Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEEKOR simpanse betina terkulai lemas di atas rerumputan. Pagi itu, tenaganya nyaris terkuras gara-gara semalam-suntuk dia dicengkeram sakit perut. Sampai-sampai ia tak menghiraukan ribuan semut yang mengerubunginya. Tapi satwa langka penghuni Taman Nasional Pegunungan Mahale, Kenya, itu belum putus asa. Dengan sisa tenaganya, dia menjumput seekor ulat putih dan mengisapnya habis. Setelah istirahat sejenak, dengan susah payah dia menyeret tubuhnya ke gerumbul perdu vernonia. Dia mulai menghisap cairan dari tunas tumbuhan berbatang lunak itu. Lalu, menjelang siang, primata liar itu telah segar bugar, dan sangat lincah. Adegan langka itu sempat diabadikan dengan rekaman video oleh para ahli ilmu hewan dari Pusat Riset Satwa Liar Mahole, Tanzania. Di mata mereka, rekaman itu punya arti amat penting. Itu bisa dipakai sebagai bukti bahwa primata semacam simpanse tahu betul soal obat-obatan. Adegan simpanse memilih vernonia itu dianggap bukanlah suatu kebetulan. "Sebab, hanya pada kondisi sakit simpanse mau menyantap tumbuhan tersebut," kata Michael Hoffman, ahli hewan dari Pusat Riset Mahole. Tak mengherankan kalau Hoffman mengaku terkesima oleh kepintaran primata Afrika ini. Vernonia yang disantap sebagai obat simpanse itu bukan perdu hutan sembarangan. Para ahli farmakognosi -- cabang ilmu farmasi yang mempelajari obat- obatan dari bahan alamiah -- di Tanzania mengakui bahwa perdu itu mengandung bahan aktif yang bisa dijadikan sebagai obat sakit perut, yang ampuh untuk memerangi pelbagai macam kuman yang menyerang pencernaan. Simpanse dari Tanzania itu tak cuma pintar mencari obat mules. Ahli perilaku satwa liar di Universitas Harvard, Amerika, Richard Wrangham, menemukan bukti lain yang tak kurang menariknya. Dalam penelitiannya, di Taman Nasional Pegunungan Mahole itu, Wrangham mencatat kebiasaan khas simpanse: setiap bangun tidur mereka langsung mencari daun muda Aspilia, perdu yang masih sekerabat dengan bunga matahari, untuk sarapan. Bagi Wrangham, perilaku itu sungguh ganjil. Sebab, untuk mendapatkan Aspilia, kawanan simpanse kadang harus berjalan menembus semak belukar selama 20 menit. "Padahal, di dekat tempat tinggal mereka ada buah-buahan yang segar, lezat, dan mudah dipetik," kata Wrangham. Pada musim penghujan, mereka melahap Aspilia lebih banyak. Penemuan Wrangham itu diikuti dengan penelitian biokimia oleh para ahli farmakognosi. Dari pengujian laboratorium, terbukti bahwa daun dan pucuk Aspilia itu mengandung sejenis minyak yang biasa disebut Thiarubrine-A, yang berkhasiat sebagai antibiotik. Pelbagai kasus infeksi karena bakteri, jamur, dan bahkan virus, bisa dibereskan dengan Thiarubrine-A. Bahkan, belakangan obat ini disebut-sebut ampuh untuk menyembuhkan kanker paru dan payudara. Tak aneh pula bila kawanan simpanse itu menyantap Aspilia lebih banyak di musim penghujan. "Karena mereka harus menghadapi kemungkinan terkena infeksi kuman lebih besar," tambah Wrangham. Ahli primata ini berharap bisa menjumpai lebih banyak satwa yang bisa mengantarnya menemukan obat alamiah lainnya, yang diyakininya lebih aman. Di antara jajaran primata, simpanse diketahui sebagai jenis yang paling pintar, di samping gorila dan orang utan, satwa khas asal Kalimantan dan Sumatera. Perilaku makan orang utan ini telah banyak diungkap. "Lebih dari 60% waktunya habis dipakai buat makan," kata drh. Linus Simanjuntak, Kepala Kebun Binatang Ragunan Jakarta. Sebagai penghuni asli habitat Sumatera dan Kalimantan, orang utan diketahui suka menyantap daun, bunga, dan buahbuahan hutan hujan tropis. Buah sirsak, mindi, gambir, jambu, manggis, dan nangka adalah kesukaannya. Dia pun sering melahap daun meranti muda, lelambay, kenari, serta daun dan bunga getah merah. Sayang, kata Linus, belum ada riset tentang hubungan pola diet orangutan dan ikhtiar pengobatan. Namun, Linus mengaku sering menyaksikan banyak jenis monyet yang gemar menyantap beberapa jenis tumbuhan yang dikenal mujarab sebagai obat. Daun dan buah petai cina yang diketahui bisa dipakai untuk obat anticacing kremi dan cacing tambang, atau biji pinang dan daun gambir sebagai obat anticacing pita, disukai oleh banyak jenis monyet. "Tapi saya tidak tahu, apa mereka sengaja berobat atau hanya asal makan," katanya. Pengetahuan para ahli tentang bahan obat-obatan alamiah yang telah dipakai satwa masih amat terbatas. Sejauh ini, para ahli farmakognosi baru mencatat ada 15 jenis tumbuhan kesukaan primata yang nyata-nyata terbukti sebagai obat. Maka, Kenneth Glander, ahli primata Universitas Duke, Amerika, mengajak koleganya mengamati kehidupan satwa ini mulai dari hal-hal yang terkecil. Hal kecil yang sempat disaksikan oleh Glander adalah seekor uwa-uwa betina dari Kosta Rika, yang melahirkan sembilan bayi jantan berturut-turut. "Secara statistik memang ada kemungkinan itu. Namun, kemungkinan bisa juga terjadi karena disengaja," ujarnya. Dia menghubungkan kasus ini dengan pola diet sang induk. Uwa-uwa betina itu, menurut Glander, sengaja memilih menu makanan tertentu untuk membuat agar keasaman rahimnya rendah. Kondisi ini membuka kemungkinan lebih besar bagi kelahiran bayi jantan. Glander memang belum sempat meneliti jenis tumbuhan yang disantap betina itu. Namun, menurut perilaku yang ditelitinya, betina itu berharap agar salah satu anaknya menjadi pemimpin kelompok. "Gengsi anak yang menjadi pemimpin itu bisa mengangkat derajat ibunya," katanya. Putut Trihusodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo