Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Uangnya dari APBN, Angpaunya Habibie

Terjadi pro dan kontra terhadap uang pesangon yang akan dikucurkan Presiden B.J. Habibie buat anggota DPR. Satu upaya untuk melempangkan jalan ke singgasana?

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI mantan presiden Soeharto yang canggih sekali bereksperimen dengan hukum—terutama dalam membuat keputusan presiden alias keppres—sekarang Presiden B.J. Habibie tampak menuruti langkah itu. Belum lama ini, presiden yang masa jabatannya paling lama dua bulan lagi itu meluncurkan sebuah keppres yang isi pokoknya adalah pemberian pesangon bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kendati sepanjang pekan lalu Habibie tak henti-hentinya diberondong kritik, ia tetap bersikukuh dengan keppres tersebut. Kalau disetujui, berdasarkan keppres itu, setiap anggota DPR akan memperoleh uang sebesar Rp 150 juta. Dengan demikian, dari anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah harus menyediakan Rp 75 miliar untuk 500 orang anggota DPR. Menteri Sekretaris Negara Muladi menyatakan, keppres yang menghebohkan dan diteken Habibie pada Selasa pekan lalu itu menunjukkan penghargaan serius dari pihak pemerintah terhadap kerja keras DPR. Alasannya, kata Muladi, meski masa tugas DPR hanya dua tahun, para wakil rakyat sudah mampu memproduksi lebih dari 50 undang-undang. Padahal, DPR periode sebelumnya, dengan masa tugas lima tahun, hanya menghasilkan 86 undang-undang. Pada mulanya, keputusan mengenai pesangon dibuat Habibie pada 20 Mei 1999. Pada keppres pertama ini, selain tercantum soal uang pesangon, juga disebutkan masa akhir tugas DPR sekarang, yakni 24 Agustus 1999. Namun, sejak tiga pekan lalu, keppres itu menjadi bahan gunjingan politik. Banyak yang menganggap keppres itu bertentangan sekali dengan keprihatinan masyarakat yang sedang dilanda krisis ekonomi. Lagi pula, sebagai pejabat negara, anggota DPR pasti mendapat uang pensiun. Bagi ahli hukum tata negara Harun Alrasid, keppres itu sangat melecehkan lembaga legislatif. ''Anggota parlemen itu terhormat. Masa diberi uang oleh presiden? Itu semakin menunjukkan posisi inferior legislatif terhadap eksekutif," ujar Harun. Ia berharap agar anggota DPR menolak uang imbalan jasa yang tak ubahnya pesangon bagi para buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja. Dan yang lebih penting, menurut Harun, keppres uang pesangon itu menerpedo Undang-Undang tentang MPR/DPR Tahun 1999. Sesuai dengan undang-undang itu, masa tugas anggota DPR sekarang otomatis berakhir tatkala anggota DPR baru dilantik. Jadi, mestinya tak perlu lagi diatur dengan keppres yang hirarki hukumnya lebih rendah ketimbang undang-undang. Berdasarkan itulah, Harun berpendapat agar keppres tersebut dicabut. Ternyata, pada hari yang disebut sebagai hari terakhir masa kerja DPR, Selasa pekan lalu, Presiden Habibie hanya meralat masalah masa akhir tugas tadi. Ralat itu tentu melalui keppres pula. Pada keppres yang baru, masa tugas DPR akan berakhir ketika DPR periode berikut dilantik pada 1 Oktober 1999. Kata Muladi, keppres sebelumnya mencantumkan masa akhir tugas DPR pada 24 Agustus 1999 karena tak menduga lambatnya kerja Komisi Pemilihan Umum. Jadi, soal uang pesangon dikukuhkan kembali pada keppres terbaru itu. Tak disangka, sebagian anggota DPR setuju dengan uang pesangon ala Habibie itu. ''Jujur saja, hanya orang munafik yang menolak pemberian uang," ujar Buttu Hutapea dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia versi Budi Hardjono. Argumentasi itu dibenarkan oleh Oke F. Supit dari Fraksi Karya Pembangunan. Apalagi, dengan berkurangnya masa kerja dari yang semestinya lima tahun menjadi dua tahun, uang pensiun anggota DPR akan menyusut, dari Rp 1 juta menjadi Rp 400 ribu. Buat Oke, uang pesangon sebesar Rp 150 juta belum seberapa dibandingkan, misalnya, dengan harga sedan Volvo yang diterima seorang menteri. Terlebih lagi, kata Buttu, dibandingkan dengan uang miliaran rupiah yang dirampok para konglomerat. Buttu berencana akan menggunakan uang itu untuk membeli rumah, setidaknya untuk biaya mengontrak rumah. Soalnya, ''Saya belum punya rumah di Jakarta," katanya dengan berterus terang. Kendati demikian, Oke membantah anggapan seolah-olah dengan menerima uang itu DPR telah terkooptasi. ''Selama ini kami digaji pemerintah. Kan tak lantas berarti DPR di bawah eksekutif," kata Oke. Singkat cerita, menurut Oke, uang rakyat yang sudah dianggarkan pemerintah itu cukup wajar bila diberikan kepada para wakil rakyat. Yang jelas, pemberian ala angpau kepada wakil rakyat ditiru pula di daerah-daerah. Kalau sudah begitu, sulit untuk menjamin legislatif tak bergantung pada eksekutif, demikian pula terhadap upaya menekan pemborosan uang negara yang selama ini sudah begitu luar biasa besarnya. Selain itu, pesangon itu bisa saja dianggap semacam persekot yang sengaja dialokasikan agar menjamin kesuksesan pencalonan Habibie—untuk menjadi presiden lagi. Happy S., Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus