Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Aset Lenyap Kurator Meradang

Kurator dan bekas Direktur Utama Batavia Air saling gugat perihal aset maskapai penerbangan itu. Kurator menuduh aset-aset itu "digelapkan".

16 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SECARIK kertas putih menempel di daun pintu sebuah rumah berpagar oranye di Perumahan Bandara Mas, Blok P, Kota Tangerang. Isinya pemberitahuan bahwa PT Metro Batavia telah pailit sehingga bangunan tersebut disegel dan dilelang kurator, tidak bisa "diutak-atik" tanpa izin mereka.

Kawasan Blok P sebelumnya merupakan mes pegawai Batavia Air, maskapai penerbangan yang dikelola PT Metro Batavia. Setelah perusahaan pailit, kawasan seluas 744 meter persegi itu kini dalam status sengketa, yakni antara bekas petinggi perusahaan Batavia dan kurator.

Mantan Direktur Utama PT Metro Batavia Yudiawan Tansari mengklaim lahan itu milik pribadi sehingga tak bisa dilelang. Sebaliknya, pihak kurator menganggap aset tersebut milik PT Metro Batavia. "Lelang atas lahan ini dilakukan pada akhir April lalu," kata juru bicara tim kurator, Turman M. Panggabean, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Perkara ini lantas "bergerak" ke meja hijau. Mei lalu, Yudiawan menggugat kurator ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Tangerang. Gugatan ini menyusul gugatan yang dilakukan kurator terhadap Yudiawan berkaitan dengan lahan dan gudang di Bandara Mas-juga terletak di Tangerang-dan bekas kantor pusat Batavia Air, "Gedung Juanda", di Jalan Ir H Juanda, Jakarta Pusat.

Gugatan atas gudang dan Gedung Juanda itu kini bahkan sudah melaju ke tingkat Mahkamah Agung.

l l l

Harapan Batavia Air mereguk untung dari bisnis penerbangan bertumpu pada pesawat Airbus A330-302 yang mereka sewa. Pesawat itu direncanakan sebagai pengangkut jemaah haji. Tapi apa boleh buat, tiga kali mengikuti tender pengangkutan haji, tak pernah sekali pun maskapai tersebut menang.

Padahal perusahaan sudah berutang besar menyewa Airbus dari International Lease Finance Corporate (ILFC), perusahaan penyewaan pesawat tersebut. Ujungnya, Batavia tak mampu membayar utang senilai US$ 4,69 juta atau sekitar Rp 45,2 miliar, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Utang sebesar itu akumulasi biaya sewa plus bunga keterlambatan pembayaran. Batavia pun "terjun bebas", bangkrut.

Maka ILFC pun mengajukan gugatan pailit. Pada 30 Januari 2013, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan, menyatakan PT Metro Batavia pailit.

Tak hanya berutang ke ILFC, Batavia juga berutang ke banyak perusahaan. Utang seluruhnya sekitar Rp 2,5 triliun. Perusahaan itu, antara lain, PT Garuda Maintenance Facility Aeroasia, Guangzhou Aircraft Maintenance Engineering Co, dan PT Jardine Lloyd Thompson. Batavia sendiri menyebut jumlah utang mereka Rp 1,2 triliun.

Hanya, persoalannya, ternyata tak mudah bagi kurator untuk melelang aset Batavia. Padahal hasil lelang penting buat membayar kewajiban Batavia kepada pihak ketiga. Ganjalan perihal aset itulah yang lantas membuat perkara ini masuk ke pengadilan.

Kurator pun lantas melacak aset Batavia. Hasilnya mengejutkan. Hampir 90 persen aset yang selama ini disebut-sebut milik PT Metro Batavia ternyata kepemilikannya atas nama Yudiawan Tansari, sang direktur utama. Aset tersebut tersebar di Surabaya, Jakarta, dan Tangerang. Meski aset menggunakan nama Yudiawan, kurator yakin aset-aset yang sebagian besar berupa bangunan itu milik perusahaan. "Sehingga seharusnya dapat dilelang," kata Turman.

Turman menyebutkan, salah satu bukti yang menunjukkan aset itu milik perusahaan adalah surat pernyataan dalam Surat Pemberitahuan Pajak dan Laporan Keuangan 2009-2010. Dokumen itu hasil audit Kantor Akuntan Publik Achmad, Rasyid, Hisbullah & Jerry. Surat bernomor 231/VI/2010 tertanggal 11 Juni 2010 ini menyatakan seluruh aktiva dan pasiva perusahaan yang dimuat dalam laporan dimiliki oleh perusahaan. Nah, salah satu aset yang disebut adalah mes karyawan di Tangerang itu. Karena itu, kurator melelang aset tersebut. "Kami juga memegang sertifikat atas lahan itu," ujar Turman.

Lelang atas lahan bekas mes itu diputuskan pada 30 April 2014. Yudiawan mengetahui rencana lelang lewat iklan di media Satelit News, Tangerang, pada 16 April 2014. Dia lantas mengirim keberatan pada 29 April 2014. Meski ada keberatan, lelang tetap dilakukan. Yudiawan pun lantas menggugat kurator serta Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang.

Kuasa hukum Yudiawan dari kantor pengacara SIP Law Firm, Tri Hartanto, menuduh pelaksanaan lelang melanggar Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Menurut Tri, lelang ini merugikan kliennya. Besar kerugian Rp 7,4 miliar. Itu nilai yang didapat dengan menghitung nilai pasar lahan di situ-sekitar Rp 10 juta per meter.

Yudiawan menunjuk lahan itu sebagai milik pribadi dengan bukti sertifikat hak guna bangunan sejak 2005. Aset itu, kata kuasa hukumnya, tak menjadi milik perusahaan karena Yudiawan sebagai pemegang saham tak pernah menyetorkan aset sebagai modal perusahaan.

Kurator sendiri mendapat sejumlah bukti sertifikat lahan-yang selama ini disebut milik Batavia-dari kantor PT Metro Batavia di kantor mereka, Gedung Juanda, di Jalan Juanda Nomor 15. Di kantor pusat Batavia Air itu terdapat boks tempat penyimpanan khusus dokumen sertifikat tersebut.

Turman menuduh Yudiawan melakukan akal-akalan demi menutupi aset perusahaan. Modusnya, agar tak bisa dilelang, aset Batavia segera dijual pada masa pailit-hal yang semestinya terlarang. "Gedung Juanda dan Gudang Bandara Mas di Tangerang dilepas ke pihak lain saat masa pailit," ucapnya.

Gedung Juanda, kata Turman, dijual Yudiawan setelah delapan hari muncul permohonan pailit. Tanah dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2257/Kebon Kelapa atas nama Yudiawan Tansari tersebut dijual kepada Rio Sulysto-tak lain keponakan Yudiawan sendiri-seharga Rp 40 miliar.

Setelah jatuh ke tangan Rio, dari penelusuran kurator, lahan di Juanda pernah ditawarkan kepada Harun Sebastian. Menurut Jocky Wongso, saksi yang dihadirkan ke pengadilan dalam kasus "gugat-menggugat kurator versus Yudiawan" itu, aset tersebut pernah hampir dilepas seharga Rp 67 miliar kepada Harun, tapi kemudian batal.

Penjualan lahan dan gudang di Bandara Mas dan Gedung Juanda yang digugat kurator sudah diputus Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Menurut Turman, sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan, transaksi yang dilakukan satu tahun menjelang pailit semestinya dapat dibatalkan.

Hanya, faktanya, hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada pertengahan Mei lalu memutus Gedung Juanda itu sah milik Yudiawan. Majelis hakim yang diketuai Aswijon menilai sertifikat yang dimiliki Yudiawan menunjukkan gedung itu milik pribadi. Atas putusan ini, para kurator pun mengajukan permohonan kasasi. Ini berbeda dengan putusan atas gudang di Bandara Mas. Hakim menyatakan gudang itu milik Batavia.

Dari penelusuran kurator, gudang yang terletak di Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang-sebelumnya sebagai gudang logistik-itu ternyata dijual ke Riana Tansari, saudara kandung Yudiawan. Transaksi penjualan terjadi pada 12 November 2012. Nilainya sekitar Rp 39 miliar. Setelah itu, Riana menjual lagi secara bawah tangan kepada Ignatius Vendy dengan nilai Rp 21,2 miliar pada 1 November 2013. "Aneh, menjual kok bisa dengan harga lebih rendah dari membeli?" ujar Turman. Soal jual-menjual ini, pengacara Yudiawan di persidangan menyatakan telah disetujui pemegang saham. Tujuannya untuk membayar utang ke Bank Bukopin.

Menurut Turman, ada dugaan Yudiawan telah menggelapkan aset Batavia dengan tujuan tak ingin aset itu dilelang. Caranya: mengalihkan kepemilikan atau menjual cepat aset tersebut.

Sebagai kuasa hukum eks karyawan Batavia, Odie Hudiyanto akan menyurati Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk meminta lembaga tersebut menelusuri kekayaan Yudiawan. "Perusahaan ini masih berutang Rp 152 miliar untuk pesangon 3.000 karyawannya," ujar Odie.

Yudiawan menolak ditemui. "Saya tak mau berkomentar," katanya lewat pesan pendek yang dia kirim kepada Tempo. Hanya, Yudiawan menekankan tak akan berhenti mempertahankan aset-aset miliknya, termasuk menggugat mereka yang menjualnya. "Gugatan lain menyusul," ujarnya.

Yuliawati, Joniansyah (Tangerang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus