Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kolombia Gunakan Drone untuk Musnahkan Tanaman Kokain

Pemerintah Kolombia mengatakan pada Selasa 27 Juni mereka mengizinkan penggunaan drone herbisida untuk mengatasi lonjakan produksi kokain.

27 Juni 2018 | 18.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar
Petani memanen daun koka di Puerto Bello, di negara bagian Putumayo, Kolombia selatan, pada 3 Maret 2017.[AP Photo / Fernando Vergara, File]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Kolombia mengatakan pada Selasa 27 Juni mereka mengizinkan penggunaan drone herbisida untuk mengatasi lonjakan produksi kokain. Keputusan itu diumumkan sehari setelah laporan Gedung Putih, seperti dilaporkan Associated Press, 27 Juni 2018, yang mengatakan bahwa lahan yang digunakan untuk produksi koka di Kolombia telah melonjak ke angka 209.000 hektar pada tahun lalu.

Presiden Juan Manuel Santos yang melarang penyemprotan tanaman koka dari udara karena berisiko terhadap efek kesehatan dan lingkungan. Namun dia mengatakan pada Selasa kemarin, drone bisa terbang di ketinggian lebih rendah dari pesawat dengan metode yang saat ini dalam penyemprotan herbisida glyphosate dari tanki yang dipasang di punggung mereka.

Baca: Duterte: Kokain Kelas Elite Sudah Sampai Filipina

Santos mengatakan cara ini bertujuan untuk menghapus 110.000 hektar ladang koka melalui program pemusnahan masal untuk diganti dengan tanaman lain.

Lahan yang digunakan petani dan pedagang obat bius memanen tanaman yang digunakan untuk membuat kokain telah melonjak ke rekor tertinggi di Kolombia. Data tahunan yang dirilis Amerika Serikat untuk 2017 mengatakan budidaya koka naik 11 persen menjadi 209.000 hektar, angka yang melonjak drastis dalam dua dekade terakhir padahal US$ 10 miliar telah dikucurkan Amerika Serikat untuk melawan peredaran narkoba. Berdasarkan laporan ini diperkirakan produksi kokain meningkat 19 persen dan menjadi 921 metrik ton.

"Pesan Presiden Trump ke Kolombia jelas: Pertumbuhan rekor dalam produksi kokain harus dibalik," kata Jim Carroll, wakil direktur untuk kantor kebijakan narkoba AS.

Petugas kepolisian anti narkotika Kolombia berjaga-jaga saat membakar lab pembuatan kokain milik geng kriminal di Guaviare, Kolombia, 2 Agustus 2016. Kepolisian Kolombia telah berhasil menghancurkan 104 laboraturium pembuatan kokain. REUTERS/John Vizcaino

Baca: Hasil Investigasi, Separuh Tentara Israel Konsumsi Ganja

Produksi kokain di Kolombia terus meningkat sejak 2013, ketika negosiasi dengan Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia masih berlangsung. FARC telah menjadi salah satu organisasi perdagangan narkoba terbesar di Kolombia, dan banyak yang berharap setelah penandatanganan perjanjian perdamaian pada 2016, Kolombia akan mengendorkan upaya memberantas nerkoba untuk selamanya.

Sebaliknya, kelompok-kelompok bersenjata ilegal baru telah pindah ke hutan terpencil yang sebelumnya dikendalikan oleh kelompok pemberontak dan mengambil kendali rute perdagangan narkoba. Bagian dari perjanjian damai yang didedikasikan untuk memberantas koka telah membuat warga Kolombia yang miskin bergantung pada budidaya koka.

Baca: Kongres Pertama Pemberontak Kolombia, FARC Jadi Partai Politik

Presiden Donald Trump mengancam mengeluarkan Kolombia pada tahun lalu sebagai mitra dalam perang melawan narkoba jika gagal menurunkan lonjakan produksi koka. Ketika itu, Kolombia telah menargetkan untuk memberantas 100.000 hektar melalui pemberantasan secara paksa dan sukarela. Kolombia memenuhi target pemusnahan paksa, tetapi gagal mencari alternatif tanaman lain untuk mengganti lahan koka.

Selama beberapa dekade seperti dilansir dair TelesurTV, petani skala kecil, terutama yang berlokasi di daerah pesisir Kolombia di mana pengawasan pemerintah minim, telah membudidayakan koka untuk penghasilan. Kesepakatan damai presiden Kolombia dengan FARC seharusnya memberikan kompensasi kepada petani koka sekitar US$ 400 atau Rp 5,6 juta per bulan untuk dua tahun pertanian bebas koka diikuti dengan satu kali dana pengganti sebesar US$ 3.000 atau Rp 42 juta untuk membantu petani memulai panen tanaman lain atau usaha baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eka Yudha Saputra

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus