Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Yang Sementara, Dalam Sebuah Diskusi

Diskusi berjudul "penahanan sementara ditinjau dari segi-segi kegunaannya dan batasan-batasannya" oleh para advokat. berbicara yop thian hien, tjiam djoe khiam, ro tambunan dan dali moenthe dari kepolisian. (hk)

13 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA contoh begini: Adalah seorang pencari nafkah untuk keluarganya ditahan di kantor polisi. Ia mengajukaul permohonan kepada hakim, agar dapat menunggu proses perkaranya di luar tahanan. Alasan cukup: ia terikat oleh anak dan isterinya, sehingga tak mungkin menghindar dari jangkauan hukum, atau melarikan diri. Apa kata hakim? Tunggu - perkara akan dipelajari lebih dulu. Mempelajari perkara, ternyata, tidak cukup sebulan atau dua bulan. Karena pesakitan ini terus mendesak, hakim akhirnya berkata tegas: Tunggu ajukan pern-ohonan lagi di waktu sidang. Beberapa bulan kemudian pada pemlulaan sidang pengadilan, tahanan ini kembali mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Dasar nasib pesakitan ini malang. Hakim belum mau juga memperhatikan. "Tunggu saja sampai vonis," selalu katanya. Di atas itu cerita Yap Thiam Hien, pengacara terkenal yang sudah berpraktek di pengadilan selama 27 tahun, dalam acara diskusi akhir bulan lalu yang berjudul "Penahanan Sementara Ditinjau Dari Segi-segi Kegunaannya dan Batasan-batasannya." Acara itu oleh para advokat yang hadir, memang, banyak digunakan untuk melemparkan unek-unek yang selama ini terpendam dalam hati. Apa-apa yang mereka alami di pengadilan, hubungan dengan jaksa dan polisi, dikemukakan secara terus terang. Mr. Tjiam Djoe Khiam, yang menyatakan telah berpraktek hukum selama 40 tallun, juga memperoleh kescmpatan unjuk perasaan. Kisah yang dipilih untuk diceritakan, walaupun katanya sudah terjadi agak lama, memang masih cukup hangat. Begini pula: Ada seorang cukong diciduk polisi. Tjiam, sebagai pengacaranya, dengan sabar menunggui kliennya di luar pintu jeruji. Malam itu, belum lagi polisi memeriksa tahanannya, datanglah sejip polisi-militer. Omong punya omong "PM ini, dari angkatan darat jelasnya, telah minta kepada polisi agar mereka boleh mengurus si cukong." Polisi. kata advokat ini, menolak permintaan polisi tentara ini. Tak lama, setelah PM meninggalkan kantor polisi, muncullah rombongan lain. "Mereka dari angkatanudara," kata Tjiam. "Lucunya, mereka juga minta istilah mereka: pinjam tahanan yang sedang diurus oleh polisi." Polisi sekali lagi menolak keras. Setelah AD dan AU, apakah akan muncul angkatan-laut meminjam tahanan? "Betul, memang malam itu juga muncul rombongan dari AL." Dan sekali lagi Polri terpaksa menolak permintaan meminjam tahanan semacam itu. Dan Tjiam terpaksil ikut menunggui kliennya sampai pagi. Cerita Tjiam belum selesai. Sampai beberapa lama, lewat waktu penahanan yang dibenarkan hukum, si cukong tetap ditahan. Hanya tempa tahanannya dipindah: dari kantor polisi ke Lembaga Pemasyarakatan (LP). Pengacaranya jadi sibuk. Ia mengancam hakim: "Awas kalau bapak hakim memperpanjang surat penahanan dengan tanggal mundur." Rupanya, seperti banyak dipraktekkan, surat-surat perpanjangan masa penahanan selalu diajukan terlambat. Hakim, yang tak mau repot, selalu meneken permohonan jaksa -- dengan tanggal yang diundurkan sekalipun, untuk memperoleh formalitas. Diancam oleh Tjiam, hakim sulit bekerja. Lalu pengacara ini menghubungi Menteri Kehakiman. Pejabatnya seorang tokoh terkenal, yang banyak perhatiannya kepada nasib tahanan dan narapidana, Dr. Sahardjo (almarhum). Tjiam berhasil 'membujuk' Menteri sehingga keluar instruksi dari Kementerian Kehakirnan: semua tahanan di LP, yang tak dibekali surat penahanan yang cukup dari instansi yang menahannya, harap dibebaskan saja. "Dan setahu saya instruksi itu masih berlaku," kata Tjiam. Tapi pelaksanaannya? Ya seperti yang sekarang terjadi. "Undang-undang dan peraturan yang menyangkut penahanan memang belum Pancasilais," sambut RO Tambunan SH yang turut hadir dan memberikan pendapatnya dalam diskusi. Yap menyatakan: kecenderungan menahan pesakitan secara berlarut-larut, melihat contoh yang dikemukakannya sendiri, "apakah masih dapat disebut untuk kepentingan jalan pemeriksaan'?" Tambunan malah berpendapat: "Memang sekarang ini para penegak hukum sangat ringan tangan menjebloskan seseorang ke dalam tahanan." Padahal, "seseorang yang memenuhi syarat untuk ditahan pun, jika mungkin dan ada alasan yang cukup, sebenarnya tak usah harus masuk tahanan." Seorang pencuri ayam menurut undang-undang, memang dapat ditahan. Tapi jika pencurinya itu mempunyai rumah dan alamat Jelas, punya anak isteri yang tak mungkin ditinggalkannya melarikan diri, "saya kiril ia tidak patut ditahan," kata Tambunan. Ping-pong Siapa yang harus mengurus nasib tahanan? Seorang peserta diskusi mengemuliakan pengalamannya: selalu ada ping-pong antara polisi dan jaksa jika dimintai pertanggunganjawab. Dan akhirnya kedua instansi ini akan bersama sama melemparkan persoalan ke pengadilan. Dan pak Hakim? Hakim ternyata repot. Kata Mr. Yap: "Setiap hari hakim selalu menghadapi setumpukan tinggi surat-surat permohonan penangguhan penahanan dari pesakitan dan permohonan permintaan perpanjangan penahanan dari jaksa." Yang dari tahanan - boleh tunggu dulu. Tapi yang dari jaksa, menurut Yap, selalu ditangani lebih dulu: main teken saja tanpa periksa lagi. "Seolah-olah yang dihadapi dan diteken oleh hakim itu hanyalah kertas yang tak berarti. Padahal itu menyangkut hak dan kemerdekaan seseorang, keluarganya, juga hati nuraninya." Baru nanti, setelah sidang dibuka beberapa bulan kemudian, hakim menyadari kekeliruannya - kalau sadar. Dan kalau sudah begitu, kata Tambunan, ada cara hakim untuk meminta maaf kepada terdakwa. Caranya -- sudah tidak lucu lagi: "Bagaimana hakim bisa menghukum seseorang dengan hukuman semacam ini: 13 bulan 9 hari?" Ya sembilan harinya itu, kok tidak 13 atau 14 bulan sekalian? "Masuk akal," kata Tambunan dari Komisi III DPR ini, "sebab, ternyata, terdakwa sudah menjalani tallanan 13 bulan 9 hari - jadi diklopkan saja." Dengan begitu 'muka' jaksa dapat diselamatkan. "Maksudnya, barangkali, agar tak menimbulkan kegoncangan masyarakat terhadap kepercayaannya kepada aparat penegak hukum." Tapi, jika begilu maksud hakim, Tambunan mengecam kerja hakim. "Hakim, kalau begitu, tak ada keberanian menghukum seseorang secara betul -- di bawah atau lebih singkat dari masa penahanan." Coba kalau berani begitu, tentu jaksa yang tak mungkin mengganti kelebihan masa tahanan yang diderita pesakitan diharapkan akan lebih berhati-hati main tahan dan mudah minta perpanjangan penahanan dari hakim. Memang, Kata Polisi Berhati-hati menahan seseorang, menurut Yap, berarti mempertimbangkan dengan hati nurani. Sebab "penahanan, sesungguhnya, perlakuan kekerasan terhadap kemerdekaan seseorang yang dilegalisir oleh undang-undang - sekali lagi: dilegalisir oleh undang-undang." Dan hak begitu, "hanyalah monopoli pemerintah." Dari Kepolisian RI dikirimkan Dali Moenthe SH untuk ikut berbicara dalam diskusi. Bagi polisi, yang selalu punya alasan untuk menangkap dan menahan terdakwa, akhirnya memang mengakui: "Tindakan penahanan dalam paktek tidak dapat dibantah, memang masih terjadi kesewenang-wenangan oleh oknum petugas," kata Dali Moenthe. Dan itu, tentu saja, "tidak hanya terjadi di kepolisian saja -- tapi terjadi juga di instansi penegak hukum lain dan bahkan di seluruh dunia." Dan karena, bagaimanapun, kesewenang-wenangan itu memang tercela, "sekarang Kapolri sudah membentuk tim Penelitian. Penertiban Penyalahgunaan Wewenang Penahanan," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus