kasus Ahmad Hidayat di Bareskrim tak kunjung kelar. Saat ini Bareskrim memang sedang menangani kasus pembangunan jalan di Pulau Taliabu dan Pulau Mangole, Kabupaten Kepulauan Sula, dengan total anggaran Rp 272 miliar. Kedua proyek itu, kendati dananya sudah dikucurkan, ternyata fiktif. Demikian juga dengan kasus korupsi pembangunan kantor Bupati Kepulauan Sula senilai Rp 46 miliar dengan APBD 2006-2012. Proyek ini ditengarai sarat rasuah.

Badan Reserse Kriminal Mabes Polri juga dituding sejumlah aktivis antikorupsi terkesan melindungi Ahmad. Itu, antara lain, terungkap dari munculnya perintah penghentian sementara penyidikan kasus Masjid Raya Sanana. Lewat surat telegram rahasia bernomor STR/190/III/ 2013, Sutarman meminta semua kasus yang berkaitan dengan para calon kepala daerah yang akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah dihentikan sementara.

Surat bertanggal 14 Maret 2013 itulah yang kemudian dijadikan landasan oleh Kepala Polda Maluku Utara untuk tak melanjutkan pemanggilan terhadap Ahmad hingga kini. Ahmad Hidayat Mus memang sedang maju dalam pemilihan Gubernur Maluku Utara. Sutarman tak bisa dimintai konfirmasi mengenai hal ini. Tempo sudah mengirimkan sejumlah pertanyaan kepada Sutarman, tapi belum dibalas. Pesan pendek yang dikirimkan ke telepon selulernya juga tak ditanggapi.

Menurut sumber Tempo lain, kasus Ahmad Hidayat tak naik karena kedekatannya pula dengan Kepala Polda Maluku Utara sekarang, Machfud Arifin. Kedekatan mereka terjalin karena sama-sama memiliki hobi olahraga berkuda. Ahmad memang dikenal sebagai "penggila" kuda. Dia memiliki klub kuda bernama Taliabo, yang didirikannya pada 2011. Klub ini mendadak tenar di kalangan para penggemar kuda di Indonesia lantaran keberaniannya membeli sejumlah kuda dengan harga fantastis. Salah satunya adalah kuda dengan nama Red Silanos, yang dibeli Ahmad Rp 500 juta. Karena itu pula kuda yang kemudian mendapat julukan "Si Gopek" ini disinyalir mengacaukan harga pasaran kuda di Jakarta (Tempo edisi 24-30 Juni 2013).

Adapun Machfud, sebelum naik jabatan menjadi Kepala Polda, menduduki posisi Direktur Polisi Satwa Baharkam Mabes Polri. Pada Juni tahun lalu, Machfud menggelar kejuaraan pacuan kuda memperebutkan Kapolri Cup. Kejuaraan yang digelar dalam rangka memperingati ulang tahun Bhayangkara ke-66 ini antara lain disponsori oleh Ahmad Hidayat. Menurut sumber Tempo, saat itu Ahmad menyumbang Rp 350 juta. "Jadi, hubungannya dengan Machfud memang dekat," ujar sumber Tempo yang juga kolektor kuda itu.

Dengan segala kedekatannya dengan para petinggi kepolisian yang memiliki kekuasaan itulah, menurut sejumlah aktivis antikorupsi di Maluku, wajar jika penyidikan kasus dugaan korupsi yang diduga melibatkan sang bupati ini seret alias tak maju-maju. Ini pula yang membuat para aktivis korupsi beberapa waktu lalu menggelar unjuk rasa, menuntut kepolisian serius mengusut kasus korupsi di Kabupaten Sula itu.

Ahmad Hidayat, yang kini tengah maju ke putaran kedua pemilihan Gubernur Maluku Utara, menolak jika dituding melakukan korupsi. Dia menampik bila disebut mendapat perlindungan dari sejumlah jenderal polisi. Ketika dihubungi pada akhir Juli lalu, ia bersuara keras. "Siapa yang bilang begitu ke kamu?" katanya.

Kepada Tempo, Machfud Arifin membantah kabar bahwa kedekatannya dengan Ahmad Hidayat bakal membuat kasus korupsi itu jalan di tempat dan Ahmad lolos dari jerat hukum. "Tidak ada itu. Buktinya, sudah 35 saksi diperiksa dan tiga orang ditetapkan sebagai tersangka," ujar Machfud. Menurut dia, berkas perkara kasus pembangunan masjid raya itu juga sudah dinyatakan lengkap.

Febriyan (Jakarta), Budhy Nurgianto (Ternate)


Para Jenderal di Lingkaran Bupati

Diduga melakukan korupsi di berbagai proyek, Bupati Kepulauan Sula Ahmad Hidayat Mus hingga kini belum ditetapkan sebagai tersangka. Di Maluku santer disebut-sebut kuatnya Ahmad juga berkat kedekatannya dengan sejumlah petinggi kepolisian.

Komisaris Jenderal Purnawirawan Fajar Prihantoro

Mantan Inspektur Pengawasan Umum Markas Besar Polri ini disebut berperan dalam penggantian Kepala Polda Maluku Utara Brigadir Jenderal Affan Richwanto. Affan dicopot, antara lain, karena diduga mengancam memanggil paksa Ahmad Hidayat Mus karena mangkir dari panggilan. Fajar disebut dekat dengan Bupati Sula itu saat menjabat Kepala Polda Maluku Utara pada 2008- 2010.

Fajar menolak tudingan membela Ahmad. "Saya dekat dengan semua orang di sana, dari anak buah, bupati se-Maluku Utara, dan masyarakat," katanya. "Ada 13 perwira tinggi yang membahas (penggantian Affan). Semuanya memberikan rekomendasi. Saya tidak ada urusan Hidayat Mus mau masuk penjara atau tidak."

Komisaris Jenderal Sutarman

Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri ini disebut-sebut melakukan intervensi dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan Ahmad Hidayat. Tatkala Kepolisian Daerah Maluku Utara memanggil Hidayat pada Maret lalu untuk diperiksa, pada saat yang sama Bareskrim juga memanggilnya ke Jakarta. Sutarman juga mengirimkan surat telegram rahasia agar penanganan kasus yang melibatkan calon kepala daerah yang hendak bertarung dalam pemilihan kepala daerah dihentikan sementara. Penanganan kasus korupsi Kabupaten Kepulauan Sula di Bareskrim hingga kini juga terkatung-katung.

Hingga Jumat dua pekan lalu, Tempo belum bisa meminta konfirmasi Sutarman. Surat yang dikirimkan Tempo tak berbalas, demikian juga dengan pesan pendek yang dilayangkan Tempo ke telepon selulernya.

Brigadir Jenderal Machfud Arifin

Jabatannya kini Kepala Polda Maluku Utara. Dia disebut memiliki kedekatan dengan Ahmad Hidayat Mus saat masih menjabat Direktur Polisi Satwa Baharkam Mabes Polri. Ahmad, yang dikenal memiliki hobi olahraga berkuda, menyumbang Rp 350 juta saat Machfud menyelenggarakan kejuaraan berkuda Kapolri Cup 2012. Machfud juga memutuskan untuk menghentikan sementara pemeriksaan Ahmad Hidayat Mus dalam kasus korupsi pembangunan Masjid Raya Sula. Alasannya, Ahmad maju dalam pemilihan Gubernur Maluku Utara.

Machfud menolak jika disebut melindungi Ahmad Hidayat. "Tidak benar itu. Buktinya, 35 saksi telah diperiksa dan tiga orang ditetapkan sebagai tersangka. Berkas perkara kasus pembangunan masjid raya juga sudah dinyatakan lengkap."


Duit Mengucur, Proyek Terbengkalai

Sebagai kabupaten yang baru dibentuk pada 2003, Kepulauan Sula berupaya menggenjot pembangunan infrastruktur. Ratusan miliar rupiah dana sudah dikucurkan, tapi infrastrukturnya tak kunjung menjelma seperti direncanakan. Inilah proyek pembangunan yang ditengarai diliputi praktek korupsi yang, antara lain, melibatkan saudara Ahmad Hidayat sebagai kontraktor atau pemborong.

1. Pembangunan Jalan Falabisahaya-Auponhia-Mangoli-Waisakai (150 kilometer)
Nilai proyek: Rp 167,2 miliar tahun anggaran 2006-2009.

2. Pembangunan Jalan Auponhia-Dofa (20 kilometer)
Nilai proyek: Rp 6,999 miliar dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2007.

3. Peningkatan Jalan Falabisahaya-Auponhia
Nilai proyek: Rp 1,6 miliar dengan dana APBD 2008.

4. Pembangunan Jalan Gela-Tikong-Lede (80 kilometer)
Nilai proyek: Rp 105,145 miliar dengan dana APBD 2006-2010.

5. Pembangunan Jalan Malbufa-Wainib Sirtu (15 kilometer)
Nilai proyek: Rp 5,624 miliar dengan dana APBD 2006.

6. Pembangunan Jalan Dofa-Waisakai (100 kilometer)
Nilai proyek: Rp 106,816 miliar dengan dana APBD 2006-2010.

7. Pembangunan Jalan Akses Kota Fuata dan Jembatan Waikolbota
Nilai proyek jalan: Rp 2,687 miliar dengan dana APBD 2009.
Nilai proyek jembatan: Rp 1,138 miliar dengan dana APBD 2009.

8. Pembangunan Masjid Raya Sanana
Nilai proyek: Rp 23,5 miliar dengan dana APBD 2006-2009.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus