Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH bercat hijau di Jalan Sindikan, Nitikan, Yogyakarta, itu terlihat sepi. Terletak di kampung padat penduduk, saat Tempo mendatangi rumah itu Jumat pagi pekan lalu, satu-satunya penghuni yang tersisa hanya pembantu. ”Ibu mengajar, Bapak di Jakarta, dan putranya kuliah,” kata Yayuk, sang pembantu rumah tangga.
Itulah kediaman Muhammad Busyro Muqoddas. Sepanjang Kamis sore pekan lalu, ujar Yayuk, Soimah Kusuma Wahyuni, 46 tahun, istri Busyro, mengikuti pengajian rutin di masjid di kampungnya. Soimah agak terlambat datang ke pengajian lantaran harus meladeni telepon dari kerabatnya yang mengucapkan selamat atas terpilihnya suaminya sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebelumnya, pria kelahiran Yogyakarta, 17 Juli 1952, itu terpilih menjadi pemimpin KPK melalui pemungutan suara di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Busyro mengantongi 34 suara, mengungguli Bambang Widjojanto, yang mengumpulkan 20 suara.
Busyro kembali mengungguli nama lain saat pemilihan Ketua KPK. Dia mendapat 43 suara, unggul atas Bibit Samad Rianto, Chandra M. Hamzah, M. Jasin, dan Haryono Umar. Terpilihnya Busyro akan dilaporkan ke rapat paripurna DPR pekan ini untuk disahkan. Dewan memutuskan Busyro duduk di KPK sampai Desember 2011.
RAPAT internal anggota Fraksi Partai Demokrat pada Kamis pagi pekan lalu itu tak juga segera bisa menjatuhkan pilihan: Busyro atau Bambang. Padahal waktu pemilihan tinggal hitungan jam. Dua nama itu memiliki pendukung yang sama di internal fraksi. Baru selepas tengah hari, beberapa menit menjelang pemungutan suara, sebuah instruksi lewat pesan pendek meluncur dari Hotel Mulia, Senayan. Pengirimnya Jafar Hafsah, Ketua Fraksi Demokrat. Pesan pendek itu kemudian beredar ke para anggota Komisi Hukum Fraksi Demokrat. ”Pilihan kami jatuh ke Pak Busyro,” kata sumber Tempo di Fraksi Partai Demokrat.
Busyro dianggap figur yang lebih berpengalaman, bijaksana, dan tidak serampangan dalam melangkah. Nama Ketua Komisi Yudisial ini, ujar sumber Tempo itu, juga direstui Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Kelebihan yang dimiliki Busyro, kata sumber tadi, tidak ditemukan pada diri Bambang.
Tapi soal campur tangan Yudhoyono dibantah Benny Kabur Harman, anggota Fraksi Partai Demokrat yang juga Ketua Komisi Hukum DPR. ”Beliau menyerahkan sepenuhnya kepada fraksi,” ujar Benny.
Menurut sumber Tempo, nama Busyro juga ”dibawa” ke sekretariat gabungan partai koalisi pendukung pemerintah. Demokrat memerlukan dukungan koleganya di DPR. Namun dua anggota koalisi, yakni Partai Golongan Karya dan Partai Keadilan Sejahtera, menolak. Sepuluh suara dari Golkar dan empat dari PKS di Komisi Hukum, ujar sumber itu, diarahkan untuk memilih Bambang Widjojanto. Dua partai ini menaruh harapan pada Bambang untuk membongkar kasus dana bailout Bank Century.
Anggota Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, membantah jika pilihan ke Bambang Widjojanto disebut terkait dengan tujuan membongkar kasus Century semata. ”Bambang lebih progresif. KPK butuh sosok yang seperti itu untuk penyegaran,” kata Bambang Soesatyo. Adapun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memilih Busyro. Di Komisi Hukum, PDI Perjuangan memiliki sembilan kursi.
PDI Perjuangan memang tak sreg dengan Bambang Widjojanto. Alasannya, menurut sumber Tempo, mantan Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini sudah menjadi ”orang KPK”. Tidak hanya sebagai pengacara bagi Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, tapi juga terlibat dalam beberapa program KPK. ”Sementara banyak politikus PDIP yang dijebloskan ke penjara dan tengah diincar oleh KPK,” kata sumber tersebut.
Jatuhnya suara PDI Perjuangan ke Busyro juga tak lepas dari kedekatan dosen Universitas Islam Indonesia itu dengan beberapa politikus partai berlambang banteng tersebut. Busyro dan Taufiq Kiemas, Ketua Dewan Pembina PDI Perjuangan, misalnya, sama-sama memiliki ”darah” Muhammadiyah. Busyro pernah aktif di kepengurusan pusat Muhammadiyah, sementara orang tua Taufiq pernah menjadi pengurus daerah Muhammadiyah di Sumatera Selatan.
Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR Topane Gayus Lumbuun membantah kabar bahwa pilihan ke Busyro karena adanya kedekatan persona ataupun ancaman terhadap anggota partainya jika memilih Bambang. Saat proses uji kelayakan, kata Gayus, Busyro memang lebih meyakinkan ketimbang Bambang. Janji Busyro yang akan menyelesaikan semua kasus korupsi, termasuk kasus Gayus Halomoan Tambunan, ujar Gayus Lumbuun, memikat fraksinya. ”Itu salah satu poin penting pertimbangan kami,” kata guru besar ilmu hukum administrasi negara itu.
KOMISI Hukum Dewan Perwakilan Rakyat urung menyorongkan pakta integritas kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi terpilih Busyro Muqoddas. Ide yang digagas Bambang Soesatyo (Fraksi Partai Golkar), Ahmad Yani (Fraksi Persatuan Pembangunan), dan Syarifuddin Sudding (Fraksi Hati Nurani Rakyat) itu mendapat penolakan dari fraksi lain.
Ketua Komisi Hukum DPR Benny K. Harman menyebutkan calon terpilih sudah diminta menandatangani surat pernyataan tentang kewajiban dan hak-hak sebagai pemimpin KPK. ”Itu saja sudah cukup. Buat apa pakta integritas,” kata Benny.
Pakta integritas dibuat Bambang Soesatyo, Ahmad Yani, dan Syarifuddin pertengahan September lalu. Isinya menuntut mereka yang terpilih menjadi pemimpin KPK berkomitmen menuntaskan sejumlah kasus yang dinilai DPR jalan di tempat. Kasus itu antara lain kasus Bank Century, dugaan penyimpangan perangkat teknologi informasi Pemilihan Umum 2009, kasus penerimaan negara seperti perpajakan dan cost recovery sektor minyak dan gas, kasus transfer pricing, serta kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Calon terpilih diberi waktu enam bulan buat menaikkan statusnya dari penyelidikan menjadi penyidikan. ”Tentu saja dengan menemukan tersangkanya,” ujar Ahmad Yani saat itu.
Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch, setuju tak perlu ada pakta semacam itu. Menurut dia, tugas Busyro sudah berat. Terlebih dengan waktu kerja yang hanya sekitar setahun. Menurut Adnan, ”pekerjaan rumah” terbesar Busyro sekarang melakukan konsolidasi internal, yang sempat terganggu lantaran kasus kriminalisasi pimpinan KPK. Termasuk pembenahan komunikasi internal di KPK yang sempat tidak nyaman setelah ketua mereka, Antasari Azhar, terbelit kasus pembunuhan.
Busyro, kata Adnan, juga mesti melakukan penilaian yang lebih jeli terhadap kemungkinan adanya loyalitas ganda dari pejabat di KPK. Ini mengingat sebagian pejabat di KPK berasal dari kepolisian dan kejaksaan, sementara KPK banyak mengungkap kasus yang melibatkan pejabat di dua institusi tersebut. ”Tidak tertutup kemungkinan pejabat dari dua institusi tersebut menjadi informan bagi rekan atau atasan mereka yang terlilit korupsi.”
Dalam hal perkara, kasus pertama yang mesti dituntaskan Busyro adalah mengungkap tuntas kasus cek pelawat anggota legislatif periode 1999-2004. Mata rantai kasus ini terputus, kata Adnan, lantaran KPK gagal menghadirkan Nunun Nurbaetie ke persidangan. Nunun merupakan saksi kunci asal-muasal cek yang digunakan untuk menyuap sejumlah anggota Dewan itu. ”Kalau kasus itu bisa diselesaikan oleh Pak Busyro, ini akan menumbuhkan harapan baru pemberantasan korupsi di Tanah Air,” ujar Adnan.
Busyro menegaskan, dengan waktu hanya sekitar setahun yang dimilikinya, ia akan bekerja secepat mungkin membenahi sekaligus menjalan kan fungsi KPK. Dia juga akan melawan siapa pun yang melakukan intervensi terhadap KPK. ”Saya ini tak memiliki kepentingan politik apa pun atau beban masa lalu,” katanya.
Erwin Dariyanto (Jakarta), Bernada Rurit (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo