Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rilda A.Oe. Taneko
BERAWAL satu. Tahun berlalu. Tak ada orang yang serupa dengan dirinya. Ia tinggal di sebuah kampung di ceruk bukit-bukit cemara. Tak jauh dari drielandenpunt, titik perbatasan tiga negara: Belanda, Jerman, dan Belgia. Penduduk kampung itu berambut pirang, atau kecokelatan, atau kemerahan, atau beruban, berkulit putih, berhidung mancung dan bertubuh lebih tinggi darinya.
Dari puncak bukit cemara, kampungnya terlihat berbentuk bintang, bersudut-sudut dan menjorok pada lembah-lembah bukit, yang dikelilingi oleh perkebunan apel. Rumah-rumahnya terlihat asri, bungalow atau kopel bertingkat dua, bercat putih, berpagar batu, pekarangan rumput hijau yang rapi, lalu balkon yang ditanami bunga musim semi berwarna-warni. Di tengah kampung, menara gereja menjulang tinggi. Setiap satu jam, lonceng gereja berdentang.
Ia kerap berjalan-jalan di bukit cemara. Di dekat sungai kecil, yang mengalir dan meliuk tenang, tempat kuda poni dan sapi hitam-putih biasa minum, terdapat hutan, Eys Boos namanya.
Ia senang pergi ke Eys Boos. Di tiap musim gugur, ia memunguti kastanye yang berserak di sela tumpukan dedaunan. Kastanye itu berduri. Ia injak-injak buah kastanye itu hingga cangkangnya terkelupas dan bijinya, yang cokelat tua berkilat, terlepas. Biji-biji itu ia kumpulkan dan bawa pulang.
Sore hari ia akan merebus atau memanggang biji-biji kastanye itu untuk suaminya, Ad, yang memang suka kastanye. Bagi ia sendiri, kastanye itu membosankan, rasanya sama dengan biji nangka. Dan ia sudah bosan memakan biji nangka.
Selain kastanye, Ad suka makanan Indonesia. Apa saja. Ikan bakar, pempek dan tekwan. Nasi goreng, apalagi. Setiap kali membantunya memasak nasi goreng, Ad bernyanyi gembira:
Geef mij maar nasi goreng
met een gebakken ei,
wat sambal en wat kroepoek
en een goed glas tee erbij...
Ad sengaja mengubah kata bier menjadi tee. Ad tidak pernah dan tidak suka minum bir. Ia lebih memilih teh, terutama Teh Sosro rasa melati.
Dua generasi keluarga Ad tinggal di Indonesia. Di sebuah pulau kecil di selatan Pulau Sumatra, tepatnya. Opa, oma, dan papanya bahagia tinggal di pulau itu. Ad sendiri tak pernah berkesempatan untuk menetap. Namun demi kisah lalu, makanan dan juga lukisan-lukisan yang memenuhi masa kecil dan dinding-dinding rumahnya, Ad bertekad untuk datang ke pulau itu. Dan, ketika ia berumur dua puluh dua, impiannya tercapai.
Ad tiba di pulau itu sebagai turis. Ia menapaki jalan-jalan yang pernah dijejaki keluarganya. Menjenguk rumah yang dulu dihuni opa dan omanya. Rumah tempat papanya dilahirkan dan dibesarkan. Dan dikarenakan luapan kenangan, rasa haru dan kebahagiaan, melihat rumah tua yang dihuni angin itu, Ad menangis.
Tanpa sengaja, seorang perempuan menyaksikan tangisnya. Perempuan berkulit gelap, bertubuh kurus dan berambut masai. Perempuan itu mengenakan kaus lengan pendek biru pudar, celana jins pendek yang sobek ujungnya dan sepasang sandal jepit butut. Ia memegang pancingan dan sebuah ember kaleng rombeng. Mata mereka beradu pandang. Mata perempuan itu memandangnya heran dan penuh tanya. Mata yang jernih, besar, penuh semangat, dan cantik sekali.
Detik itu juga, Ad sadar ia telah jatuh cinta.
SATU menjadi dua. Ia tiba di Belanda saat musim dingin. Selain kaca-kaca jendela yang dingin jika ia sentuh, juga cuaca di luar yang dingin membeku, ia tidak pernah merasa kedinginan. Ia tak perlu mengenakan pakaian hangat maupun kaus kaki.
Rumahnya yang luas dan indah itu sangat hangat. Sehangat Indonesia.
"Mengapa bisa hangat?" tanyanya pada Ad.
"Karena kita punya pemanas," demikian Ad menjawab.
Lalu salju turun. Ad memberitahunya pagi itu, "Sneeuw... sneeuw. Je eerste sneeuw!"
Ia melompat dari tempat tidur. Salju! Salju pertama dalam hidupnya! Ia berlari keluar, ke halaman belakang. Di bawah hujan salju yang lembut dan putih bersih, ia menari berputar-putar. Ad berlari menyusulnya, membawa jas dan syal. Tapi ia tak perduli. Dengan piyamanya yang mulai basah, ia mengajak Ad turut menari.
Ia senang sekali!
Setahun kemudian, ketika musim dingin kedua datang, dan ia telah mengerti cara kerja pemanas rumah, ia baru sadar Ad selalu menyetel pemanas rumah mereka di suhu tiga puluh derajat Celsius. Dan itu, tentunya, sangatlah mahal.
"Mengapa, Ad? Mengapa tidak seperti orang-orang lain? Kita bisa menghemat jika menyetel di suhu delapan belas atau dua puluh derajat."
Ad tersenyum dan memeluknya, "Supaya kamu merasa seperti di Indonesia. Agar kamu kerasan di rumahmu sendiri."
Ad menatap wajahnya, tersenyum lembut. Ia ingat, sanak keluarga dan orang-orang di kampungnya selalu terpana melihat Ad tersenyum. Beberapa gadis remaja bahkan tertawa-tawa kecil sambil menutup wajah.
Mereka bilang, ia beruntung sekali. Ad yang tampan, seperti pemain film Hollywood, berpendidikan tinggi dan kaya raya, mau meminang ia yang biasa-biasa saja. Bahkan ibunya pun bersujud syukur. "Sejak kecil kamu tak pernah mengurus diri. Untung saja ada Ad, hingga kau tak perlu jadi perawan tua," demikian ibunya bilang.
Keluarganya merasa, karena ia menikah dengan bule, dengan londo, derajat mereka di mata orang-orang kampung meningkat pesat. Tapi, bagi ia yang selalu merasa dirinya istimewa, tak pernah hinggap rasa rendah diri dan tidak melihat tinggi pada orang lain, Ad-lah yang sesungguhnya beruntung mendapat dirinya sebagai istri.
Satu waktu, Ad menyampaikan berita baik padanya. Ada rumah makan Indonesia di kota, di daerah Markt. Pemiliknya juga orang Indonesia. Ia melonjak senang. Ia sudah bosan menjadi satu. Dan ia pun tak lagi tertarik pada salju.
"Antarkan aku ke sana!"
Pemilik rumah makan itu serupa dengan dirinya. Berkulit gelap, berubuh kecil dan berambut hitam panjang. Namanya Tur. Tur juga berasal dari bagian selatan Sumatera. Mereka langsung berteman baik.
Namun Tur sibuk sekali. Ia harus memasak dan mengurus rumah makannya. Ia pun bertanya, "Adakah orang Indonesia lain di kota ini?"
Tur memberitahunya: di Brouwersweg 100, tiap musim semi atau pun musim panas banyak mahasiswa Indonesia datang.
Dan, dengan diantar Ad, ia datang ke Brouwersweg 100.
Betapa terkejutnya ia, dan juga Ad, ketika melihat orang-orang Indonesia yang tinggal di sana. Tidak hanya satu atau dua, tapi puluhan!
Puluhan manusia yang serupa dengan dirinya. Berbicara dalam bahasanya.
Mereka mengenakan pakaian musim dingin, walaupun matahari musim semi hangat menyinari. Mereka bahkan mengenakan kupluk wol yang tebal! Sungguh mereka terlihat norak sekali! Aih, ingin rasanya ia melonjak-lonjak senang dan memeluki mereka satu per satu!
DUA menjadi puluhan. Ia berkawan dengan mereka semua. Ia mendengarkan cerita mereka, keluh dan kesah. Ia turut bahagia ketika mereka bahagia. Dan ia juga merindui Indonesia, sama seperti mereka semua!
Demi bebas datang ke Brouwersweg 100, tanpa menunggu Ad pulang bekerja, ia belajar mengemudi. Ia belajar giat. Tak lama ia lulus, mengantungi verblijf Belanda yang terkenal susah didapat. Ad membelikannya sebuah sedan merah.
Dengan sedan itu ia melaju ke Brouwersweg 100. Dengan sedan itu ia membawa seabrek makanan yang ia masak sendiri berhari-hari, untuk ia makan bersama teman-temannya. Ia mengumpulkan baju-baju, jas-jas musim dingin, dari tetangga-tetangga dan kenalan keluarga Ad, untuk ia bagikan pada mereka. Ia pun mengajak mereka berjalan-jalan dengan mobilnya. Setiap hari ada saja kegiatan bersama.
Belanda yang awalnya senyap menjadi meriah.
PULUHAN menjadi ratusan. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di kota itu mengadakan pertandingan badminton. Dan Ad ternganga. Begitu banyaknya orang Indonesia di Belanda! Bagaimana mungkin bertahun-tahun ini istrinya merasa satu? Merasa sendiri?
Melihat istrinya bersenang, Ad pun turut bahagia. Istrinya tak akan pernah kembali merasa sepi. Dengan manusia sebanyak ini, kemungkinan menjadi sunyi akan sangat kecil sekali. Ad tersenyum lega. Setidaknya ia tak perlu lagi merasa bersalah dan berbeban berat. Memboyong seorang perempuan, jauh dari sanak keluarganya, pulaunya dan juga lautnya, dan terus-menerus berusaha membuat perempuan itu bahagia, tentu bukanlah mudah.
Namun, perpisahan tak bisa dielak. Teman-temannya itu, yang kepada mereka hatinya merasa dekat, tak pernah berniat datang ke Belanda untuk menetap. Mereka kembali pulang ke Indonesia.
Ia melepas mereka dengan berurai air mata.
"Mahasiswa yang lain akan datang," Ad menghiburnya.
Ia terdiam dan mengangguk, membenarkan. Toh, ia akan memiliki teman-teman baru. Teman-temannya akan bertambah banyak setiap September datang.
Ia mencoba membuka dirinya lagi. Mengulang semua lagi: mengenal mahasiswa-mahasiswa yang datang. Melalui hari-hari bersama mereka. Merasakan hangatnya kedekatan. Namun di tiap September ia kembali menangis. Ia selalu menjadi yang ditinggalkan. Dan ia sangat benci perpisahan! Ia benci perpisahan!
BERAKHIR satu. "Bangunlah. Apa tidak ingin ke Brouwersweg 100?" Ad mengguncang tubuhnya. Ia menggeliat, membalik badan, memunggungi Ad.
Ad mendesah. "Apa rencanamu hari ini?"
Ia tidak menjawab, menarik selimutnya lebih tinggi, menutupi kepala. Ia tahu Ad tak perlu jawaban. Ad tahu ia tidak akan pergi ke Brouwersweg 100. Ad tahu ia akan kembali berjalan-jalan di Eys Boos, memunguti kastanye, sendiri, seperti dulu.
Ad berpamitan padanya dan berjanji akan pulang lebih awal. Diam-diam Ad menaikkan setelan suhu pemanas rumah. Tiga puluh derajat Celsius. Supaya istrinya merasa seperti di Indonesia. Agar istrinya merasa kerasan di rumahnya sendiri.
Ad menyiapkan sarapan dengan berat hati: setangkup roti volkoren, mentega Blue Band, melk chocoladehagel, dan segelas susu Bendera. Ia mengunyah dengan mulut yang terasa pahit. Ad merindukan nasi goreng buatan istrinya.
Di garasi, Ad memanaskan mobilnya dan sedan merah milik istrinya. Sedan itu sudah berbulan-bulan mendekam di garasi saja. Menanti tuannya yang seolah tak lagi peduli. Ad mendesah dan bersenandung lirih:
Ketika kami dipulangkan dari sabuk jamrud
Belanda terasa sangat dingin tak terkira
Parah lagi makanannya
Bahkan lebih parah dari perjalanan
Kentang, daging dan sayuran
Juga nasi dengan gula!
Aku lebih memilih nasi goreng...
Dulu, menyanyikan lagu itu membuat Ad bahagia. Namun sekarang entah.
Lancaster, Maret 2012
Untuk seorang kakak dan kenangan di Eys Boos
Rilda Taneko lahir di Tanjungkarang, Sumatera Selatan, April 1980.
Sejak 2005 ia menetap di Eropa. Kumpulan cerita pendeknya adalah Kereta Pagi Menuju Den Haag (2010).
Aji Ramadhan
MENANGIS
: Makrush
Kau menangis seperti doa yang belum sempat diakhiri:
Meski terlihat tak begitu bersahaja pada mata
yang dibiarkan meremah.
Dan seperti membuat mabuk merpati yang sedang belajar
terbang, kau hanya tersenyum dengan mengubur
air matamu. Dan pada akhirnya aku tahu
ternyata kau menyimpan hikayat yang gelap di air matamu.
Sehingga aku merasa, di air matamu ada perempuan
yang bangkit dari kubur panjangnya:
Seperti ingin menyatakan janji yang belum dikatakannya.
Kau menangis, seperti aku yang lupa dengan getar
yang dihasilkan oleh perempuan yang ingin menyatakan janji
yang belum dikatakannya.
(Surakarta, 2012)
TERBUANG
Kembaranku mengira,
jika aku tidak becus menjadi tempat masuk
bagi orang-orang terbuang.
Mungkin karena aku dijaga oleh yang rapuh,
maka aku dianggap sebagai hal yang baku.
Dan untuk membuktikan pada kembaranku
jika aku lebih baik dengannya, maka aku
berani mengait tubuhku pada kembaranku:
Karena aku tahu, kembaranku dapat
melumerkan aku dan membuat aku
jadi mengambang, seperti ketukan:
Seperti ketukan setelah aku masuk menjadi
orang-orang terbuang di tubuh kembaranku.
(Surakarta, 2012)
SENDIRI
Bukannya aku ingin menjadi cemerlang sendirian, bung. Tapi
aku sudah memilih kenapa aku harus cemerlang. Seperti garis
ilusi yang menipu batu jadi debu, barangkali aku tergoda untuk
ingin menjadi cemerlang sendirian.
Maafkan aku, bung. Apabila aku sebagai musuhmu yang
sebenarnya tak ingin aku lawan. Dan jangan tertawakan aku jika
aku berbicara tentang bintang jatuh atau kaum yang mengubur
akarnya setelah dapat matahari: karena aku bukan pendongeng.
Dan karena aku ingin menjadi cemerlang sendirian, aku usahakan
untuk menghapal cara berbicaramu dan mempelajari tentang kerut
wajahmu. Barangkali itu bisa membantu, jika seandainya kau
menyiapkan beberapa senjata untuk menundukkanku.
(Surakarta, 2012)
TERPOTRET
: Pengiri
Kau memotretku yang sedang tertidur. Memang lucu potretku
yang sedang tertidur itu: Seperti cebol yang berharap bulan
dapat jatuh dipangkuannya. Dan kau tertawa terbahak ketika
aku hanya bisa diam. Diam karena aku tak bisa kau serpihkan
dan diam karena aku tahu kau ingin aku menjadi munajat
pada dongeng batu yang dibiarkan abadi untuk membeku. Dan
untuk kau yang memotretku, terima kasih atas potret diriku yang
ternyata dapat membuatku tahu jika aku tak sama denganmu.
(Surakarta, 2012)
NYENYAK
Untuk tidur lebih nyenyak,
aku mencari bintang jatuh. Berharap besok
ada yang sekarat di koloniku.
aku dapat tertawa dengan matang.
Dan seperti ingin mencopot
jantung koloniku, aku mulai belajar
berperilaku baik: Mungkin itu sebagai tipuan
yang baik pula. Hm, tipuan yang barangkali
bersahaja untuk dapat tidur lebih nyenyak.
(Surakarta, 2012)
Aji Ramadhan sedang belajar di Desain Interor, ISI Surakarta.
Buku-buku puisinya adalah Sang Perajut Sayap dan Sepatu Kundang (2012).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo