Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
@mpujayaprema
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada petuah bijak yang dikirim Romo Imam, sahabat lama, yang kini bermukim di Dusun Kemuning, lereng Gunung Lawu. Hati-hati membaca berita di media online dan menonton video di media sosial. Antara judul dan isi berita sering tak nyambung. Memelototi video berdurasi kurang dari dua menit sangat berbahaya jika masalahnya sensitif, seperti soal agama dan nasionalisme. Tahan dirilah untuk memberi komentar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya ikuti nasihat itu, tapi saya berbuat salah karena menulis judul tidak nyambung dengan isi. Ya, tulisan yang kalian baca ini, judulnya Agnez Mo, tapi tidak bercerita tentang kasus Agnez yang kini heboh. Saya sejatinya tidak paham kenapa hal ini jadi ribut. Bukan saja akun-akun anonim yang menghujat Agnez, tapi juga akun para akademikus, peneliti, bahkan pejabat tinggi. Semuanya gara-gara darah.
Apakah saya berdarah Indonesia? Saya tak bisa menjawab. Mungkin saya berdarah Bali, karena sejak kakek-nenek numpang lahir di Bali. Namun ada yang bilang, saya berdarah Jawa, karena leluhur ayah saya dari Jawa. Sampai saat ini, setiap tahun saya sungkem di petilasan (makam) leluhur saya di Desa Kepasekan, Kabupaten Karanganyar. Apakah asal-usul darah itu penting? Yang jelas, kebangsaan saya Indonesia, tak bisa ditawar. Seperti itu juga yang dikatakan Agnez jika kita menonton video yang berdurasi lengkap.
Asal-usul darah dikaitkan dengan kecintaan pada "tumpah darah negeri", mirip kekeliruan anggota MPR yang menyebut Pancasila sebagai pilar bangsa. Dengan alasan pilar itu harus kokoh menyangga bangunan bangsa, Pancasila diibaratkan pilar bersama tiga yang lain, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Padahal tak ada pilar yang kokoh jika tak ada dasar. Bukankah Bung Karno, penggali Pancasila, selalu menyebut: Pancasila adalah dasar negara. Komponis Sudharnoto membuat lagu patriotik berjudul Garuda Pancasila dengan cuplikan syair: "Pancasila dasar negara, rakyat adil makmur sentosa, pribadi bangsaku." Tak ada syair: "Pancasila pilar negara."
Saya membalas petuah Romo Imam lewat WhatsApp: "Romo, apakah asal-usul darah Agnez ini penting diributkan?" Romo membalas dengan mencomot emoji orang tersenyum. "Ini hobi baru di Nusantara, hobi suka ribut. Usia keributan tergantung apakah ada masalah baru yang perlu diributkan lagi dan keributan yang lama pun dilupakan tanpa penyelesaian apa-apa. Anggaplah ini hiburan."
Yang menjadi soal, keributan itu selalu terjadi di ranah sensitif. Misalnya, di Bantul, warga Hindu dilarang mengadakan ritual di rumah tinggalnya. Alasan yang bikin ribut, rumah tinggal bukan tempat ibadah. Lalu bagaimana dengan tahlilan dan pengajian di rumah-rumah? Umat Kristiani, lantaran gerejanya tak berizin, dilarang melakukan kebaktian di tepi jalan. Lalu bagaimana dengan salat Id atau salat Idul Adha di lapangan? Menteri Pariwisata ngomong perlunya kawasan wisata ramah Islam di Bali, seolah-olah orang Bali tak pernah ramah kepada muslim. Keributan terjadi karena konteks yang lengkap bagai sengaja "disembunyikan". Lalu penyelesaian apa setelah ribut-ribut itu? Sama sekali tak nampak.
Maka, Ade Armando yang dilaporkan Fahira Idris karena menghina Anies Baswedan, Sukmawati yang dilaporkan karena melecehkan Nabi Muhammad, atau kasus Agnez saat ini pasti dilupakan setelah ada keributan lain. Mungkin diganti keributan soal nonmuslim yang sulit mencari kos di Malang. Tapi kenapa koruptor yang diberi grasi oleh Presiden, bagi-bagi jabatan di BUMN, penambahan staf khusus, tak berpotensi ribut? Tanyalah kepada rumput yang bergoyang....
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo