AWAL tahun ini, meja-meja di Mahkamah Agung "bersih". Tekad ketuanya, menggusur ribuan perkara yang sudah "bulukan" di peradilan tertinggi itu (yang masuk sebelum 1981), kesampaian. Bahkan, menurut seorang hakim agung, semua perkara yang masuk 1981 pun ikut terkikis. Yang tersisa hanyalah perkara-perkara yang masuk dalam dua tahun terakhir ini. Tunggakan perkara yang menahun di Mahkamah Agung merupakan persoalan utama yang dihadapi Mudjono ketika dilantik menjadi ketua, 18 Februari 1981. "Kalau boleh membawa buldozer dan tank, akan saya gunakan untuk menggusur tunggakan perkara itu," ujar Mudjono, ketika itu. Lulusan Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM) itu mewarisi hampir 9.000 tunggakan perkara dari ketua lama, Prof. Oemar Seno Adji, yang digantikannya. Soal tunggakan itu pula yang menjadi sasaran kritik berbagai pihak terhadap Mahkamah Agung waktu itu. Tahun pertama menduduki jabatannya, Mudjono sempat kewalahan. Operasi Kikis yang dibentuknya dengan tenaga 24 hakirn agung (delapan maielis), ternyata tidak begitu mempan untuk mengikis tunggakan itu. Kedelapan majelis hakim itu hanya mampu membereskan 4.800 perkara setahun. Padahal, waktu itu, 1981, ada 5.701 perkara baru yang masuk ke Mahkamah Agung. Pada tahun itu pula, dua hakim agung meninggal dunia dan seorang lagi dimutasikan ke instansi pemerintah. Mudjono lalu mengusahakan penambahan tenaga besar-besaran. November 1982, 30 hakim agung dilantik, sehingga jumlah hakim agung menjadi 51 orang atau menjadi 17 majelis. "Itu angka keramat," ujar Mudjono, sambil menghubungkan dengan nomor mobil dinasnya B 17. Sebelum mengangkat hakim agung baru, Mudjono menarik 54 hakim pengadilan negeri, dan mengangkatnya menjadi asisten hakim agung. Ternyata, tidak percuma. Walau, Juli lalu, sempat terbaring sakit dan dirawat di Belanda, Mudjono mengumumkan bahwa tumpukan perkara di kantornya telah menipis. Sisa perkara, yang waktu itu tinggal sekitar empat ribu, dijanjikannya akan beres awal tahun ini. Sehingga, nanti pada 1986, ketika peradilan tertingi itu pindah ke gedung baru di Merdeka Utara, tidak ada tungakan perkara yang perlu diangkut. "Perara yang masuk hanya boleh sebulan mengeram di Mahkamah Agung," ujar Mudjono. Awal tahun ini, sebagian janji Mudjono itu sudah dipenuhi. Perkara yang menahun bersih sudah. Hanya tertinggal sekitar 200 perkara yang perlu dicek kembali ke pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, yang memutus sebelumnya. Belasan perkara, ternyata, . . . hilang. Untuk sukses itu, menurut Mudjono, para hakim agung benar-benar membanting tulang. Setiap majelis mendapat jatah 50 perkara per bulan. Berarti, hampir dua perkara sehari. "Tentu saja, mereka dibantu para asisten untuk membuat resume perkara," tutur Mudjono. Namun, para hakim agung itu, menurut Mudjono, bukan sekadar membubuhkan "cap jempol" pada putusan yang dibuat para asistennya. "Mereka harus baca berkas-berkasnya, walau tidak setiap baris di berkas itu harus dipelototi," kata Mudjono. Sebab, selain cepat, menurut Z Mudjono lagi, keputusan-keputusan Mahkamah Agung dalam rangka Operasi Kikis itupun harus cepat. Kesungguhan para hakim agung, sekadar contoh, terlihat tiga hari menjelang tahun baru. Ketika banyak pejabat sudah berlibur di luar kota, majelis hakim agung yang diketuai Adi Andojo Sutjipto sibuk bersidang, memutuskan perkara kasasi bekas direktur kredit Bank Bumi Daya R.S. Natalegawa. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Natalegawa dibebaskan dari tuduhan telah menerima suap dalam kasus Pluit. Pengadilan Tinggi, Oktober 1982, membatalkan putusan itu dan menjatuhkan hukuman dua tahun enam bulan penjara. Mahkamah Agung, akhir Desember lalu, walau tidak membenarkan sikap pengadilan tinggi yang menerima banding putusan bebas, tetap menghukum Natalegawa seperti putusan pengadilan banding itu. "Karena kasus korupsi, perkara itu diprioritaskan, ujar Adi Andojo Sutjipto. Selain menangani perkara-perkara prioritas itu, tentu saja, Adi dan hakim-hakim anggotanya disibukkan oleh Operasi Kikis. "Bayangkan saja, kami harus menyelesaikan 50 perkara sebulan," kata Nyonya Karlinah Palmini Achmad Soebroto, salah seorang anggota majelis. Untuk tugas berat semacam itu, kata Karlinah, dia punya cara. "Untuk perkara-perkara ringan, saya selesaikan tiga sampai empat perkara sehari. Yang berat, lebih dari sehari." Tapi, untuk mencernakan berbagai persoalan dalam waktu sehari, bukan tanpa akibat "Kadangkadang, karena pusing, saya tidak bisa lagi memahami perkara yang saya baca," ujar Karlinah. Apakah tunggakan tak bisa dicegah? Mudjono punya resep: Pembentuk undang undang harus membuat peraturan. Derkara mana saja yang bisa dimintakan banding, dan perkara mana yang bisa kasasi. Peraturan lama, yang dikeluarkan 1947, rnenyebutkan bahwa perkara perdata yang bisa banding sekurang-kurangnya bernilai Rp 200. "Nilai gugatan itu harus dinaikkan," ujar Adi Andojo. Bila tidak, menurut Mudjono, target tanpa tunggakan perkara pada tahun kedua Pelita IV mungkin tidak akan tercapai. "Sebab, bisa saja perkara yang masuk melebihi perkiraan, misalnya sampai dua puluh ribu perkara setahun," ujar Mudjono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini