Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Berbincang sekitar bendera

Majelis Ulama Indonesia mengadakan lokakarya membahas surat edaran Dep.P dan K tentang hormat bendera di dalam kelas. Hasilnya MUI merasa keberatan karena khawatir mempunyai dampak negatif. (ag)

9 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG murid SMP termenung-menung saja. Bahkan tak doyan makan, sepulang dari sekolah. Pasalnya? Kewajiban menghormat bendera, yang diturutinya di dalam kelas tadi, menghantui pikirannya. Menurut ajaran agama yang disimpulkannya, menghormat dengan cara seperti itu haram. Kejadian itu - konon di Malang - dituturkan oleh H.M. Thoha Tamin, wakil ketua Komisi IX DPR RI. Masih ditambahinya dengan cerita lain, dengan tema yang sama, dari seorang tamunya (yang tak boleh dituliskan namanya), seorang guru dan Semarang. Masalah hormat bendera, yang bersumber pada surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen P & K 7 November tahun lalu, tampaknya kecil saja - tapi bisa menimbulkan perbincangan, rupanya. Bukan saja masuk dalam acara dengar pendapat di DPR, pekan lalu. Tapijuga, sebelumnya, dalam Loka Karya Pendidikan Islam dan Dakwah Bilhal (artinya: yang sedang berlangsung) dari Majelis Ulama Indonesia. Loka karya itu, yang berlangsung sembilan hari di Jakarta, sampai Selasa pekan lalu, antara lain mengharapkan ditinjaunya surat edaran No. 15853 itu. Alasan: upacara yang diharuskan itu, "kepada anak didik akan memberikan dampak negatif" dan "tidak menunjang tercapainya tuluan pendidikan nasional, yaitu ketakwaan". Tapi mengapa? Bukankah dari dulu orang sudah menghormat bendera, dan tidak merugikan ketakwaan ? Bahkan para kiai pun berdiri pada pada upacara 17 Agustus, misalnya, di saat penghormatan bendera. Dan kenyataan itu tentu sejalan dengan pendapat Abdurrahman Wahid, ketua tanfidiyah PB NU, yang menganggap penghormatan bendera hanya "masalah duniawi". "Ini bukan agama. Hanya masalah duniawi dan masalah sekolah," katanya - sambil menyebutkan bahwa Nabi sendiri juga memakai bendera dalam perang, meskipun "berbeda cara menghormatinya". Prof. Dardji Darmodihardjo sendiri, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, dalam jawabannya di forum sekitar 50 ulama itu, menolak kemungkinan syirik (penyekutuan Tuhan) dalam upacara bendera itu. "Tidak mungkin," katanya. "Selama ini 'kan sudah sering terjadi." Tapi bagi yang tldak sependapat, justru karena selama ini sudah terjadi, penghormatan di dalam kelas itu tak perlu lagi - atau 'berlebih-lebihan", kata ketua MUI, K.H. Hasan Basri. Baik Hasan Basri maupun loka karya itu, juga anggota DPR yang tadi, dan tak ketinggalan H.M. Yunan Nasution, tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang menulis dalam majalah Suara Masjid edisi Maret, sebenarnya tidak menolak kemungkinan adanya tujuan muha dalam surat edaran Dirjen yakni menanamkan patriotisme. "Tapi apa tidak ada cara lain?" tanya mereka. Keberatan mereka itu sebenarnya timbul dari sifat penghormatan bendera itu. Seperti disebut dalam surat edaran tersebut, acara dalam kelas itu dilaksanakan di bawah pimpinan guru. Para siswa berdiri di samping tempat duduk, lengkap dengan topi, dalam sikap tegak sempurna. Bendera ditempatkan di meja guru, sebelah kanan, "serta dijaga agar selalu aman/terhindar dari gangguan apa pun". Lalu penghormatan dilakukan. Nah. Suasana di tempat tertutup, penghormatan kepada benda yang begitu dekat, di meja di depan kita, itulah agaknya yang bisa dirasakan mengganggu mental, khususnya bagi yang ingin selalu berkepercayaan bersih. "Bagi anak-anak sekolah, bendera itu bisa seolah-olah memiliki kekuatan gaib," seperti dikatakan anggota DPR yang tadi. Itulah sebabnya tidak terdengar keberatan ulama terhadap upacara bendera di lapangan baik tiap hari Senin untuk anak sekolah maupun tiap bulan untuk pegawai. Dalam suasana masal, dengan baris-berbaris, apalagi bila ada lagu kebangsaan, yang layaknya lebih terasa bukanlah "keangkeran" bendera. Melainkan kebesaran bersama, keagungan negara - dan bendera, yang berkibar di pucuk itu, adalah lambangnya. Bukankah bendera prajurit Islam dalam perang Nabi Muhammad dulu, sebagai lambang, juga tidak boleh jatuh? Tapi sebenarnya ada segi negatif yang lain. Seperti dikatakan Prof. Dardji, "Kemungkinan munculnya kejenuhan, itu yang jadi masalah. Mungkin pelaksanaannya over acting." Harap diingat: upacara itu dilakukan dua kali sehari - waktu masuk dan waktu pulang. Dan K.H. Hasan Basri bisa memberi contoh kejenuhan itu. Dari laporang-laporan, tuturnya, "Ada sekolah yang hanya bertahan dua hari dalam penghormatan bendera. Selebihnya, anak-anak jenuh. Lalu upacara malah jadi olok-olokan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus