Luthfi Assyaukanie *)
*) Pengajar sejarah pemikiran Islam di Universitas Paramadina Mulya, Jakarta
AKHIRNYA, Senin, 30 Juli lalu, Nawal Saadawi divonis bebas oleh pengadilan Mesir. Dengan mata berbinar, wanita berusia 70 tahun itu berteriak lantang: "Kemenangan ini untuk kebe- basan berpikir dan berekspresi." Setelah memakan waktu lima bulan, pengarang novel terkenal Woman at Point Zero itu kini bisa bernapas lega. Sebab, dengan keputusan itu, ia dapat mempertahankan tali perkawinan yang dirajutnya selama 37 tahun bersama suaminya, Sherif Youssef Hetata, yang juga seorang novelis dan dokter.
"Aku dan suamiku merasa bahwa kami dapat mengatasi cobaan berat ini lewat resistansi, ketabahan, dan penolakan terhadap mentalitas abad kegelapan," ujarnya beberapa saat setelah keputusan bebas itu dikeluarkan.
Ancaman utama dalam pengadilan itu adalah penceraian paksa Saadawi dari suaminya. Tuduhan apostasi atau penghinaan terhadap Islam yang dialamatkan kepadanya memang bisa memisahkannya dari suaminya karena, dengan tuduhan itu, Saadawi dianggap telah keluar dari Islam (murtad).
Saadawi dianggap murtad karena dalam wawancaranya dengan sebuah mingguan, aktivis feminis itu dituduh menghujat Islam dengan mengatakan bahwa "haji adalah warisan jahiliah". Saadawi mengklarifikasi bahwa pernyataannya itu tidak seperti yang dimaksudkan para ulama. Lewat sebuah proses panjang, akhirnya Saadawi di- bebaskan.
Dengan kemenangan kasus itu, pengadilan Mesir, sekali lagi, memenangkan tertuduh kasus apostasi. Lima tahun silam, pengadilan itu juga memvonis bebas Dr. Nasr Hamed Abu Zeid karena kasus serupa. Abu Zeid saat itu juga terancam dicerai paksa dari istrinya karena tuduhan telah melecehkan Islam lewat tulisan-tulisannya. Hanya, pada saat keputusan dijatuhkan, pakar bahasa Arab dan ilmu-ilmu Alquran itu telah hijrah ke Belanda bersama istrinya akibat mendapat perlakuan kasar dan ancaman dari masyarakat Mesir.
Apa yang bisa dipetik dari pengalaman sekaligus kemenangan dua kasus yang menyangkut Islam dan kebebasan berpendapat itu? Saya memiliki tiga catatan penting. Pertama, bahwa persoalan kebebasan berpendapat di negara-negara muslim masih menjadi momok menakutkan. Sejak kasus Salman Rushdi dengan Ayat-Ayat Setan-nya, pendulum Islam terhadap berbagai kebebasan berpendapat tampak semakin keras berputar ke arah resistansi dan ke- kerasan. Para ulama dan tokoh agama—mungkin mengikuti jejak Khomeini—menjadi sangat mudah menuduh orang sebagai "murtad" atau "kafir" jika orang tersebut dianggap memiliki pendapat berbeda, khususnya menyangkut soal-soal agama.
Pelabelan "murtad" atau "kafir" itu tidak berhenti sampai di situ saja, tapi diikuti dengan tindak sewenang-wenang atau kekerasan yang dilakukan tanpa proses hukum yang jelas. Seorang muslim dengan sangat mudah menusuk seorang muslim lainnya hanya karena muslim yang pertama mendengar dalam sebuah khotbah Jumat bahwa orang yang ditikam itu dianggap "murtad".
Itulah yang terjadi dengan Naguib Mahfouz, peraih hadiah Nobel dalam bidang sastra, beberapa waktu lalu. Novelis piawai ini hampir menemui ajalnya ketika ditikam seseorang yang mengaku baru saja mendengar di masjid bahwa seorang khatib Jumat menganggap Mahfouz telah "murtad" dan darahnya halal.
Kedua, penyelesaian terhadap kasus-kasus apostasi ke meja hijau adalah jalan keluar terbaik. Dengan mengambil langkah ini, seorang tertuduh akan merasa terlindungi dari potensi kekerasan yang diakibatkan oleh "fatwa" semena-mena para tokoh agama. Sebab, kerap terjadi, kasus-kasus apostasi yang tidak memiliki penyelesaian di pengadilan berakhir dengan kekerasan, bahkan kematian.
Mesir memiliki contoh sangat kaya tentang kasus-kasus semacam itu. Yang paling tragis adalah tewasnya Dr. Faraj Fouda, kolumnis yang dikenal lantang mengkritik kelompok-kelompok Islam garis keras, pada 1992. Fouda ditembak mati oleh seorang aktivis Islam yang mengaku mendapat "fatwa" bahwa membunuh Fouda adalah perbuatan yang akan mendapatkan pahala besar.
Dalam sebuah negara yang memiliki hukum dan undang-undang, wewenang dalam persoalan-persoalan legal berada di tangan para hakim dan jaksa. Ikut campurnya lembaga-lembaga agama dalam menghukum atau menilai seseorang, apalagi dengan penilaian yang dapat merugikan hak seseorang, hanya akan mendorong kekacauan dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum.
Ketiga, kasus-kasus menyangkut kebebasan berpendapat kerap kali dicampuradukkan dengan kasus-kasus kebebasan berekspresi. Saya melihat bahwa ada perbedaan mendasar antara dua hal ini. Kebebasan berpendapat adalah hak setiap individu. Tak ada larangan bagi setiap orang untuk memiliki pendapatnya. Bahkan Tuhan pun tak bisa mencegah seseorang berpendapat (QS 2:30), apalagi nabi atau para ulama. Setiap orang boleh memiliki kebebasan berpendapatnya masing-masing, tentang apa pun dan seliar apa pun. Hal itu karena kebebasan berpendapat merupakan anugerah Tuhan dan properti manusia yang paling berharga.
Sementara itu, kebebasan berekspresi adalah persoalan menyangkut urusan cara dan metode yang implikasinya bisa diatasi lewat jalur hukum yang telah diatur oleh negara. Seseorang yang dianggap melanggar cara-cara berekspresi akan berhadapan dengan undang-undang yang diterapkan negara, bukan dengan ulama atau tokoh agama apa pun.
Pengadilan Mesir ini telah memberi kita contoh yang sangat bagus tentang bagaimana sebuah kasus apostasi, yang kerap berakhir dengan kekerasan, bisa diselesaikan dengan baik lewat perangkat hukum yang disediakan oleh negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini