Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Vonis buat jaksa dan polisi

Sakri, 28, yang dibebaskan dari tuduhan membunuh adik kandungnya, Sundari, 16, berhasil menggugat polisi dan kejaksaan, mereka harus membayar ganti rugi. Polisi dan jaksa naik banding. (krim)

9 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAKRI menang lagi. Juni tahun lalu, ia divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur karena tidak terbukti membunuh adik kandungnya, Sundari, 16, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Senin pekan ini, ia memenangkan gugatannya terhadap Polsek Kali Malang dan Kejaksaan Negeri Jakarta Timur. Hakim A.A. Daulay dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur memutuskan kedua tergugat harus memberi ganti rugi Rp 1,16 juta kepada Sakri. Perinciannya, Rp 540 ribu untuk ganti rugi karena selama tiga bulan sejak dikeluarkan dari tahanan. Sisanya merupakan ganti rugi selama 116 hari Sakri ditahan tidak sah, serta biaya penggantian barang yang hilang. Buruh pelabuhan itu, selama ditahan polisi, mengaku kehilangan: ikat pinggang, sepasang sepatu, satu stel pakaian, dan uang tunai Rp 30 ribu. Ganti rugi yang dikabulkan Hakim sebenarnya tak seberapa dibanding tuntutan Sakri. Lewat kuasanya, Pengacara Amir Syamsuddin, Sakri menuntut Rp 100 juta lebih. Hanya, seperti dikatakan Amir, bukan uang itu benar yang dimauinya. Yang lebih penting, "Hak asasi rakyat kecil semacam Sakri harus dihargai." Kisah Sakri, 28, bermula pada 27 Desember 1983. Hari itu, Sundari, yang bekerja di rumah Matheus Hadi Purwanto di Duren Sawit, Jakarta Timur, ditemukan tewas dengan luka-luka kecil di perut dan kepala. Sedangkan penyebab kematiannya, seperti bunyi visum yang dibuat Dokter Tjahjanegara Winardi dari LKUI, "akibat keracunan insektisida propoxur" - racun jenis ini terdapat dalam obat antiserangga. Ketika itu, Matheus dan istri serta keempat anak mereka dan seorang pembantu lain mengaku bepergian ke Pati, Jawa Tengah, untuk merayakan Natal. Sakri, yang muncul di rumah Matheus keesokan harinya, langsung dituduh sebagai pembunuh. Sebab, sewaktu ditanya polisi, ayah satu anak itu kelihatan gugup. Ketika ltu juga langsung dlperiksa dan ditahan diPolsek Kali Malang, Jakarta Timur. Berita acara yang dibuat polisi, dan dibubuhi cap jempol Sakri (karena ia buta huruf), sangat meyakinkan bahwa Sakrilah yang merenggut nyawa adiknya. Di situ Sakri mengaku seolah datang ke rumah Matheus yang hanya ditunggui oleh Sundari. "Saya datang untuk meminjam uang, untuk membeli pakaian saya dan anak saya. Tapi Sundari mengatakan, tidak ada uang, karena belum gajian," begitu tertera dalam berita acara. Selanjutnya, Sakri mengaku bertengkardan memukul adiknya. Sundari kemudian lari mengambil obat pembasmi nyamuk dan meminumnya. Sakri, yang mencoba mencegah, malah diancam dengan sebilah pisau. Singkat kata. pisau yang digenggaman Sundari berbalik mengenai korban. Di sidang pengadilan Sakri membantah semua pengakuannya. Ia, katanya, terpaksa menuruti kehendak pemeriksa karena tidak tahan disiksa. Ketika itu, Jaksa Hamid juga mengakui bahwa yang terungkap dalam persidangan sangat berbeda dengan isi berita acara polisi. Maka, ia menuntut Sakri agar dibebaskan dan ternyata dikabulkan Hakim. Sakri, yang sekarang bekerja di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, dengan penghasilan sekitar Rp 4.000 sehari, senang gugatannya dikabulkan. Ia berharap uangnya bisa segera diberikan. "Saya akan berdagang ayam dan sayuran, dan sebagian akan saya kirim ke kampung," katanya bersemangat. Padahal, andaikan bisa, entah kapan ganti rugi terhadapnya bisa dibayarkan. Sebab, polisi dan jaksa masih berhak naik banding dan kasasi. Yang lebih penting dari itu, seperti kata Amir Syamsuddin, adalah mencari pembunuh Sundari yang sebenarnya. Untuk itu, "Polisi harus bekerja lebih profesional," katanya. Sampai saat ini memang belum ada tanda-tanda bahwa polisi telah menemukan tersangka pembunuh. Kapolres Jakarta Timur, Letkol Amun Sudaryat, tak mau berkomentar dengan alasan tak begitu mengikuti kasus itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus