Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tragedi di kebun karet

Lima perampok membantai keluarga daulat dan kamilah serta 4 anaknya, juga ia membakar gubuk mereka di Sappilpil, Sum-ut. tersangka, ardus, diringkus polisi. gara-gara kamilah ingin membeli mobil.

25 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI itu, ada lima mayat yang hangus terpanggang. Sesosok mayat laki-laki dewasa dalam posisi memeluk bayinya. Selebihnya, seorang wanita dewasa dan tiga anaknya berserakan di sana sini dengan tubuh rusak bekas dibantai. Pemandangan itu ditemukan penduduk di puing sebuah gubuk yang hangus terbakar. Peristiwa yang terjadi Sabtu dua pekan lalu itu nyaris raib kalau tak ada seorang penduduk, Ardus namanya, tergopohgopoh lari ke Dusun Sappilpil, Parimburan, di Labuhan Batu, Sumatera Utara. "Gubuk Daulat terbakar, terbakar," pekiknya. Laporan Ardus ini cepat merebak. Kemudian, penduduk berduyun ke gubuk Daulat di tengah kebun karetnya, tiga kilometer dari dusun itu. Di tengah jalan mereka dihentikan suara mengaduh-aduh. Ternyata suara itu berasal dari Kumpul Siregar, 10 tahun, yang kesakitan dan bersimbah darah di semak-semak. Kepala dan tubuhnya penuh bacokan. Ketika Kumpul dilarikan ke Puskesmas terdekat, nyawanya tidak tertolong. Sebagian penduduk meneruskan perjalanan ke gubuk Daulat. Mereka menemukan keluarga itu hangus terpanggang. Sebelum meninggal, dalam suara pedih, Kumpul menceritakan tragedi yang menimpa paman dan bibinya, Daulat dan Kamilah, serta keempat anak-anaknya. Yang sulung berusia enam tahun, sedangkan si bungsu masih bayi tujuh bulan. Dari mulut Kumpul juga diketahui bahwa perbuatan sadis itu dilakukan oleh lima orang -- tiga di antaranya mengenakan topeng. "Jika Kumpul dijumpakan dengan seorang pelaku tidak bertopeng itu, ia pasti ingat ciri-ciri tubuhnya," kata Amas Muda Siregar kepada TEMPO. Kepala Desa Parimburan ini sempat mengutip cerita dari Kumpul sebelum ia meninggal. Malam itu, Kumpul tidur di loteng gubuk. Menjelang pagi, ia terbangun mendengar suara kobaran api. Begitu turun ia melihat keluarga pamannya tergeletak berlumuran darah di lantai. Semula ia berniat lari, tapi gagal karena empat penjahat itu menebasi kepala dan tubuhnya hingga Kumpul roboh tak sadarkan diri, sampai ketika ia merintih dan ditemukan penduduk. Polisi yang memasang kuping di seantero desa segera mencurigai Ardus. Seorang penduduk mengatakan, sepekan sebelumnya Kamilah memesan pada Ardus mencari sepeda motor bekas untuk dibelinya. Menurut polisi, Ardus beranggapan Kamilah punya sejumlah duit. Karena itu ia ingin merampoknya. Kecurigaan polisi kian kuat karena terbakarnya gubuk Daulat itu justru diketahui penduduk dari Ardus sendiri. Hari itu juga Ardus diringkus. Dalam pemeriksaan polisi, ia mengaku. Berikutnya giliran empat temannya, Tamtam, Juar, Ali Muda, dan Barani Rambe, menyusul ditangkap polisi. Menurut versi Polres Labuhan Batu, dari pengakuan lima tersangka, ternyata perampokan itu mereka rencanakan sebelumnya. "Ia mau beli sepeda motor, jadi kita rampok saja," kata Ardus, seperti dikutip Kapolres Labuhan Batu, Letnan Kolonel Rukmanto. Karena rumah Daulat itu gubuk, mereka dengan mudah masuk. Daulat, 34 tahun, yang tidur pulas, dibangunkan Tamtam. Melihat parang berkilat di tangan Tamtam, Daulat kecut. Ia terpaksa memberikan duit Rp 450 ribu, setelah diancam Tamtam. Uang itulah rencananya untuk membeli sepeda motor. Ketika Daulat hendak memberi uang itu, Kamilah terbangun dan spontan menjerit. Mungkin karena panik, kelima penjahat itu mengayunkan parang ke tubuh suami-istri dan anak-anak mereka hingga tewas di tempat. Kemudian, para perampok membakar gubuk itu. Minyak lampu teplok yang menyala ditumpahkan Tamtam ke dinding. Ketika api mulai menjilat dinding, Kumpul turun dari loteng hingga kepalanya dibacoki para penjahat itu. Menurut Rukmanto, Tamtam adalah buronan polisi. Kamilah dikenal sebagai Kepala SD Sappilpil yang ramah. Daulat bertugas sebagai penjaga SD di sekolah Kamilah. Dua tahun lalu, mereka membeli dua hektare tanah dan ditanami karet. Sejak itu, keluarga ini juga suka tidur di gubuk kebun itu, tiap malam Minggu. Tapi, siapa sangka bencana itu kemudian menimpa mereka sekeluarga. Bersihar Lubis dan Affan Bey Hutasuhut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus