Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menyoal Nasib Kera Pirang

Jumlah bekantan di habitatnya di Kalimantan Selatan menipis. Tapi satwa ini dijual ke AS dan Kanada, bahkan ada yang mati di perjalanan.

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA kaya flora dan fauna, tak terkecuali satwa langka. Sebut saja beberapa: burung cenderawasih, beo-Nias, jalak Bali, harimau, dan siamang. Namun, populasi hewan yang dilindungi undang-undang itu kian hari kian menyusut. Ironisnya, hewan yang tak boleh dipelihara sembarangan, apalagi diperdagangkan, itu ternyata dijual bebas di pasaran. Bekantan, kera berbulu pirang dan berhidung bengkok yang berasal dari Kalimantan Selatan, sudah masuk dalam daftar satwa langka yang terancam punah. Setidaknya ada 61 ekor bekantan (Nasalis larvatus) dikabarkan telah dijual ke Amerika dan Kanada. Padahal, di habitat aslinya di hutan kawasan Sungai Barito, Kalimantan Selatan, jumlah hewan itu tinggal sedikit. Bila sampai punah, generasi mendatang hanya bisa mengenal kera bekantan dari buku, barang awetan (opzet), atau dengan mengunjungi kebun binatang di Amerika dan Kanada. Penyebab utama hewan bekantan sampai keluar dari Kalimantan adalah habitatnya—terletak di Pulau Kaget, Sungai Barito, Kabupaten Batola—yang gersang dan kering-kerontang. Hutan rambai, yang merupakan sumber makanan utama si kera pirang, nyaris mati. Akibatnya, pada 1997, pemerintah menyelamatkan 40 ekor bekantan. Sebagian dari mereka dilepas kembali ke beberapa pulau lain di sepanjang Sungai Barito, dan sebanyak 10 ekor dikirim ke Kebun Binatang Surabaya. Setahun kemudian, evakuasi serupa juga dilakukan terhadap 111 ekor bekantan. Namun, sewaktu diboyong ke habitat barunya, 13 ekor bekantan mati. Pada penangkapan kali ini, Kebun Binatang Surabaya kebagian 51 ekor. Berarti sudah ada 61 ekor bekantan di ibu kota Jawa Timur itu. Di beberapa pulau tadi, si pirang bisa beradaptasi dan bertahan hidup hingga kini. Namun, di Surabaya, ternyata sebanyak 37 ekor bekantan diberitakan tewas. Sedangkan sisanya, sebanyak 24 ekor, tak jelas nasibnya. Ada kabar, bekantan-bekantan itu sudah diekspor ke kebun binatang di San Diego, Cincinnati, dan Bronx di Amerika Serikat. Juga ke kebun binatang di Toronto, Kanada. Rupanya, sebagaimana Kalimantan Selatan menganugerahkan predikat satwa maskot kepada bekantan, Toronto pun melakukan hal yang sama. Di Toronto, hewan itu dijadikan satwa maskot tahun 1999. Karena itu, bekantan akan dihadirkan pada pertunjukan khusus di Kebun Binatang Toronto. Kalangan lembaga swadaya masyarakat di Kalimantan Selatang tak senang mendengar kabar tersebut. Berkali-kali mereka berunjuk rasa dan menuntut Gubernur Kalimantan Selatan, Gusti Hasan Aman, agar mengembalikan bekantan dari Surabaya, bila masih hidup, ke habitat asalnya. Tak cukup itu, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat Kalimantan Selatan dan beberapa penggiat lingkungan hidup juga menggugat Gubernur dan Departemen Kehutanan ke Pengadilan Negeri Banjarmasin. Selain untuk melindungi bekantan, ucap pengacara Bun Yani, gugatan itu juga dimaksudkan untuk mengungkap misteri matinya 37 bekantan dan kepastian nasib 24 bekantan lainnya. Bun Yani adalah pengacara yang mewakili para penggugat. Namun, kuasa hukum tergugat, Gunardo Agung dan Sudiman Sidabukke, pada persidangan Selasa pekan lalu membantah adanya penjualan 24 bekantan ke Kanada. Menurut mereka, 24 kera pirang itu ada di Kebun Binatang Surabaya. Mereka juga bersedia mengembalikan bekantan tersebut ke Kalimantan Selatan. Pernyataan senada diutarakan pula oleh Bambang Soehardjito dan Stany Subakir dari Kebun Binatang Surabaya. ''Kami memberikan perawatan sungguh-sungguh terhadap hewan titipan pemerintah itu. Bahkan kini sudah beranak dua ekor, sehingga jumlahnya menjadi 26 ekor," kata keduanya kepada Adi Sutarwijono dari TEMPO. Lantas, bagaimana nasib 37 ekor bekantan sebelumnya? Samedi dari Departemen Kehutanan menyatakan, 37 bekantan itu mati dalam perjalanan menuju Surabaya. Soalnya, bekantan terhitung binatang pemalu yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Apalagi, sebelum dipindahkan, gizi hewan itu amat buruk akibat terbatasnya daun rambai di habitat asalnya. Samedi juga mewanti-wanti bahwa kematian bekantan tak ada hubungannya dengan rencana pengiriman satwa langka itu ke Kanada. Menurut Samedi, rencana berdasarkan perjanjian kerja sama penangkaran bekantan untuk kepentingan ilmu pengetahuan itu tidak melanggar konvensi internasional tentang larangan perdagangan satwa langka, dengan catatan hewan yang dikirim bukan dari habitat asli, tapi dari hasil penangkaran di kebun binatang. Tapi, ''Rencana kerja sama itu baru permintaan pihak Kanada, belum ditindaklanjuti," ujar Samedi. Hp. S., Almin Hatta (Banjarmasin) dan I.G.G. Maha Adi (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus