Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gedung jangkung itu begitu mencolok di antara bangunan di sekitarnya. Menjulang hingga 21 lantai, terletak tepat di belakang halte bus Empang Tiga, siapa pun yang melintasi Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dengan segera bisa mengenali gedung itu. Itulah Apartemen Nifarro. Bangunan ini berdiri di antara rumah dan toko yang rata-rata hanya berlantai dua. Karena itulah Nifarro bak pohon di tengah ilalang.
Nifarro, yang diambil dari bahasa Italia yang berarti ”nuansa penuh kesegaran”, kini tengah menuju tahap akhir. Berdiri di atas lahan seluas 2,8 hektare, paling lama lima bulan lagi apartemen itu bakal rampung. Pada Oktober nanti, apartemen yang harga per unitnya Rp 350 juta hingga Rp 1 miliar itu bisa dihuni.
Nifarro memang mewah. Selain dilengkapi lapangan futsal dan pusat kebugaran, di situ tersedia fasilitas kolam renang standar Olimpiade. Apartemen ini dipasangi sistem keamanan yang menjamin penghuninya hidup tenang di kawasan Jalan Pasar Minggu, yang selalu berisik dan macet itu.
Tapi pekan-pekan ini Nifarro agaknya harus menyelesaikan dulu urusannya dengan sejumlah orang yang mengklaim pemilik lahan apartemen itu. Bukan urusan main-main karena gugatan kepemilikan itu sudah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Penggugatnya Nazarwan Chandra, yang mengaku ahli waris sang pemilik tanah. ”Kami menuntut ganti rugi,” kata Manson Lumbanraja, pengacara Chandra. Akhir April lalu gugatan itu mereka daftarkan dan pekan ini jadwal sidang perkara itu keluar.
Jumlah tuntutan yang diminta juga tak main-main: Rp 211,2 miliar. Itu meliputi ganti rugi tanah dan Rp 10 miliar ganti rugi non-material. Jumlah ganti rugi dihitung dari perkiraan harga jual tanah pada 2008, yaitu Rp 7 juta per meter persegi. Luas tanah yang digugat 28.748 meter persegi. Jumlah tuntutan ini, kata Manson, masih terhitung murah bila dihitung dengan harga tanah di kawasan tersebut saat ini, yaitu Rp 9,5 juta per meter persegi. ”Kami tak mau tamak,” kata Manson.
Nama yang mereka gugat sangat dikenal publik, yakni Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dan Ivan Yusrizal alias Irvan Gading, yang selama ini dikenal sebagai teman dekat Tommy. Lalu ada pula PT Sekar Artha Sentosa dan PT Putra Indonesia Bersama. Kedua perusahaan yang berkantor di Gedung Granadi, Jakarta Selatan, itu ditengarai milik Tommy. ”Mereka diduga memperjualbelikan sertifikat tanah palsu,” kata Manson.
Ini bukan kasus sengketa tanah pertama yang dialami Tommy. Sebelumnya ia pernah terbelit kasus tukar guling tanah Goro-Bulog pada 2000. Rebutan tanah di Pasar Minggu ini juga bukan cerita baru. Menurut Nazarwan Chandra, sejak akhir 1980-an mereka sudah berhadapan dengan putra bungsu bekas presiden Soeharto itu. Kala itu mereka menerima kabar tanah warisan itu sudah beralih nama ke orang lain. Padahal mereka masih memiliki surat tanah yang sah. ”Kami masih memegang surat resmi kepemilikan tanah itu,” kata Chandra.
Pemilik pertama tanah itu, ujar Chandra, adalah Koeroe Alimoedin, kakeknya. Koeroe seorang petani. Ia mendaftarkan tanah yang kini disengketakan itu kepada seorang notaris Belanda pada 11 April 1983. Kemudian muncullah akta verponding bernomor EV 6418 atas nama Koeroe. Verponding adalah tanah adat tapi diakui sebagai hak milik. ”Sampai sekarang akta itu masih sah,” kata Chandra.
Lalu perkara tanah ini pun satu per satu muncul. Pada 1987 seorang pria bernama Raden Mas Mohamad Prayitno Soedjono membuat sertifikat atas tanah yang selama itu hanya dipenuhi semak belukar itu. Chandra mengaku keluarga sempat kaget dengan kemunculan Soedjono. Lewat rapat keluarga dibentuklah Yayasan Al Djamien. Sebuah yayasan yang menampung keluarga besar Koeroe. Setelah itu keluarga mendatangi Soedjono, mereka menang. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan sertifikat yang dipegang Soedjono.
Tapi perkara itu rupanya tak langsung kelar. Menurut Manson, ada seseorang yang memanfaatkan sertifikat yang telah dibatalkan pengadilan itu. Lalu muncullah sertifikat atas nama Tommy Soeharto. Kemudian sempat beralih lagi ke berbagai perusahaan milik mantan pembalap nasional itu. ”Sertifikat itu tidak sah karena dibuat atas sertifikat yang sudah batal,” kata Manson.
Chandra mengaku sudah berkali-kali berusaha menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Sebagai pembina Yayasan Al Djamien, ia berkali-kali menyurati Tommy. Ia meminta bertemu untuk membicarakan proses ganti rugi. Surat-surat itu, kata Chandra, memang selalu dibalas pihak Tommy. Mereka juga terkesan beriktikad baik. ”Tapi tidak ada tindakan nyata,” kata pria berusia 60 tahun ini.
Tommy malah tancap gas dengan membangun pusat perkulakan Goro di atas tanah itu. Setelah terbakar akibat huru-hara Mei 1998, tanah itu sempat dijadikan lapangan bola oleh penduduk sekitar. Tak lama kemudian tanah itu diduduki oleh sebuah perusahaan penyedia jasa keamanan. Mereka menggunakannya sebagai tempat latihan. Pada 2009 pembangunan Nifarro pun dimulai.
Apartemen Nifarro dibangun lewat PT Sekar Artha Sentosa milik Tommy. Konsultan hukum perusahaan itu, Krisna Hernandi, belum mau bicara tentang gugatan ini. Ia beralasan gugatan itu belum resmi. ”Kami masih belum bisa berkomentar,” katanya.
Yayasan Al Djamien bukan hanya mengarahkan sasarannya ke Tommy, Ivan Gading, dan perusahaan milik mereka yang membangun apartemen itu. Mereka juga membidik Suku Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan (Sudin P2B) Jakarta Selatan. Menurut Manson, Sudin P2B bertanggung jawab karena telah mengeluarkan izin pembangunan apartemen itu. Padahal apartemen itu berdiri di atas sertifikat tanah yang tidak jelas.
Kepala Suku Dinas P2B Jakarta Selatan Widyo Dwiyono menyebut izin yang mereka keluarkan sudah sesuai dengan prosedur. Pihaknya, ujar Widyo, telah menerima sertifikasi tanah yang sah dari Badan Pertanahan Nasional. Uji analisis mengenai dampak lingkungan telah dipenuhi, termasuk surat pemanfaatan air tanah, dan izin prasarana dari Dinas Pembangunan Umum pun sudah ada. ”Secara regulasi izin apartemen itu sudah sah,” kata Widyo.
Chandra menegaskan, ia akan menuntut keadilan karena ia yakin Tommy mendapat tanah itu dengan cara tak benar. Ia mempersoalkan Tommy yang tak juga mau menyelesaikan urusan tanah ini dan hanya menebar janji, sementara apartemen itu kini semakin kukuh dan segera beroperasi. ”Mereka hanya berjanji dan tak pernah menepati,” kata Chandra.
Mustafa Silalahi, Sandy Indra Pratama
Ada Koeroe, Goro, lalu Nifarro
Mereka, pembeli apartemen Nifarro, bisa jadi tak bakal bisa tenang jika perkara sengketa ini bergulir di pengadilan. Merasa tanah itu tanah moyang mereka—dengan bukti di tangan—para ahli waris Koeroe, pihak yang mengaku pemilih sah, meminta lahan itu dikembalikan ke mereka.
1852
Notaris Anton Ferdinand Lens menerbitkan akta tanah seluas 2,8 hektare di Jalan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, atas nama Koeroe Alimoedin, dengan nomor akta EV 6418.
1987
Muncul sertifikat tanah atas nama Raden Mas Mohamad Prayitno Soedjono, yang mengklaim pemilik tanah itu.
1988
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan lewat putusan bernomor 402/Pdt/P/1998/PN.Jak.Sel membatalkan sertifikat atas nama RM Mohamad Prayitno Soedjono. Kemudian mengembalikan tanah ke Yayasan Al Djamien, milik para ahli waris Koeroe.
1989
Muncul sertifikat-sertifikat asli tapi palsu untuk tanah tersebut. Yayasan Al Djamien sempat mengadu ke Markas Besar Kepolisian.
1990
Pecah konflik antara keluarga ahli waris dan aparat gabungan TNI serta polisi di atas tanah itu. Tak lama, papan bertulisan ”Tanah Milik Yayasan Bhakti Putra Bangsa” berdiri di atas tanah tersebut.
1995
Presiden Soeharto meresmikan pusat perkulakan Goro, yang berdiri di atas tanah itu. Acara ini turut dihadiri Hutomo Mandala Putra dan Irvan Gading. Tiga tahun kemudian gedung ini terbakar.
2009
Pengembang mulai membangun Apartemen Nifarro di atas tanah itu.
21 April 2011
Yayasan Al Djamien mendaftarkan gugatan tanah itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo