Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM dunia intelijen, dusta nyaris merupakan bagian melekat yang tak bisa dipisahkan dari tujuan. Dusta bisa muncul dalam pelbagai wajahnya: dari manipulasi data, penyamaran, penyangkalan, juga pengaburan dan penyesatan informasi. Di dunia remang-remang itu, ketika tujuan menghalalkan cara, batas antara nyata dan tak nyata begitu tipis dan kadang tak kasatmata.
Begitulah pula yang terlintas dalam pikiran ketika dalam beberapa hari belakangan ini ranah informasi kita dihebohkan sebuah buku, Legacy of Ashes: The History of CIA. Buku ini ditulis Tim Weiner, wartawan The New York Times pemenang hadiah Pulitzer, dan telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Membongkar Kegagalan CIA.
Dari aspek statistik, Legacy sebetulnya hanyalah melengkapi daftar kepustakaan yang pernah ditulis tentang Central Intelligence Agency, dinas rahasia Amerika Serikat, dengan perjalanan sejarah yang fadihat itu. Pembaca Indonesia baru tersentak ketika, dalam sebuah narasinya, Legacy mencantumkan nama Adam Malik, pahlawan nasional, politikus, dan diplomat ulung negeri ini, yang punya julukan ”Si Kancil”.
Pada bagian ke-3 buku terjemahan, di bawah subjudul ”Kami Hanya Menunggangi Ombak Itu ke Pantai”, Weiner menurunkan hasil wawancaranya dengan Clyde McAvoy. Operator rahasia CIA yang tampaknya khusus bermain di kawasan Asia ini datang ke Indonesia untuk menyusup ke tubuh Partai Komunis Indonesia dan ke dalam pemerintahan Soekarno.
Dalam wawancara pada 2005 itu, McAvoy mengatakan, ”Saya merekrut dan mengontrol Adam Malik.” Pertemuan pertama McAvoy dengan Adam Malik, menurut cerita sang operator, terjadi pada 1964, ”di sebuah tempat rahasia dan aman di Jakarta”. Membaca bagian ini, tak bisa tidak, kita teringat pada roman-roman spionase picisan 1950-an terbitan Medan.
Pada 1964 memanglah tahun yang sangat gawat untuk Adam Malik. Partai Komunis Indonesia menyerang dia secara terbuka dan bisa dikatakan all out. Sebagai Menteri Perdagangan, ia dihisabkan PKI ke dalam apa yang disebut ”kapitalis birokrat”. Usahanya mendirikan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), sebagai pengganjal PKI sekaligus ”mengambil hati” Bung Besar, justru berbalik menjadi bumerang. Puluhan media massa pendukung BPS dibunuh oleh sang Presiden dalam sekali pukul lewat surat keputusan pembredelan.
Dalam posisi itu, tidaklah terlalu musykil untuk menarik logika bahwa bagi Adam Malik, ketika itu, musuh politik nomor satu adalah PKI. Tetapi logika ini tidak dengan sendirinya bisa digunakan untuk membenarkan asumsi bahwa seseorang dengan mudah bisa ”dibeli” oleh pihak lain yang juga menjadikan PKI sebagai musuh nomor satunya. Apalagi seorang seperti Adam Malik, yang kenyang makan asam-garam perjuangan puluhan tahun.
Sebaliknya, CIA memang sudah terkenal sebagai dinas rahasia paling kontroversial di dunia. Lembaga yang didirikan di bawah Undang-Undang Keamanan Nasional 1947 ini penuh dengan permainan kotor. Sejak 1960, sejumlah kecerobohan CIA terungkap, mulai dari tertembak jatuhnya pesawat pengintai U-2 milik Amerika Serikat yang diterbangkan oleh Francis Gary Powers di atas wilayah udara Uni Soviet.
Pada 1975, Presiden Gerald Ford menunjuk Wakil Presiden Nelson Rockefeller untuk mengepalai tim investigasi yang memeriksa organisasi CIA. Investigasi ini menemukan sejumlah kegiatan ”di luar hukum” yang melibatkan CIA dalam kegiatan spionase dalam negeri—yang sesungguhnya bukan wewenangnya.
”Reputasi” CIA paling monumental adalah ketika mereka membohongi John F. Kennedy, sehingga sang presiden menyetujui serangan ke Teluk Babi, Kuba, 17 April 1961. Invasi itu hancur habis. Dari 1.300 orang yang didaratkan di Playa Giron, sisi barat Teluk Babi, 90 orang tewas, lainnya tertawan. Semua yang dijanjikan CIA kepada Kennedy ternyata dusta belaka.
Dengan berbagai catatan itu, ”nyanyian” Clyde McAvoy ini pun pantas disiasati sebagai bagian dari ”budaya bohong” CIA. Apalagi McAvoy sudah tak bisa dimintai konfirmasi. Sebagai keterangan dari narasumber tunggal, informasi ini juga tidak bisa digunakan untuk mensahihkan atau membatalkan sebuah catatan sejarah, yang membutuhkan konfirmasi dan rekonfirmasi, checking dan rechecking.
Karena itu, tak perlu gelagapan menanggapi cerita ini. Apalagi sampai mengusulkan penarikan buku dari peredaran. Keluarga Adam Malik juga rasanya tak perlu heboh-heboh benar. Si Bung tak akan tercemar hanya oleh satu cerita dari seorang operator dinas rahasia yang dalam sejarahnya sudah terkenal sebagai pabrik kebohongan. Biarkan para sejarawan menelisik dan mengungkapkan kebenarannya—suatu ketika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo