Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUTUH waktu untuk menyadari Broery tampil dalam iklan bir. Wajah penyanyi terkenal ini -- dan merek bir yang diiklankan -- lepas dari perhatian karena pesona figuran wanita dalam iklan itu. Wanita ini, yang cuma dadanya yang seronok ditampilkan, menyedot hampir semua perhatian. Ini contoh bagaimana wanita dalam iklan menjadi elemen untuk melengkapi citra kejantanan pria. Ini memang umum ditempuh oleh periklanan untuk menjual produk, seperti bir, mobil, atau obat kuat. Dan citra stereotip ini pula yang membikin kesal peserta seminar Sensitizing the Media to Women and Development Issues di Asian and Pacific Development Centre, Kuala Lumpur, Malaysia, dua pekan lalu. Peserta pertemuan itu terdiri dari 25 wanita tokoh dari Malaysia, Singapura, Indonesia, Muangthai, India, dan Australia. Indonesia diwakili B.J.D. Gayatri dari Yayasan Kalyanamitra dan Debra Yatim dari harian Media Indonesia. Keduanya adalah pengamat masalah wanita. Tema seminar memang di sekitar masalah wanita: citra stereotip di media massa dan periklanan. Seminar menyimpulkan, mediamedia Asia masih terikat pada citra stereotip itu. Di satu sisi, wanita dilukiskan sebagai ibu rumah tangga, pengasuh, dan bergantung pada pria. Di sisi lain, ditampilkan sebagai obyek seks. Masih sangat kurang, wanita digambarkan sebagai wanita karier, pekerja, atau pemberi pendapat. Menurut Debra Yatim, citra stereotip itu kadang-kadang jadi merendahkan wanita. Ia menunjuk iklan yang mencari sekertaris wanita. "Gambarnya wanita montok dengan buah dada hampir keluar," katanya berapi-api. "Tulisannya, diperlukan wanita yang memiliki otak dan kecantikan." Di Australia, kata wartawati ini, malah ada iklan yang menyamakan wanita dengan mobil, dalam arti keduanya "barang" koleksi yang digemari pria. Para praktisi periklanan tentu menyangkal merancang iklan yang merendahkan wanita secara sengaja. Gunadi, pemimpin biro iklan Citra Lintas, menjelaskan, awalnya adalah citra yang menempel pada produk. Rokok Marlboro, misalnya, laku karena mempunyai citra jantan. Iklannya dengan sendirinya berusaha menguatkan citra ini dengan segala perlambangannya. "Perhatikan saja iklan Marlboro, kan selalu macho," kata Gunadi. Sulit mengharapkan iklan tidak menampilkan citra stereotip wanita. "Dalam membuat iklan, segi komersial adalah pertimbangan utama," kata H.I. Rahayoe, pemimpin biro iklan Indo-Ad. Untuk kepentingan ini, iklan selalu mengikuti citra masyarakat. "Kalau masyarakatnya stereotip, ya, iklan akan stereotip juga." Namun, menurut pendapatnya, tema iklan yang terbanyak di Indonesia adalah tema keluarga. Melalui tema ini, penjualan produk umumnya meningkat. Pendapat Rahayoe dibenarkan Yanti B. Sugarda, pemimpin Surindo Utama, perusahaan pengumpul data untuk iklan. "Hasil survei di 14 kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa tema keluarga dalam iklan termasuk yang paling mengesankan," Yanti mengungkapkan. "Tapi karena tema keluarga ini iklan di Indonesia tidak kasar, hampir tidak ada yang menempatkan wanita sebagai obyek." Juga karena sebagian besar iklan ditujukan pada wanita, pembeli paling potensial. Soalnya, produk yang diiklankan di Indonesia kebanyakan barang konsumsi sehari-hari. "Yang menentukan pembelian barang-barang ini adalah wanita," kata Yanti lagi. "Memang sekitar 30% wanita kita bekerja, tapi survei menunjukkan bahwa mereka tetap memegang peran dalam soal rumah tangga." Pemimpin biro riset yang juga sarjana psikologi itu berpendapat, masih sulit membayangkan citra tidak stereotip dalam iklan. "Karena wanita kita juga masih akrab dengan citra itu," katanya. "Kaum wanita yang menunjang superioritas pria masih mayoritas." Hasil survei Yanti menunjukkan, "Sebagian besar wanita menyukai iklan yang menggambarkan wanita dengan peran yang tradisional." Debra Yatim masih mengharapkan peran iklan. Ia berpendapat, iklan justru bisa membantu kaum wanita membangun citra yang tidak stereotip. Bukan hanya mengikuti bayangan masyarakat. Inilah juga kesimpulan dan tekad seminar di Kuala Lumpur itu. Di sini dibahas iklan-iklan tidak stereotip, yang menggambarkan ayah memandikan anak dan ayah memasak di dapur. "Ini kan realitas masa kini," kata Debra. Iklan barangkali bisa diharapkan, tapi tidak bisa dipercaya. Di media cetak Amerika dan Eropa kini beredar sejumlah iklan rokok yang menggambarkan citra wanita seperti yang diharapkan para feminis. Di sini, wanita dilukiskan maju, menentukan, independen, bahkan jantan. Namun, pemujaan wanita itu tidak ada hubungannya dengan upaya mencuci citra stereotip. Wanita adalah kelompok konsumen yang sedang digali. Setelah rokok terungkap menimbulkan penyakit jantung pada pria, omzet penjualan rokok turun drastis. Sementara itu, jumlah perokok wanita masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah wanita. Dan statistik penderita jantung wanita relatif rendah. Nah! Iklan dengan citra tidak stereotip itu berhasil. Di Amerika Serikat, jumlah perokok wanita dan perokok pria hampir sama sekarang. Perhitungan statistik memperkirakan jumlah ini akan sama di tahun 1995 dan di tahun 2000, semua perokok adalah wanita. Iklan rokok dengan wanita jantan ternyata lebih buruk daripada dada seronok di belakang Broery. Membunuh. Jim Supangkat, Sugrahetty Dyan K. dan Sandra Hamid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo