Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Media Myanmar yang dikendalikan junta militer mengumumkan larangan televisi satelit pada Selasa untuk meredam perlawanan antikudeta militer dan pemerintahan junta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Media junta Myanmar mengatakan siaran luar mengancam keamanan nasional dan junta mengancam akan memenjarakan siapa pun yang tertangkap melanggar larangan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Larangan ini semakin membuat Myanmar terisolasi setelah junta militer memblokir sebagian besar akses internet seluler untuk memadamkan protes penentang kudeta militer 1 Februari.
"Televisi satelit tidak lagi legal. Siapa pun yang melanggar undang-undang televisi dan video, terutama orang yang menggunakan antena parabola, akan dihukum satu tahun penjara dan denda 500.000 kyat (Rp 4,6 juta)," kata televisi pemerintah MRTV, dikutip dari Reuters, 5 Mei 2021.
"Media ilegal menyiarkan berita yang merusak keamanan nasional, supremasi hukum dan ketertiban umum, dan mendorong mereka yang melakukan pengkhianatan," kata MRTV.
Para perempuan membawa pot dengan bunga saat mereka mengambil bagian dalam protes terhadap kudeta militer di Yangon, Myanmar 13 April 2021. [REUTERS / Stringer]
Pada awal April junta militer memberlakukan pembatasan internet baru, yang membatasi akses web hanya untuk layanan jalur tetap. Data seluler telah diblokir selama berminggu-minggu oleh pihak berwenang untuk membungkam oposisi yang menuntut kembalinya pemerintahan sipil dan pembebasan Aung San Suu Kyi beserta tokoh-tokoh penting lainnya di pemerintahannya.
Kelompok penentang kudeta militer telah menggunakan frekuensi radio, jaringan internet offline, dan penyedia peringatan berita pesan teks, untuk menjaga komunikasi tetap berjalan.
Dalam menghadapi oposisi yang meluas, junta militer telah berjuang untuk menegakkan ketertiban sejak menggulingkan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan mengakhiri transisi yang tidak stabil menuju demokrasi.
Kekerasan telah meningkat sejak kudeta dan pasukan keamanan telah menewaskan lebih dari 760 warga sipil, kata kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). Junta militer membantah angka tersebut dan mengatakan 24 polisi dan tentara Myanmar tewas dalam protes tersebut.