Seorang pemuda menyiram gadisnya dengan asam sulfat. Juga ibu, bibi, dan adik kandung si gadis jadi korban. SERAUT wajah manis Dina Rahmi, 22 tahun, kini rusak berat. Dagunya yang mulus kini menghitam bekas terbakar. Di situ tum- buh daging sepanjang tujuh sentimeter dengan tinggi setengah sentimeter. Dadanya -- kecuali buah dada -- ketiak, perut, pangkal paha hingga ke lutut cacat karena luka bakar. "Jika digerakkan, kakinya mengeluarkan air campur darah," kata ayah Dina, H.T. Noornas. Tak hanya itu penderitaan gadis berhidung mancung itu. Jika malam tiba, Dina mengerang. Seluruh tubuhnya terasa gatal. Tengah malam barulah gatal itu mereda. Tapi, begitu terlelap, ia selalu mengigau ketakutan. Ia mengaku seolah-olah didatangi bekas pacarnya, Bimo Prasetyono, sambil membawa keris. "Dan ia sering menangis jika ia ditinggal sendirian," kata kakaknya, Lina. Semua derita gadis itu pemberian bekas pacarnya, Bimo, 27 tahun. Gara-gara Dina akan menikah dengan pemuda lain, Bimo nekat menyiram pujaannya itu dengan air keras. Tak hanya Dina, tetapi adiknya, Rina, ikut disiram Bimo, sehingga punggung, pinggang, serta pangkal tangan kirinya melepuh. Nasib yang sama juga dialami ibu dan bibi Dina. Ibu gadis itu, Rusniah, kini tak bisa meluruskan tangan kanannya akibat siraman air bahaya itu. Karena kejahatan tersebut, pekan-pekan ini Bimo diseret Jaksa Nyonya Madona Embang ke Pengadilan Negeri Banjarmasin. Pemuda tampan lulusan ITB program D4 ini didakwa jaksa dengan beren- cana melakukan penganiayaan berat -- diancam pidana selama- lamanya 10 tahun penjara. Toh Bimo tak sedikit menyesali akibat emosinya itu. "Untuk apa disesali? Saya malah puas," kata Bimo, dingin, pada TEMPO. Benih cinta Dina dan Bimo itu mulanya lancar. Sejak pertemuan awal November 1990, Bimo mengunjungi rumah Dina di Jalan Manggis, Banjarmasin. Hampir tiap hari, Dina, pegawai kantor pertanian, menerima telepon Bimo. Keluarganya pun menerima kehadiran Bimo, pegawai BUMN yang bergaji hampir Rp 1 juta itu, dengan tangan terbuka, penuh keramahan. Namun, belakangan, perangai Bimo kurang berkenan. Ia, misal- nya, mulai menggoda Rina, adik Dina yang juga manis. "Kesan saya, ia tak serius dengan Kak Dina," kata Rina. Ibadahnya juga semau gue. Sebagai pemeluk Islam, jika diingatkan salat, ia tak acuh. "Badan saya kotor, tidak bisa salat," kilahnya berkali-kali pada Noornas. Maka, awal Maret 1991, Dina memutuskan hubungannya dengan Bimo. Setelah itu, ia menjalin cinta dengan Nasrudin. Celakanya, Bimo pantang mundur, kendati Dina sudah merencanakan hari pernikahannya dengan Nasrudin pada akhir Juni 1991. Bimo pun diberi tahu agar tak usah datang lagi. Tapi Bimo tak peduli, ia tetap mendatangi rumah Dina. Sebab itu, hari pernikahan dipercepat menjadi akhir April. Toh Bimo tetap memburu. Hari pernikahan diajukan lagi jadi 11 April 1991. Keputusan itu agaknya membuat Bimo marah. Tengah hari, 9 April, ia datang ke rumah Dina membawa "kado". "Sudahlah, rupanya kalian tidak berjodoh. Lupakan saja Dina," kata Noornas pada Bimo. Bimo menunduk. "Ya, saya ikhlas Dina menikah dengan orang lain. Tapi tolong pertemukan saya dengan Dina, berdua saja. Saya ingin memberi oleh-oleh padanya," pinta Bimo. Tanpa kecurigaan, permintaan itu diluluskan. Ketika mereka tinggal berdua, hanya ditemani keponakan Dina, Sita, 3 tahun, di ruang tamu, Bimo mengambil tas plastik berisi kaleng susu. "Ini oleh-oleh untukmu," katanya sambil membuka tutupnya. Begitu terbuka, kaleng itu berasap. Dina terkejut, lalu ber- diri. Ketika itulah Bimo menyiramkan isinya. Dina menjerit. "Bu, saya mati, Bu...," teriaknya kesakitan. Si kecil Sita pun lari ke rumah sambil menangis. Rusniah segera ke ruang tamu, diikuti bibinya, Masbubah. Keduanya kaget melihat Dina terhuyung-huyung diselimuti asap. Tak lama kemudian baju yang dikenakan Dina melorot, lumer jadi abu, sehingga ia bugil. Jok kursi dan karpet yang tersiram bolong. Mereka langsung mendekap Dina. Bersamaan dengan itu, keduanya melolong kesakitan. Rina pun memburu ke ruang tamu. "Saya lihat ruang itu penuh asap, lalu saya terpeleset, dan punggung saya seperti terbakar," cerita Rina. Luka di tangan cirinya itu kini masih terasa sakit. Mendengar jerit tangis dan lolongan kesakitan itu, H.T. Noornas buru-buru ke ruang tamu. Di ruang itu tampak Bimo seperti terpana. Ia langsung ditang- kap. Saat ia dibawa ke Ketua RT setempat, warga ramai-ramai hendak menghakiminya. Bekas kaleng susu itu -- belakangan ketahuan berisi asam sulfat (H2SO4) -- disiramkan ke muka Bimo, tapi isinya sudah ludes. Keempat korban langsung dilarikan ke RSU Ulin, Banjarmasin. Setelah dirawat, hari itu juga Rina dan Masbubah boleh pulang. Tapi Dina dan ibunya harus tinggal. Dua hari di situ, pada 11 April, dalam keadaan terbaring di rumah sakit, Dina dinikahkan dengan Nasrudin, dalam suasana yang memilukan. Dua puluh hari Dina di rumah sakit, kemudian dirawat di rumah, tapi sejak pekan lalu, Dina dibawa ke RSU Dr. Soetomo, Surabaya. Kulit tubuhnya yang menggelembung "dikoyak-koyak" Dokter Djohan. Operasi pertama pada Rabu pekan lalu itu akan dilanjutkan, minimal tiga kali. Sementara itu, di pengadilan, pengacara Bimo, Lenny Welly Hani, dalam eksepsinya mengatakan bahwa perbuatan klien- nya itu tak bisa diipertanggungjawabkan karena gang- guan jiwa. "Enam bulan sebelum peristiwa itu, ia pernah empat kali diperiksa psikiater," kata Lenny kepada TEMPO. Untuk itu, Lenny meminta agar majelis menjatuhkan putusan sela. "Bimo mesti diperiksa jiwanya," katanya. Kepada TEMPO, Bimo mengakui sengaja menyiramkan asam sulfat karena "ia mengingkari janji". Menurut Bimo, Dina sudah sepakat menunda pernikahannya setelah Lebaran Haji. Tapi yang terjadi, kata Bimo, Dina malah mempercepat hari perkawinannya dan menghindari bertemu Bimo. "Saya jadi sangat kesal," kata Bimo. WY dan Almin Hatta (Banjarmasin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini