Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tumbang, setelah 182 kali

Afung alias herry, tertembak mati oleh polisi di muara kapuk, jakarta barat. ia mencoba melarikan diri ketika diminta menunjukkan empat kawannya. telah melakukan kejahatan 182 kali.

27 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang tersangka penjambret mati ditembak polisi. Menurut polisi, Afung punya rekor 182 kali melakukan kejahatan. TAK hanya olahragawan, penjahat pun punya rekor. Seorang ter- sangka penjahat, Afung alias Herry, yang tertembak mati oleh polisi Selasa dini hari pekan lalu, konon punya rekor 182 kali melakukan kejahatan sejak memulai kariernya, 1984. Bujangan 32 tahun, konon, pakar dalam soal penjambretan, pencurian, perampokan, penodongan dan pemerasan. Wilayah operasinya Jakarta Barat dan Tangerang. Kalau angka itu benar, berarti polisi telah kecolongan 26 kali kejahatan setiap tahunnya. Namun, Selasa dini hari pekan lalu, polisi menyetop karier lelaki itu. Afung tewas setelah punggungnya ditembus pelor revolver polisi. "Ia terpaksa ditembak karena melarikan diri saat diminta menunjukkan empat kawannya yang belum tertangkap," kata Kapolres Jakarta Barat, Letnan Kolonel Soebono Adi. Menurut polisi, komplotan Afung -- ia orang nomor dua di komplotannya yang berjumlah lima orang -- sudah lama diincar polisi. Soalnya, di Jakarta dan Tangerang sering terjadi serangkaian penjambretan yang polanya mirip dengan yang dilakukan kelompok itu. Yaitu, dengan sepeda motor, kawanan tersebut menjambret dan menodong para korbannya. Seperti juga gembong perampok Slamet Gundul, yang kabarnya punya rekor 50 kali merampok, Afung juga pernah merasakan pen- jara, pada 1985-1986. Bedanya dengan kawanan Slamet, komplotan Afung selama ini belum pernah memakai senjata api. Senjata Afung paling-paling golok dan celurit. Operasinya pun khas, dilakukan di tengah keramaian. Tidak banyak yang diketahui polisi tentang Afung. Dalam pengakuannya sendiri ke polisi, ia lahir dan besar di kawasan kumuh Tambora, Jakarta Barat. Di daerah yang sudah dikenali betul lika-likunya inilah ia sering beroperasi. Karier kriminal Afung diawali sebagai penjambret, dengan spesialisasi arloji Rolex. Semula ia bergabung dalam komplotan lain. Selepas dari tahanan, ia membentuk komplotan sendiri dengan markas berpindah-pindah. Biasanya, setelah "meledak" (operasi sukses) tiap anggota mencari kontrakan baru untuk mempersulit pelacakan polisi. Konon anggota komplotan itu tidak saling tahu alamat rekan mereka. Mereka hanya bertemu di tempat perundingan, biasanya di lokasi-lokasi pelacuran. Terakhir, Afung terlibat kasus penjambretan bersepeda motor di Tangerang, lalu bersembunyi di daerah itu. Berkat informasi masyarakat, pada 2 Juli lalu, polisi menangkap Afung, di tempat persembunyiannya. Kepada polisi, Afung menyebutkan teman- temannya tinggal di sekitar Muara Kapuk, Jakarta Barat. Namun, ia mengaku tidak tahu alamatnya. Untuk menjaring komplotannya, Senin sore pekan lalu, satu regu petugas reserse membawa Afung menyisiri kawasan itu. Sampai lewat tengah malam, hasilnya nihil. Mereka tiba di kampung kumuh yang padat, gelap, dengan gang-gang yang sempit. Mobil polisi diparkir agak jauh. Petugas sengaja berpencar, menjauh dari tersangka, sehingga terkesan Afung berjalan sendirian. Taktik seperti itu biasa dilakukan petugas untuk menjaring kawanan penjahat. Namun, mungkin kali ini polisi terkecoh. Afung, yang tampaknya kenal betul kampung itu, membawa petugas mengikuti kelokan-kelokan gang, sehingga polisi keteteran. Begitu petugas yang mem- buntutinya cukup jauh, menurut polisi Afung segera kabur. Teriakan petugas tidak diacuhkannya. Biarpun tembakan peringatan sudah diletuskan, Afung tetap saja berlari. Alhasil sebutir peluru menembus punggung Afung, membuat korban tersungkur. "Penembakan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum," kata Latief Rabar, juru bicara Polda Metro Jaya. Nyawa Afung melayang dalam perjalanan ke rumah sakit. Sampai saat ini, kabarnya, baru seorang komplotan Afung yang tertangkap. "Polisi rugi karena ia belum sempat mengungkap kawanannya," ujar Latief Rabar. Ardian Taufik Gesuri dan Ivan Haris

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus