Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tak ada negara yang menyinggung isu Papua di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-78. Sidang tersebut berakhir pekan ini setelah berlangsung selama sembilan hari dari 18 sampai 26 September 2023.
Padahal, isu Papua masih diangkat di Sidang Majelis Umum PBB pada 2021 oleh Vanuatu. Sejak 2016, negara Pasifik tersebut berulang kali mengkritik Indonesia di forum PBB soal pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan terhadap Papua.
“Sidang Majelis Umum PBB tahun ini tidak menyinggung isu Papua. Jadi, NKRI sudah semakin dihormati oleh negara-negara lain,” kata Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI, Tri Tharyat, saat jumpa pers pada Jumat, 29 September 2023 di Jakarta.
“Tentunya NKRI harga mati, ya. Itu menjadi bagian penting dari diplomasi kedaulatan,” imbuhnya.
Tri mengatakan, Indonesia kerap berdialog dengan negara-negara lain soal isu Papua, lebih spesifik perihal pengembangan manusia maupun pembangunan infrastruktur di wilayah Papua. Hal ini, menurutnya, memperoleh tanggapan positif.
“Karena kalau kita bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tercatat beberapa negara membahas isu Papua,” katanya.
Ia menyampaikan niat Indonesia untuk terus berdialog dengan negara-negara dan memberikan “satu gambaran yang utuh mengenai situasi dan Kemajuan pembangunan di Papua”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isu HAM di Papua pertama kali disuarakan di Sidang Majelis Umum PBB-71 pada 2016 silam, diangkat oleh Vanuatu Kepulauan Solomon, Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu, dan Tonga. Enam negara Pasifik tersebut menyerukan PBB agar segera mengakhiri berbagai pelanggaran HAM yang dialami warga Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) dalam 50 tahun terakhir.
Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare, menyatakan kepeduliannya tentang dugaan pelanggaran HAM terhadap penduduk Melanesia di Papua. Sementara, Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sopoaga, mengingatkan PBB untuk tidak seharusnya mengabaikan situasi yang menyedihkan di Papua dengan bersembunyi di balik prinsip non intervensi kedaulatan negara.
“PBB harus bertindak terhadap isu ini dan mencari solusi yang dapat dijalankan,” kata Sopoaga dalam sidang 2016. Dewan HAM PBB, menurut Presiden Kepulauan Marshall Hilda Heine, diminta sungguh-sungguh menyelidiki pelanggaran HAM di Papua.
Menanggapi hal itu, diplomat yang mewakili Indonesia di PBB saat itu, Nara Masista Rakhmatia, justru menuding enam negara Pasifik itu mengintervensi kedaulatan Indonesia, lantas mencederai Piagam PBB yang mengatur prinsip non intervensi.
“Pernyataan mereka bermotif politik dan didesain mendukung kelompok separatis, yang terus-menerus menghasut agar terjadi pembangkangan publik dan mengarah pada serangan teroris bersenjata,” ujar Nara, dikutip dari abc.net.au.
Adapun, Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga hadir di sidang tersebut sama sekali tidak menyinggung isu Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selalu Vanuatu
Pada 2017, Vanuatu kembali menyuarakan isu Papua di Sidang Majelis Umum PBB ke-72, kali ini bersama Solomon. Ainan Nuran, selaku diplomat yang mewakili Indonesia saat itu, mengecam dukungan Vanuatu dan Solomon terhadap gerakan separatis Papua.
“Bagaimana bisa ada negara yang terus-menerus menyokong gerakan separatisme di negara lain? Ataukah ini cuma cara mereka bersembunyi dari masalah domestik?” kata Ainan kala itu, dikutip dari Koran Tempo.
Di Sidang Majelis Umum PBB ke-73 pada 2018, Wakil Presiden Jusuf Kalla akhirnya buka suara soal isu Papua yang kerap disinggung oleh Vanuatu di hadapan para pemimpin dunia.
“Sudah terlalu lama Indonesia memilih untuk membangun hubungan persahabatan dengan Vanuatu, termasuk dalam menunjukkan solidaritas dan simpati selama masa-masa sulit,” katanya di Markas Besar PBB New York, Kamis, 28 September 2018, dikutip dari Antara.
“Tindakan permusuhan ini tidak memiliki tempat di sistem PBB. Suatu tindakan yang jelas melanggar prinsip-prinsip PBB,” ujar wapres itu.
Tahun berikutnya, Perdana Menteri Vanuatu saat itu, Charlot Salwai Tabimasmas, menyinggung adanya pelanggaran HAM dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB ke-74 pada 27 September 2019. Indonesia menggunakan hak jawabnya untuk menyebut Vanuatu sebagai negara pendukung gerakan separatisme. Pernyataan itu diutarakan Rayyanul Sangaji, Perwakilan RI untuk Markas PBB New York.
Singgungan dari PM Vanuatu berlanjut pada 2020 oleh Bob Loughman, yang dalam pidatonya membahas persoalan HAM di Papua. “Warga asli Papua terus menerus menderita akibat pelanggaran hak asasi,” ujar Loughman, di Sidang Umum PBB yang digelar secara virtual di tengah pandemi COVID-19.
Dalam tanggapannya, Silvany Austin Pasaribu, diplomat muda yang mewakili Indonesia, menuding Vanuatu memiliki “obsesi berlebihan” soal bagaimana Pemerintah Indonesia harus bertindak dan memerintah negaranya. “Anda tak mewakili orang Papua, jadi berhentilah berfantasi menjadi orang Papua,” kata Silvany.
Masih di bawah pimpinan Loughman, pada 2021 Vanuatu kembali membahas persoalan yang sama, bahkan meminta PBB mengunjungi Papua untuk melakukan penilaian secara independen. Pidatonya direspons dengan hak jawab oleh diplomat Indonesia, Sindy Nur Fitry, yang mempertanyakan pemahaman Vanuatu terhadap HAM sehingga dapat membuat tudingan terhadap Indonesia.
Vanuatu, yang pada 2022 sudah tidak membawa isu Papua di forum PBB, mengumumkan rencana membuka kedutaan besar di Indonesia pada Juni lalu. Menlu Retno Marsudi menyambut baik rencana tersebut, menyebut Vanuatu sebagai salah satu mitra penting Indonesia di Pasifik.
NABIILA AZZAHRA A