PERANG melawan kejahatan dan bandit sedang dilakukan lewat berbagai operasi. Ada yang setuju penjahat didor, mengulang seperti aksi petrus tempo hari. Ada pula yang keberatan. Bagaimana solusi yang tepat agar akar permasalahan kejahatan dengan kekerasan terbasmi? Berikut rangkuman pendapat kriminolog, tentara, polisi, pamong, bekas tokoh preman, dan jawara. Koesparmono Irsan Deputi Kapolri Bidang Operasi berpangkat mayor jenderal ini dikenal sebagai orang lapangan. Ia tergolong sosok yang lengkap pengalaman. Bagaimana ia memandang tingkat kejahatan, berikut ini petikan wawancaranya dengan Wahyu Muryadi dari TEMPO: Usaha represif yang kami lakukan ini untuk mengurangi jumlah faktor korelatif kriminogen. Yakni terhadap faktor-faktor yang mendukung terjadinya kejahatan. Antara lain minuman keras dan senjata tajam. Jadi, tak langsung kepada penjahatnya. Dan jangan salah tangkap, mengira seolah-olah ABRI menangani kejahatan. Kami tidak pernah menjalankan apa yang kalian namakan petrus. Gaya lama atau gaya baru. Kalau toh kami harus menembak, tidak semena-mena. Ada syaratnya. Pertama, sifatnya melumpuhkan. Kedua, harus sesuai dengan prosedur hukum yang ada. Ketiga, tidak bersifat sadistis. Dan jangan sampai penjahatnya menyerah malah ditembak. Setiap polisi harus bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Jika tidak, ia bisa dihukum. Contohnya ada. Dari 48 kasus penjahat yang ditembak di seluruh Indonesia selama tahun 1993, kalau tidak salah ada tiga atau empat polisi yang dihukum. Jadi, tidak ada petrus itu. Makanya kami gelar sejumlah target operasi di berbagai Kepolisian Daerah (Polda). Kemudian dibikin kesepakatan bersama: Polda se-Jawa, Nusa Tenggara dan Sumatera Bagian Selatan, serta Denpasar. Contohnya, di Aceh dilakukan operasi narkotik. Operasi pencurian kendaraan bermotor di Sumatera Bagian Selatan. Penyelundupan di Medan dan Riau. Sasaran jadi terfokus. Tidak semuanya dipusatkan di Jawa. Cuma di Jawa diberikan penekanan, mengingat penduduknya besar dan angka kriminalitasnya tinggi. Pokoknya, kami menciptakan kondisi aman. Terhadap kriminalitas faktual, kami bertindak sesuai dengan hukum. Siapa pun yang melanggar hukum, ia tetap salah. Jika ditemukan banyak mayat di mana-mana, mungkin mereka dibunuh oleh pembunuhnya sendiri dan belum tentu yang mati itu penjahat. Kami, sekali lagi, tidak menggunakan teknik yang dilakukan petrus. Kami justru berbuat ini untuk melindungi hak asasi manusia. Orang dicolong kan hak asasinya diganggu. Orang banyak bicara hak asasi, tapi hak asasi penjahat atau tertuduh yang tertangkap, belum bicara tentang hak asasi korban. Contoh, kalau ada orang membunuh orang lain, pembunuhnya tertangkap lalu dihukum. Dalam penjara dikasih makan, minum, diberi baju, diobati, diberi macam-macam keterampilan, tapi si korban siapa yang mikirin? Kalau yang dibunuh suami, lha, si istri bagaimana menghidupi anak-anaknya? Sekali lagi, kami tidak ingin menggelar kasus yang melanggar hak asasi, yang sifatnya balas dendam. Polisi harus netral. Tidak bisa lantas, wah, karena dia telah membunuh ini, ayo, kita habisi rame-rame. Kita ini di negara hukum, bukan negara kekuasaan, bukan negara koboi kayak di kota Tombstone itu, bukan juga pistol-gun-law. Tak semudah itu orang cabut pistol. Juga harus diingat motto polisi. Pertama, kami memerangi kejahatan, bukan memerangi penjahat. Kedua, love humanity, cintailah kemanusiaan. Ketiga, keep them out of jail. Polisi yang paling berhasil bukan yang paling banyak memasukkan orang ke penjara, tapi yang sebanyak-banyaknya mampu mencegah orang masuk penjara. Keempat, help delinquent, tolonglah yang tersesat. Tidak semua orang senang berbuat jahat, mungkin terpaksa. Alhamdulillah, kalau mendengar nama operasinya saja, mereka sudah takut. Supaya ada image menakutkan, meski faktanya tak begitu. Ada Operasi Sapu Jagat, lalu semua menyerahkan senjata. Ketakutan. Syukurlah. Kami tidak harus bertindak. Kalau sudah digituin, Anda masih action juga, ya sudah. Dan gayung pun akan bersambut. Muzani Syukur Berpangkat mayor jenderal. Kini Panglima Daerah Militer Siliwangi sekaligus Ketua Bakorstanasda Jawa Barat. Berikut petikan wawancaranya dengan TEMPO pekan lalu di Jakarta: Kami mulai melakukan Operasi Sapu sejak 17 April lalu, selama 90 hari. Ini ditangani sekitar 7.000 personel yang di-back-up 30 juta rakyat Jawa Barat. Ada sejumlah alasan, mengapa ini dilakukan. Pertama, kurangnya kepedulian masyarakat dalam menanggulangi tindak kejahatan. Pernah terjadi, ada perampokan di lima rumah sekaligus di sebuah kampung, tapi tidak ada perlawanan dari masyarakat. Tingkat kejahatan makin meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Masyarakat ketakutan, tanpa perlawanan, karena daya tangkalnya tidak ada. Banyak yang menyangka, seakan untuk melawan kejahatan, tugas polisi semata. Makanya, pola operasi kami harus meningkatkan kepedulian masyarakat. Perlawanan terhadap kejahatan ini bukan tugas polisi semata, tapi tugas masyarakat. Akar-akarnya juga kami berantas. Jika ada pabrik yang memproduksi minuman keras, yang melanggar perundang-undangan, pabriknya harus ditutup. Pengamatan terhadap penjahat kambuhan juga dilakukan. Itu membantu polisi. Tidak ada pengambilalihan tugas polisi. Apa pun yang membahayakan, kami sikat, tentu melalui prosedur hukum. Kami hanya ingin supaya semua ini berjalan sesuai dengan fungsi masing-masing. Dan polisi tetap di depan. Ada tiga pola operasi. Pertama, fungsional, dengan menghidupkan semua jajaran menurut fungsinya, yang di-back-up masyarakat. Kedua, pola keterpaduan antara semua pihak terkait, inilah yang kami jalankan sekarang. Ada lagi pola khusus, yakni dibentuknya satuan tugas, ada tim-tim tertentu untuk pengambilalihan tugas. Itu belum terjadi. Jadi, yang kami upayakan sekarang meningkatkan semangat perlawanan masyarakat. Hasilnya: kami peroleh satu juta botol minuman keras yang dijual tanpa izin. Juga 17 pucuk senjata api berbagai jenis. Mayor Jenderal Soejono Selain Jawa Barat, Jawa Tengah juga menjadi daerah persembunyian bandit-bandit yang sedang diuber petugas Operasi Bersih di Jakarta. Langgam alon-alon waton kelakon tetap diterapkan. Tapi jangan mengira mereka bisa lepas dari tangan aparat di Jawa Tengah. "Ini kalau penjahat tersebut lari ke Jawa Tengah," ujar Soejono. Bagaimana kiat Panglima Daerah Militer Jawa Tengah ini menghadapi bandit yang merembes ke wilayahnya dan bandit lokal, inilah petikan wawancara Diah Purnomowati dari TEMPO: Instruksi dari pusat jelas: siap siaga. Itulah yang kami lakukan. Caranya mungkin berbeda dengan daerah lain, karena keadaan masyarakatnya berbeda. Kita nggak bisa disamakan dengan cara Pak Hendro (Pangdam Jaya). Jadi, ya, cara Jawa Tengah-lah. Jawa Tengah itu maunya alon-alon tapi pasti. Dan tidak menimbulkan gejolak. Yang saya lihat begitu di Jawa Tengah, ya, saya ikuti. Itu saya rasakan efektif. Kalau ada yang macam-macam, dan sudah di luar garis, ya, saya hantam. Saya tekankan pada anak buah: "Anda boleh tebar karpet berpaku kalau anak-anak itu nakal. Tapi berikan tanda dilarang masuk sebelumnya." Itu aspek hukumnya. Kalau mereka keras, Anda tidak keras, ya, dilecehkan. Ini sama saja seperti orang berkelahi, kalau kita tampil meyakinkan, lawan tidak akan berani maju. Perintah siaga pada penjahat itu sekitar sebulan lalu, setelah kejahatan meningkat. Tapi, petrus tidak ada. Kita memang sudah diperintahkan disiplin mana yang boleh ditembak, mana yang tidak boleh, dan mana yang harus. Kalau boleh itu harus bagaimana? Mula-mula ada peringatan tembak, lalu ditembak yang tidak fatal, baru kemudian yang fatal. Kita harus hati-hati, harus melihat aspek hukumnya. Kalau dulu, nggak ada masalah. Bagi para gali yang membangkang, kita anggap di luar sistem dan melawan hukum, maka apa salahnya kita menyembuhkan penyakit itu. Tentunya dengan catatan: mana yang boleh dioperasi, mana yang harus, dan mana yang tidak boleh. Soal gali di Yogya yang membangkang dulu (zaman petrus di tahun 1983-1984) lebih baik dilawan dengan gali. Ternyata, itu lebih efektif. Itu hukum alam. Seperti hukum alam: nyamuk dimakan dengan predator. Haji Moh. Hasbi Dialah momok bagi para gali di Yogyakarta, saat penembak misterius beraksi. Waktu itu, tahun 1983-1984, Hasbi menjabat Komandan Kodim dan Kepala Staf Garnisun Yogyakarta. Kini, Hasbi adalah Bupati Boyolali, Jawa Tengah, dalam jabatan periode kedua. Jumat dua pekan lalu, tokoh yang kalem dan tegas ini membuka kiatnya memerangi kejahatan kepada Kastoyo Ramelan dari TEMPO. Petikannya: Dulu, saya memberantas kejahatan dengan prinsip, konsep, teknis, dan keimanan. Semua itu diperlukan supaya kita tidak goyah. Tidak ragu-ragu lagi. Soalnya, pada tahun 80-an, gali- gali di Yogya dalam tahap punya posisi sebagai raja. Kekejamannya melebihi batas perikemanusiaan. Lalu, saya menginventarisasi tokoh gali, sekaligus mendata tindak kejahatannya. Saya kumpulkan mereka, sambil makan-makan. Saya rangkul, saya beri nasihat dan pengarahan. Jika masih nekat, saya berjanji akan saya sikat. Hasilnya, ada yang patuh dan ada yang nekat membrutal. Saya konsisten. Kemudian, yang membrutal, ya, tetap kami sikat. Sebenarnya, tindakan kami dulu tidak begitu cocok dengan istilah petrus. Sebab, tindakan kami tidak hanya main sikat, tapi melalui proses. Ada evaluasinya. Staf saya gabungan dari berbagai instansi. Setelah berdiskusi cermat, tokoh yang jadi sasaran utama untuk disikat kami kuntit. Jika ia berbuat kejahatan, kami tumpas. Kalau ia melawan, kami sikat. Memang ada anak buah saya yang ragu. Saya bilang, "Tak perlu ragu. Dosamu aku yang tanggung." Saya sendiri tidak ragu. Sebab, hal itu saya lakukan demi keamanan negara dan masyarakat. Saya selalu berpikir dan berperasaan lurus kepada Allah. Juga, saya tidak takut akan ada ancaman atau balas dendam, sampai sekarang. Kalau saya renungkan, memberantas kejahatan itu, pertama harus ajek. Jangan berhenti di tengah jalan. Kedua, lebih dulu diadakan dialog, pembinaan, dan penyadaran. Ketiga, harus tegas bila melihat tindak kejahatan. Bila tiga unsur ini ditinggalkan salah satunya, bisa tidak jalan. Gagal. Sekali lagi, jika kejahatan muncul melebihi ambang batas, jangan ragu, pukul. Setelah itu, cepat beri pengarahan pada mereka. Satu lagi, jangan mundur hanya karena tawaran uang dan wanita. Oh, ya, di Yogya dulu, tiba-tiba datang seorang wanita cantik ke Kodim. Ia mengajak makan, jalan-jalan, dan mengaku mau menulis tentang kejahatan. Ia berjanji mau mengajak rileks di hotel. Jawab saya, "Tubuh Anda, bicara Anda memenuhi syarat. Tapi sayang tidak cocok untuk saya." Kalau saya melayani wanita cantik itu? Pasti saya ganti digerebek, atau paling tidak diperas: untuk menghentikan pemberantasan kejahatan. Mulyana W. Kusuma Kriminolog ini mencatat bahwa penembakan terhadap penjahat bukan dilakukan baru-baru ini saja. "Dalam catatan saya, ada 132 pelaku kejahatan yang tewas tertembak dalam tiga tahun ini di seluruh Indonesia. Di Jakarta, di Kepolisian Sektor Tambora, selama tahun 1993 lalu yang tertembak sudah mencapai 50 orang," katanya. Tambora adalah daerah paling rawan di Jakarta. Jadi, kebijaksanaan untuk melakukan penembakan itu sudah berjalan. Hanya saja, bentuk yang sekarang ini baru diketengahkan secara resmi dalam rangka operasi memberantas kejahatan. Mulyana melihat bahwa policy semacam ini, dilihat dari beberapa segi, mengandung kelemahan. Apa saja kelemahan itu, inilah petikan wawancaranya: Kelemahan itu, menurut saya, pertama tidak memperkuat institusi-institusi, pranata-pranata peradilan sendiri. Padahal, untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kejahatan justru harus diperkuat pranata peradilan pidana. Misalnya, mengembangkan teknologi kepolisian untuk mengungkapkan kejahatan dan lebih meningkatkan profesionalisme kepolisian. Kedua, kalau memang betul Indonesia masih menegaskan komitmen menuju proses hukum yang sesuai dengan acara pidana, maka cara ini merupakan pelanggaran komitmen kita untuk membangun suatu negara hukum yang mengindahkan prosedur hukum. Ketiga, kebijakan-kebijakan yang parsial ini tidak menjawab dan mengatasi akar masalah kejahatan secara menyeluruh. Contoh, Operasi Bersih dan operasi minuman keras. Ini mustahil dilakukan hanya lewat operasi semacam ini. Sebab, minuman keras terkait dengan soal perizinan di Departemen Perindustrian, terkait dengan lembaga-lembaga pengawasan departemen yang seharusnya bertanggung jawab terhadap distribusi minuman keras. Saya pernah mengusulkan, kalau memang ada peningkatan intensitas dan frekuensi kejahatan, mungkin bisa dipikirkan membentuk suatu badan penanggulangan kejahatan yang terpadu. Ini bukan sesuatu yang asing. Presiden pernah membentuk Badan Koordinasi Pelaksana (Bakolak) Inpres VI Tahun 1971 untuk mengatasi kejahatan yang dianggap menonjol seperti kenakalan remaja, narkotik, dan uang palsu. Apa kelebihannya? Pelaku kejahatan akan lebih tertahan untuk berbuat kejahatan baru karena melihat kekerasan yang dilakukan pada mereka. Itu di satu sisi. Di sisi lain juga bisa menimbulkan reaksi balik. Pelaku kejahatan akan cenderung melakukan kekerasan yang berlebih sebagai simbol perlawanan terhadap kekerasan yang dialami oleh komuniti mereka. Buntutnya, pelaku kejahatan terlihat makin berani dan sadistis bila melakukan kejahatan. Itu karena mereka berhadapan dengan reaksi sosial yang makin keras, baik dari masyarakat maupun penegak hukum. Adapun meningkatnya kekerasan berkait dua hal. Pertama, yang ada dalam kelompok mereka sendiri, yaitu untuk menegaskan kelompoknya. Kedua, berkait dengan budaya kekerasan yang tumbuh di masyarakat. Budaya kekerasan dalam masyarakat sekarang makin tinggi, misalnya bentuk-bentuk agresivitas kolektif. Ambil contoh polisi salah tangkap. Akibatnya, sebuah Polsek di Indramayu diserbu masyarakat. Saya melihat ada perubahan signifikan atas terjadinya kekerasan, baik yang dilakukan pelaku kejahatan maupun oleh mereka yang bukan penjahat. Dari pihak polisi, ada pula kelambanan dalam proses pengungkapan kejahatan. Misalnya, peralatan laboratorium kriminal yang belum memadai. Juga soal profesionalisme. Peningkatan kemampuan dan kecepatan polisi dalam mengungkapan kejahatan juga punya pengaruh untuk menekan angka kejahatan. Yan Paruhum Lubis Oleh kalangan preman di Medan ia biasa dipanggil Ucok Majestic atau Ucok Kocu. Ucok memang menjadikan Bioskop Majestic untuk mengkoordinir pencopet, perampok, dan tukang catut Medan. Sekitar setahun bioskop itu dijadikan basisnya, dan tak pernah memutar film. Petulangan Ucok dilakukan sejak 1960-1980-an. Kini Ucok, 57 tahun, sudah pensiun dari preman. Ia menjadi kontraktor kecil-kecilan. Buntut pergaulan itu, ia masuk sel berkali-kali. "Saya masuk sel karena membela anak buah," katanya. Misalnya, karena menghajar seorang polisi militer yang telah melibas seorang anak buahnya, yang menjadi catut di bioskop. Ia tidak rela anak buahnya jadi bulan-bulanan aparat. Ketokohan dan nostalgia ayah enam anak (seorang di antaranya sarjana) ini tetap menjadi kebanggaan. Ia mengaku lebih bangga lagi karena seorang anak buahnya, Zulkifli Harahap, menjabat Wali Kota Pematangsiantar. "Saya senang bekas preman menjadi wali kota, daripada mantan wali kota masuk penjara," katanya tertawa. Inilah petikan wawancara Ucok dengan wartawan TEMPO Sarluhut Napitupulu dan Munawar Chalil di Medan. Menembak mati bandit, bagi saya, bukan cara menyelesaikan masalah. Kita kan negara hukum. Apalagi, tidak semua preman itu orang jahat. Pemerintah seharusnya tidak hanya melihat ekses premanisme saja. Tapi, lihatlah, mengapa orang menjadi preman. Orang jadi preman itu karena tidak tahu harus ke mana untuk menyumpal perutnya. Dalam posisi jobless itu, agar perut tidak terancam, mereka sering memakai cara ala preman. Ini terpaksa. Ala preman itu jalan pintas. Anak buah saya dulu sebagian besar adalah orang baik-baik, yang ingin mencari nafkah secara baik-baik pula. Hanya, mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk berbuat baik. Akibatnya, mereka melakukan apa saja untuk mencari sesuap nasi. Preman di terminal berbeda dengan preman binaan saya. Yang di terminal itu rata-rata sudah putus sekolah. Sedangkan preman bioskop umumnya masih pelajar. Lalu jadi catut karena kemampuan orang tuanya terbatas. Saya mengkoordinir preman ini agar tidak berbuat hal yang berbau pidana. Tahun 1961 saya diangkat menjadi Ketua Kubu Pemuda Pancasila Sumetera Utara. Pada masa saya, istilah pemerasan tidak ada. Dan saya tidak pernah menjadi beking Cina. Dalam pandangan saya, jadi bandit lebih terhormat daripada koruptor. Jika preman beraksi paling banter satu atau dua orang yang dirugikan. Tapi, kalau koruptor, negara bisa dibikin bangkrut. Lihat saja Eddy Tansil. Jika ada hukum yang menyatakan boleh tembak mati, saya minta koruptor atau preman berdasi itu yang harus ditembak mati. Tapi, tembak di tempat itu tak akan mengurangi tindak kejahatan. Akar masalah munculnya preman adalah soal kesempatan dan lapangan kerja, serta gaya pemerintah membimbing pemudanya. Jangan lantas siang-malam pengangguran itu dituding malas. Juga jangan terus-menerus mencap mereka tidak punya pendidikan. Jadi, coba berikan jalan keluar, apa yang mesti mereka kerjakan. Kepastian hukum memang mempengaruhi perkembangan preman. Bandit semakin tak terkendali. Contohnya, polisi menangkap penjahat. Gayanya adalah: dipukuli dulu, baru diperiksa. Ini kan tidak benar. Dulu, kalau ada yang digebuki, sebatas pada bandit yang sudah jadi langganan penjara. Jika bandit baru pertama kali gol (masuk sel), diperlakukan manusiawi. Begitu juga soal polisi main tembak. Dulu, bandit yang benar- benar melawan petugas baru didor. Sekarang, saya ragu apakah benar bandit itu melawan petugas lantas ditembak. Jangan- jangan, disuruh lari, baru ditembak. Djadjat Kusumadinata Namanya pernah menggetarkan kalangan dunia hitam dan putih di Kota Bandung, pada 1970 hingga 1980-an. "Ah, itu kan penilaian orang luar saja. Hakikat hidup saya adalah kasih sayang," kata Djadjat, 48 tahun. Di rumahnya di Jalan Karasak 23, tergantung papan nama berguruan silat Paguron Tadji Malela. Ia memang ketua sekaligus guru besarnya. Perguruan itu didirikan pada 17 Agustus 1974. Kini, muridnya mencapai 80.000 orang, tersebar di Jawa Barat, dan ada juga di Australia dan Skotlandia. Di samping sebagai guru silat, ia juga mengajar nyanyi. Ia show di pub-pub, dan sudah memiliki 16 album rekaman. Berikut petikan wawancara Djadjat Paramor, begitu ia dikenal, dengan wartawan TEMPO Ahmad Taufik: Saya memang ditakuti oleh orang yang salah. Tapi sebenarnya saya tidak jahat. Saya bukan mafia, dan bukan mengorganisasikan kelompok seperti mafia. Saya ini cinta damai, cinta ketenangan. Saya menganut sifat kesatria. Kalau ada yang perlu saya hadapi, yaitu kalangan hitam, saya tidak takut. Pada tahun 1963 sampai 1969 saya masih berada di depan. Tapi, setelah itu, saya menjadi tempat rujukan bagi kalangan-kalangan yang bertikai. Penjahat yang sadistis itu perlu didor. Saya sangat setuju. Tetapi sebenarnya bukan itu masalah yang penting. Harus dilihat mengapa timbul kejahatan yang kini makin merajalela. Bandit yang perlu didor adalah perampok sekaligus pembunuh, penganiaya, dan pemerkosa. Juga pemerkosa anak-anak. Penjahat dan koruptor sama-sama nista, nggak ada yang terhormat. Mengapa kejahatan merajalela ada beberapa faktor. Antara lain, kurangnya kesempatan kerja, tidak berwibawanya aparat hukum, dan hukum yang masih menggunakan warisan kolonial. Hukum pidana sekarang masih mengacu pada wet boek van starfrecht, hukum kolonial Belanda yang sudah tidak cocok dengan kondisi bangsa kita. Tapi, penembakan itu tak bisa dilakukan selamanya. Insidentil saja. Yang penting, akarnya harus diperbaiki. Semua harus dikembalikan ke hukum yang berlaku. Untuk itu, saya dan perguruan Tadji Malela siap membantu petugas keamanan dalam menghadapi kejahatan yang makin meresahkan masyarakat di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini