Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA yang ditakutkan Sartem dalam menjalani hidup ini. ”Saya paling takut melarat,” ujar perempuan 50 tahun ini. Alasan itulah yang membuatnya terjun ke dunia hitam. Sejak usia 16 tahun, ia meninggalkan kampung halamannya di Desa Amis, Cikedung, Indramayu, Jawa Barat. Ia merantau ke Mangga Dua, Jakarta Barat, yang dikenal sebagi surga esek-esek di Ibu Kota, untuk melayani nafsu syahwat pria hidung belang.
Sartem hanya ”libur panjang” saat ia melahirkan dua putrinya. Kala usianya melewati kepala 3, ia ”pension” dan pulang kampung. Sejak itu pula dia risau. Keuangan rumah tangganya minus. Lantas, jalan pintas pun ia ambil: anak pertamanya ia kirim ke Jakarta. Itu terjadi lima tahun lalu saat Mawar, demikian saja kita sebut gadis ini, berumur 18 tahun. Di Ibu Kota, Mawar mengikuti jejak ibunya jadi pelacur.
Dua tahun setelah Mawar pergi, giliran Melati, adik Mawar, dikirim Sartem untuk mencari duit di Jakarta. Waktu itu usia Melati—ini juga bukan nama sebenarnya—masih 13 tahun. ”Saya mengantar dia ke tempat kakaknya,” kata Sartem kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Jadilah, kakak-beradik itu ”mewarisi” pekerjaan ibunya.
Di Indramayu, hal seperti ini bukan sesuatu yang mengejutkan. Menurut Muhammad Yani, pengelola Sanggar Teratai, wadah bagi korban trafficking (perdagangan manusia), pola mencari uang seperti dilakukan Sartem sudah jamak di Indramayu. ”Menjadi pelayan seks merupakan budaya secara turun-temurun di daerah ini,” katanya.
Di sana, kebiasaan seperti itu disebut luruh duit atau mencari uang dengan jalan menjadi telembuk atau pelacur. Pria di sana juga tak menganggapnya ganjil. Bahkan, kata Muhammad Yani , mereka juga tak keberatan memperistri wanita ”pensiunan” luruh duit. ”Bahkan banyak sang suami justru menyarankan istrinya jadi telembuk,” ujar Yani.
Sudah lama Indramayu dianggap se-bagai lumbung rezeki bagi para mucikari. Di Jakarta, nyaris semua tempat hiburan malam selalu dihuni pelacur asal Indramayu. Misalnya, kawasan hiburan malam di Jalan Pangeran Jayakarta, Jalan Daan Mogot, atau Jalan Hayam Wuruk.
Kepala Polres Jakarta Barat, Komisaris Besar Edward Syah Pernong, mengakui banyak ”gadis ABG” Indramayu bertebaran di tempat hiburan di wilayahnya. Saat terjaring, kata Edward, mereka ternyata mengantongi surat nikah. ”Surat itu dikeluarkan lembaga yang sah,” katanya. Artinya, dara ABG itu dinyatakan dewasa meski usianya baru belasan tahun. ”Jadi, dia berhak melakukan apa yang menurutnya baik,” kata Edward. ”Tidak bisa sewenang-wenang terhadap mereka sepanjang yang dilakukannya tak melanggar hukum.”
JIKA para gadis yang terjaring itu tak bisa dihukum, lain ceritanya dengan sang pengirimnya. Menurut Koordinator Jaringan Kerja Program Legislasi Nasional Pro Perempuan, Ratna Batara Munti, tindakan seperti Sartem itu jelas melanggar hukum. ”Ini termasuk perdagangan orang,” kata Ratna. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Perlindungan Anak, perbuatan seperti ini bisa dipenjara hingga enam tahun.
Berbeda dengan dua undang-undang itu, kini Undang-Undang Pemberantasan Perdagangan Orang memberi ancaman lebih berat kepada mereka yang terlibat perdagangan orang. Disahkan DPR dua pekan lalu, undang-undang ini memberi hukuman minimal dan maksimal bagi pelaku perdagangan orang, yaitu, tiga tahun hingga 15 tahun. Di luar itu ada tambahan denda, terendah Rp 120 juta dan tertinggi Rp 600 juta.
Hukuman itu bakal ditambah sepertiga dari hukuman pokok jika mengakibatkan korban terluka. Begitu juga jika si gadis sampai tertular penyakit menular dan hamil. Adapun jika korban sampai tewas, sang pelaku bisa dihukum seumur hidup dan denda hingga Rp 5 miliar.
Ratna menyambut gembira kelahiran undang-undang yang sudah digodok sejak 2004 itu. ”Ini bagus sekali,” katanya. Mutia Farida Hatta, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, juga menyatakan kelegaannya dengan munculnya undang-undang ini. Menurut Mutia, ini merupakan bentuk komitmen Indonesia melaksanakan protokol PBB 2001 (Protokol Palermo) tentang perdagangan manusia.
Selama ini, menurut Mutia, pemerintah Indonesia dinilai lemah dalam mengawasi perkara ini. Dalam catatan Human Trafficking Organization 2006, Indonesia masuk peringkat rendah dalam hal memberantas perdagangan orang. Posisi ini sama dengan Malaysia, Mesir, Taiwan, Kuwait, dan Brasil.
MELATI kini sudah 16 tahun. Sudah tiga tahun ia melakoni pekerjaannya sebagai pelacur. Pekan lalu, dia pulang ke kampungnya. Kepada Tempo ia mengaku lelah. Selain itu, dia juga tak puas dengan bayaran yang diberikan majikannya di sebuah tempat hiburan malam di kawasan Mangga Dua, Jakarta Barat.
Dalam sebulan ia hanya menerima Rp 600 ribu. Padahal, kata Melati, setiap malam ia melayani lima pria. Satu jam menemani pria ia dibayar Rp 250 ribu. Tapi, semua duit itu hanya lewat di depan hidungnya. Seluruhnya masuk kantong mucikari. ”Begitu terus, saya kan capek. Jadi, pulang kampung saja,” katanya.
Dia tak berniat kembali ke Jakarta. Bahkan Melati sudah mendaftarkan diri ke SMP terbuka di Sanggar Teratai. ”Saya ingin pintar, saya ingin sekolah dan bekerja, bukan jadi pelacur,” katanya. Namun, Sartem, ibunya, terus membujuknya kembali melacur di Jakarta. ”Supaya ekonomi kami mapan seperti tetangga,” ujar Sartem. Sartem menegaskan bahwa dirinya tak takut jika ditangkap lantaran memaksa anaknya jadi pelacur. ”Kalau mau ditangkap, silakan saja. Apa saya salah kalau ingin hidup layak?” katanya. ”Pemerintah juga tidak menjamin kehidupan kami.”
Itulah sebabnya, kata Muhammad Yani, di daerahnya yang perlu dibina bukan orang tua semacam Sartem. ”Yang penting generasi mudanya. Itu pun harus dilakukan secara perlahan-lahan,” katanya. ”Karena budaya seperti itu di sini sangat kuat.”
Kepala Kepolisian Resor Indramayu, Ajun Komisaris Besar Polisi Djoko Purbo, mengaku pernah berbenturan dengan masalah luruh duit itu. ”Sangat susah jika menyangkut budaya dan orang tua yang justru menghendakinya,” katanya.
Kendati demikian, Djoko berjanji me-nerapkan Undang-Undang Pemberantasan Perdagangan Orang. Hanya, untuk sementara, ia tetap memilih pendekatan persuasif. ”Bagaimanapun, ini menyangkut masalah ekonomi rumah tangga. Jadi, harus pelan-pelan,” ujarnya.
Adapun Edward menyatakan akan memakai undang-undang ini menggasak pelaku perdagangan orang di wilayahnya. ”Undang-undang ini menerapkan hukuman yang berat. Setelah diterapkan akan menimbulkan efek jera bagi mucikari dan para bosnya,” kata Edward.
Nurlis E. Meuko, dan Ivansyah (Indramayu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo