ADA contoh begini: Adalah seorang pencari nafkah untuk
keluarganya ditahan di kantor polisi. Ia mengajukaul permohonan
kepada hakim, agar dapat menunggu proses perkaranya di luar
tahanan. Alasan cukup: ia terikat oleh anak dan isterinya,
sehingga tak mungkin menghindar dari jangkauan hukum, atau
melarikan diri. Apa kata hakim? Tunggu - perkara akan dipelajari
lebih dulu. Mempelajari perkara, ternyata, tidak cukup sebulan
atau dua bulan. Karena pesakitan ini terus mendesak, hakim
akhirnya berkata tegas: Tunggu ajukan pern-ohonan lagi di waktu
sidang. Beberapa bulan kemudian pada pemlulaan sidang
pengadilan, tahanan ini kembali mengajukan permohonan
penangguhan penahanan. Dasar nasib pesakitan ini malang. Hakim
belum mau juga memperhatikan. "Tunggu saja sampai vonis," selalu
katanya.
Di atas itu cerita Yap Thiam Hien, pengacara terkenal yang sudah
berpraktek di pengadilan selama 27 tahun, dalam acara diskusi
akhir bulan lalu yang berjudul "Penahanan Sementara Ditinjau
Dari Segi-segi Kegunaannya dan Batasan-batasannya." Acara itu
oleh para advokat yang hadir, memang, banyak digunakan untuk
melemparkan unek-unek yang selama ini terpendam dalam hati.
Apa-apa yang mereka alami di pengadilan, hubungan dengan jaksa
dan polisi, dikemukakan secara terus terang.
Mr. Tjiam Djoe Khiam, yang menyatakan telah berpraktek hukum
selama 40 tallun, juga memperoleh kescmpatan unjuk perasaan.
Kisah yang dipilih untuk diceritakan, walaupun katanya sudah
terjadi agak lama, memang masih cukup hangat. Begini pula: Ada
seorang cukong diciduk polisi. Tjiam, sebagai pengacaranya,
dengan sabar menunggui kliennya di luar pintu jeruji. Malam itu,
belum lagi polisi memeriksa tahanannya, datanglah sejip
polisi-militer. Omong punya omong "PM ini, dari angkatan darat
jelasnya, telah minta kepada polisi agar mereka boleh mengurus
si cukong." Polisi. kata advokat ini, menolak permintaan polisi
tentara ini. Tak lama, setelah PM meninggalkan kantor polisi,
muncullah rombongan lain. "Mereka dari angkatanudara," kata
Tjiam. "Lucunya, mereka juga minta istilah mereka: pinjam
tahanan yang sedang diurus oleh polisi." Polisi sekali lagi
menolak keras. Setelah AD dan AU, apakah akan muncul
angkatan-laut meminjam tahanan? "Betul, memang malam itu juga
muncul rombongan dari AL." Dan sekali lagi Polri terpaksa
menolak permintaan meminjam tahanan semacam itu. Dan Tjiam
terpaksil ikut menunggui kliennya sampai pagi.
Cerita Tjiam belum selesai. Sampai beberapa lama, lewat waktu
penahanan yang dibenarkan hukum, si cukong tetap ditahan. Hanya
tempa tahanannya dipindah: dari kantor polisi ke Lembaga
Pemasyarakatan (LP). Pengacaranya jadi sibuk. Ia mengancam
hakim: "Awas kalau bapak hakim memperpanjang surat penahanan
dengan tanggal mundur." Rupanya, seperti banyak dipraktekkan,
surat-surat perpanjangan masa penahanan selalu diajukan
terlambat. Hakim, yang tak mau repot, selalu meneken permohonan
jaksa -- dengan tanggal yang diundurkan sekalipun, untuk
memperoleh formalitas.
Diancam oleh Tjiam, hakim sulit bekerja. Lalu pengacara ini
menghubungi Menteri Kehakiman. Pejabatnya seorang tokoh
terkenal, yang banyak perhatiannya kepada nasib tahanan dan
narapidana, Dr. Sahardjo (almarhum). Tjiam berhasil 'membujuk'
Menteri sehingga keluar instruksi dari Kementerian Kehakirnan:
semua tahanan di LP, yang tak dibekali surat penahanan yang
cukup dari instansi yang menahannya, harap dibebaskan saja.
"Dan setahu saya instruksi itu masih berlaku," kata Tjiam. Tapi
pelaksanaannya? Ya seperti yang sekarang terjadi. "Undang-undang
dan peraturan yang menyangkut penahanan memang belum
Pancasilais," sambut RO Tambunan SH yang turut hadir dan
memberikan pendapatnya dalam diskusi.
Yap menyatakan: kecenderungan menahan pesakitan secara
berlarut-larut, melihat contoh yang dikemukakannya sendiri,
"apakah masih dapat disebut untuk kepentingan jalan
pemeriksaan'?" Tambunan malah berpendapat: "Memang sekarang ini
para penegak hukum sangat ringan tangan menjebloskan seseorang
ke dalam tahanan." Padahal, "seseorang yang memenuhi syarat
untuk ditahan pun, jika mungkin dan ada alasan yang cukup,
sebenarnya tak usah harus masuk tahanan." Seorang pencuri ayam
menurut undang-undang, memang dapat ditahan. Tapi jika
pencurinya itu mempunyai rumah dan alamat Jelas, punya anak
isteri yang tak mungkin ditinggalkannya melarikan diri, "saya
kiril ia tidak patut ditahan," kata Tambunan.
Ping-pong
Siapa yang harus mengurus nasib tahanan? Seorang peserta diskusi
mengemuliakan pengalamannya: selalu ada ping-pong antara polisi
dan jaksa jika dimintai pertanggunganjawab. Dan akhirnya kedua
instansi ini akan bersama sama melemparkan persoalan ke
pengadilan. Dan pak Hakim? Hakim ternyata repot.
Kata Mr. Yap: "Setiap hari hakim selalu menghadapi setumpukan
tinggi surat-surat permohonan penangguhan penahanan dari
pesakitan dan permohonan permintaan perpanjangan penahanan dari
jaksa." Yang dari tahanan - boleh tunggu dulu. Tapi yang dari
jaksa, menurut Yap, selalu ditangani lebih dulu: main teken saja
tanpa periksa lagi. "Seolah-olah yang dihadapi dan diteken oleh
hakim itu hanyalah kertas yang tak berarti. Padahal itu
menyangkut hak dan kemerdekaan seseorang, keluarganya, juga hati
nuraninya."
Baru nanti, setelah sidang dibuka beberapa bulan kemudian, hakim
menyadari kekeliruannya - kalau sadar. Dan kalau sudah begitu,
kata Tambunan, ada cara hakim untuk meminta maaf kepada
terdakwa. Caranya -- sudah tidak lucu lagi: "Bagaimana hakim
bisa menghukum seseorang dengan hukuman semacam ini: 13 bulan 9
hari?" Ya sembilan harinya itu, kok tidak 13 atau 14 bulan
sekalian? "Masuk akal," kata Tambunan dari Komisi III DPR ini,
"sebab, ternyata, terdakwa sudah menjalani tallanan 13 bulan 9
hari - jadi diklopkan saja."
Dengan begitu 'muka' jaksa dapat diselamatkan. "Maksudnya,
barangkali, agar tak menimbulkan kegoncangan masyarakat terhadap
kepercayaannya kepada aparat penegak hukum." Tapi, jika begilu
maksud hakim, Tambunan mengecam kerja hakim. "Hakim, kalau
begitu, tak ada keberanian menghukum seseorang secara betul --
di bawah atau lebih singkat dari masa penahanan." Coba kalau
berani begitu, tentu jaksa yang tak mungkin mengganti kelebihan
masa tahanan yang diderita pesakitan diharapkan akan lebih
berhati-hati main tahan dan mudah minta perpanjangan penahanan
dari hakim.
Memang, Kata Polisi
Berhati-hati menahan seseorang, menurut Yap, berarti
mempertimbangkan dengan hati nurani. Sebab "penahanan,
sesungguhnya, perlakuan kekerasan terhadap kemerdekaan seseorang
yang dilegalisir oleh undang-undang - sekali lagi: dilegalisir
oleh undang-undang." Dan hak begitu, "hanyalah monopoli
pemerintah."
Dari Kepolisian RI dikirimkan Dali Moenthe SH untuk ikut
berbicara dalam diskusi. Bagi polisi, yang selalu punya alasan
untuk menangkap dan menahan terdakwa, akhirnya memang mengakui:
"Tindakan penahanan dalam paktek tidak dapat dibantah, memang
masih terjadi kesewenang-wenangan oleh oknum petugas," kata Dali
Moenthe. Dan itu, tentu saja, "tidak hanya terjadi di kepolisian
saja -- tapi terjadi juga di instansi penegak hukum lain dan
bahkan di seluruh dunia." Dan karena, bagaimanapun,
kesewenang-wenangan itu memang tercela, "sekarang Kapolri sudah
membentuk tim Penelitian. Penertiban Penyalahgunaan Wewenang
Penahanan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini