MUNGKIN ini yang pertama kali terjadi. Pemerintah menatar pastor warga negara asing. Penataran dua hari di kompleks Katedral Jakarta Kamis minggu lalu itu dibuka Dirjen Bimas Katolik, Ignasius Djoko Mulyono. "Tujuannya, agar mereka mempelajari serta lebih mengetahui keadaan negara ini dan peraturan peraturannya," katanya kepada TEMPO. Dalam acara yang dihadiri 12 pastor dari 30 orang yang diundang itu ditampilkan beberapa pembicara yan- terdiri dari pejabat Imigrasi. Depnaker, Depdagri, dan Bakin. "Jangan sampai," kata Djoko Mulyono, "tenaga Indonesia diajari melihat persoalan di sini dengan cara asing" Dari 1.623 pastor di Indonesia, menurut catatan Ditjen Bimas Katolik, 567 orang berstatus WNA, dan kebanyakan sudah fasih berbahasa Indonesia. Separuhnya lagi orang pribumi, dan selebihnya bekas orang asing yang sudah ganti kewarganegaraan. Untuk mempertemukan pemahaman pemerintah dan dunia pastor asing itu, uskup agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, menganggap bahwa penataran bisa dijadikan forum dialog. Bukan cuma monolog. Baik pemerintah maupun Gereja Katolik di Indonesia sebenarnya menyadari perlunya segera mandiri dalam hal tenaga rohaniwan, tanpa harus dibantu tenaga asing. Proses tersebut, sejak awal dasawarsa lalu, telah dilaksanakan lewat pengindonesiaan imam. Di tingkat pucuk pimpinan, dari 34 uskup dan uskup agung, hanya empat orang berstatus WNA - di Agats, Manokwari, Merauke, dan Manado. Di kalangan pastor, masih sepertiga yang digolongkan TKA (tenaga kerja asing). Mungkin yang menjadi masalah baru bagi pastor asing adalah urusannya dengan Depnaker. Sesuai dengan surat edaran Menteri Sudomo menjelang Natal tahun lalu, mereka diharuskan mempunyai izin departemen itu. "Tidak terkecuali, baik TKA yang digaji maupun tidak, harus mendapat izin," kata Sunarya, kepala Bagian Penempatan Tenaga Asing di situ. Caranya, pastor yang akan datang ke Indonesia mesti mimta rekomendasl Ditjen Bimas Katolik - setelah mendapatkan sponsor keuskupan atau lembaga keagamaan di sini. Dan sebagai TKA, mereka harus memiliki izin kerja tenaga asing (IKTA), visa, dan lain-lain. Menyesuaikan diri dengan adat setempat, bagi pastor atau misionaris, sebenarnya bukan hal baru. "Di negara lain juga demikian," kata Pastor Fantelli S.X., 67, kepada TEMPO. Namun, rohaniawan asal Italia itu yang berbicara dalam bahasa Indonesia dan bekerja di sini sejak 1961, masih belum memahami ketentuan bahwa mereka disejajarkan dengan TKA. "Pastor asing bekerja bukan untuk mencari uang," katanya. Dan ia pun setiap tahun memperpan-ang lzin tmggalnya - tanpa mengalami kesulitan. Peserta Denataran lain. Dastor muda Herman Roborgh, asal Australia, tidak menganggap ada kesulitan. "Soal surat izin tinggal atau izin kerja sudah ada yang mengurus," katanya. "Toh, ketentuan itu berlaku bagi semua orang asing di sini." Pastor Herman sendiri menyelesaikan studi teologinya di Institut Filsafat dan Teologi Kentungan, Yogyakarta, sebelum ditahbiskan. Yang mungkin akan menjadi ganjalan bagi pastor muda itu: bila ia mendapat kesempatan melanjutkan sekolah di luar negeri. "Bila kami harus belajar lebih dari setahun, mungkin akan sulit masuk lagi ke sini." Namun, pastor asing yang menjadi warga negara kita tidak sedikit pula. Sampai akhir 1983, dari 857 pastor asing, 290 orang menjadi WNI. Sisanya, dalam empat tahun terakhir sebanyak 357 orang mengajukan permohonan menjadi WNI, dan baru 124 orang Iulus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini