Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Rolihlahla

Nelson mandela terpilih menjadi presiden pertama kulit hitam di afrika selatan setelah politik apartheid dihapuskan. perjuangannya penuh onak dan duri, serta malapetaka. sejak usia muda ia menggalang kekuatan untuk menumbangkan rezim kulit putih.

21 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK suku Xhisa itu bernama Rolihlahla. Artinya, konon, "seseorang yang membawa malapetaka kepada dirinya sendiri." Tapi bocah yang dibesarkan di Qunu, Afrika Selatan, itu juga disiapkan untuk menjadi penghulu kaumnya. Dua hal kemudian memang terjadi dalam hidupnya. Yang pertama, yang bisa disebut sebagai malapetaka, adalah jalan yang ia pilih. Dalam usia belasan tahun ia, yang kemudian dikenal sebagai Nelson Mandela, giat dalam gerakan politik. Ia pun dikeluarkan dari Universitas Fort Hare. Ketika ia 44 tahun, karena memimpin perlawanan yang menyebar propaganda dan menembakkan senjata, ia dipenjarakan. Hukumannya seumur hidup. Ia menjalaninya sampai umur 71 tahun. Hal kedua yang terjadi padanya ialah kepemimpinan. Ia -- jauh sebelum ia jadi presiden pertama orang hitam di Afrika Selatan -- adalah tokoh yang dari luar dan dalam dinding sel mengatur organisasi pembebasan Afrika Selatan, ANC, yang akhirnya menang, melintasi onak dan duri. Penjara, onak dan duri malapetaka, kemudian kemenangan di puncak: unsur-unsur itu bisa menciptakan sebuah legenda. Yang luar biasa dari Mandela ialah bahwa ia sadar: sebuah legenda adalah sebuah penjara baru. "Tak seorang pun yang terbuat dari daging dan tulang ingin dianggap sebagai seorang suci," katanya. Mungkin justru karena ia bukan legenda, bukan orang suci, ia tak bertahan (dan mampu untuk tak bertahan) pada satu kebenaran. Mandela, yang sebelum dipenjarakan adalah pelopor gerakan bersenjata, di tahun 1986 justru jadi penganjur jalan perundingan. Ia tahu bahwa jalan perundingan itu tak memuaskan dendam kesumat orang hitam yang selama 342 tahun terbungkam oleh minoritas kulit putih di Afrika Selatan. Politik apartheid -- yang melarang percampuran si kulit hitam dan si kulit putih, sejak di tempat kencing sampai dengan di ranjang perkawinan -- adalah politik keji yang dipertahankan dengan bedil. Bagaimana si hitam, si tertindas, bisa berharap untuk berunding dengan Iblis yang harus dipenggal? Maka memilih jalan berunding dengan rezim apartheid adalah "risiko politis terbesar dalam hidup saya," kata Mandela. Dengan menganjurkan negosiasi, ia bisa dianggap telah lunak dan menjual diri. Tapi, sekali lagi, ia tak ingin terpenjara oleh sebuah konstruksi, sebuah legenda tentang heroisme dirinya. Yang menarik bahwa semua ini ia lakukan bukan karena rendah hati, melainkan karena perhitungan praktis. Apartheid adalah kebijakan yang rapuh, sebuah aturan yang terlampau gila untuk terus-menerus bisa dipertahankan di akhir abad ke-20. Apartheid hanya bertahan karena metode sebuah negara polisi, dengan anjing-anjing pelacak, sel penjara dan penyiksaan bertahun- tahun. Maka melawan rezim itu dengan bedil dan gerilya adalah melawan rezim itu pada sisinya yang kuat. Dan Mandela, seperti juga De Klerk dan para pemimpin kekuasaan kulit putih yang lain tahu, ada sisinya yang lemah: di dasar moral, dalam hal legitimasi. Derrida pernah menyebut apartheid sebagai la derniere extremite du racisme. Mungkin ia ingin menunjukkan apartheid bukan saja sebagai bentuk ekstrem penghabisan dari rasisme, tapi juga bentuknya yang paling rendah: kedua arti itu menyarankan apartheid sebagai sampah, yang tak layak dipakai lagi dan begitu tak bernilai. Maka di hadapan kebusukan itu, kemenangan yang paling mudah adalah dengan supremasi moral. Dan itulah yang harus ditawarkan. Menggunakan senjata adalah sesuatu yang tak produktif. Itulah sebenarnya yang menarik dari pengalaman Afrika Selatan: politik menjadi moral lantaran yang tampaknya moral pada saat yang sama juga yang tampak pragmatis. Ketika ANC menang dalam pemilihan bebas pertama bagi orang hitam pekan lalu, tak terdengar hasrat balas dendam. Si bekas penindas tak ganti ditindas. Sebuah kebesaran jiwa, tentu. Tapi apa yang tampak sebagai kebesaran jiwa itu juga tampak sebagai sikap yang menghitung ongkos dan keuntungan: orang kulit putih, yang cuma 12% dari jumlah penduduk, menguasai 86% tanah dan 93% kekayaan. Di sebuah zaman seperti sekarang, ketika "pemerataan" cara sosialis di mana-mana gagal, Mandela dan rekan-rekannya akhirnya memutuskan: justru untuk membuat orang hitam lebih makmur di kemudian hari, si minoritas yang gemuk itu tetap dibutuhkan. Soalnya kemudian, bisakah hanya dengan pragmatisme garis politik tanpa-dendam itu bertahan? Atau justru dengan pragmatisme itu sebuah imbauan moral bisa didengar dalam kehidupan sehari-hari? Yang kita tahu: sikap moral dan sikap pragmatis, keduanya tak bertabrakan, setidaknya hari ini di Afrika Selatan. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus